64~Snow White~

10 4 0
                                    

"Yaudah pulang yuk!" Ajak Radiz.

Radiz perlahan menaiki motor Sean dengan cepat. Senja menjadi saksi antara mereka berdua. Motor hitam itu dengan cepat melesat meninggalkan area SMA mereka. Kisah mereka akan selalu dikenang oleh dunia sepanjang waktu. Cinta mereka kian hari kian kuat. Tak ada yang bisa memisahkan mereka meskipun dunia sekalipun.

Motor hitam itu kini sudah terparkir rapi di depan rumah mewah seorang gadis. Tak ada rasa selain rasa sepi dalam rumah mewah itu. Rumah yang hanya dihuni oleh 3 orang saja.

"Ngapain lihatin gue kayak gitu? Gue tahu gue ganteng, nggak usah gitu kalau lihat." Sean melihat Radiz yang dari tadi hanya diam menatap dirinya lebih arti.

"Nggak! Gue nggak lihatin lo kok." Sangkal Radiz terbangun dari lamunannya sejak tadi.

"Lo kenapa bengong terus dari tadi? Lo sakit?" Tanya Sean mengecek suhu tubuh Radiz. Namun, Radiz tetap tak menjawab sepatah katapun.

"Nggak! Gue cuma mikir sesuatu aja dari tadi." Jawab Radiz masih menatap Sean lekat.

"Mikir apa? Lo ada masalah?" Ucap Sean bangun dari motornya.

"Gue mikir kalau seumpamanya suatu hari nanti kita nggak bisa sama-sama lagi gimana? Dan kalau suatu hari nanti lo atau gue nggak bisa dihubungi kayak lo tadi gimana?" Radiz melontarkan banyak pertanyaan tanpa mengalihkan tatapannya pada Sean.

"Kok lo ngomong gitu sih Diz? Kalaupun seumpama kita suatu hari nanti nggak bisa sama-sama sebagai seorang kekasih, kita kab masih bisa jadi sahabat atau jadi temen." Jawab Sean.

"Ya kalau enggak?" Tanya Radiz lagi masih tetap dengan tatapan lekat nya.

"Nggak mungkin enggak. Buat apa kita menjalin suatu hubungan kalau ujungnya cuma mau jadi musuh. Gue yakin, kita nggak bakal berpisah. Dan kalaupun itu terjadi, gue nggak mau kita jadi musuh." Jelas Sean memasang wajah serius.

"Gue cuma takut itu terjadi Se. Selama ini gue udah terlalu tergantung sana lo. Gue udah terbiasa sama lo. Gimana hidup gue kalau suatu hari itu terjadi?" Air mata Radiz sudah siap untuk jatuh di kedua pipinya.

"Plisss jangan ngomong kayak gitu! Gue yakin Tuhan tahu yang terbaik buat kita." Sean memeluk tubuh mungil gadis itu dengan erat. Ada rasa kasihan dan tak rela di dalam hati laki-laki itu. Selama ini Sean sudah cukup membuat gadis itu menderita dengan sikapnya. Ia tak mau membuat gadis itu menderita lagi dengan meninggalkan dirinya seorang diri.

"Tapi lo janji kan sama gue? Lo nggak akan ninggalin gue gimanapun keadaannya?" Radiz melepas pelukannya.

"Gue nggak bisa janji, tapi gue akan berusaha untuk menepati janji itu." Jawab Sean lalu tersenyum.

"Kok gue nangis sih?" Tiba-tiba saja Radiz tersenyum dan menghapus air matanya yang tadi sempat jatuh.

"Lo sih, hidupnya terlalu dramatis." Ejek Sean.

"Yaudah pulang sana, udah malam! Nggak enak nanti kalau dilihat tetangga lo masih disini jam segini." Suruh Radiz pada Sean.

"Lo masuk dulu aja!"

"Kok gue? Kan gue yang punya rumah, ya gue lah yang nunggu lo pulang dulu." Jawab Radiz dengan ekspresi tak mengerti.

"Lo punya hak untuk memberi perintah, dan gue punya hak untuk menerima atau menolak." Jawab Sean yang membuat Radiz menjadi terselubung rasa kesal.

"Nggak mau!" Tolak Radiz mentah-mentah.

"Kok lo nggak mau nurut auh sama gue? Kan gue pacar lo, gue itu iman lo." Ucap Sean.

"Kalau pacar iya sih, tapi kalau iman kan belum tentu. Jadi lo yang harus nurut sama gue." Radiz menunjuk tepat pada wajah Sean.

Sean menangkis telunjuk radiz dengan keras." Tangan lo bau, jangan nunjuk-nunjuk gue."

D'radizza [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang