Hari ini adalah hari Selasa. Radiz berangkat sekolah seperti biasanya. Hari ini ia memilih pergi sekolah untuk diantar oleh ibunya. Ia tak mau jika ia jalan kaki nantinya Al malah mengajaknya untuk bersama dirinya. Ia tak mau membuat masalah lagi.
"Bu ayo, Radiz udah siap." Teriak Radiz yang sudah siap sendari tadi.
"Ia sebentar, ibu mau ngambil tas dulu." Ucap ibunya dari dalam kamar.
Kini ibunya sudah keluar dan membawa tas nya. Mereka berdua berjalan menuju ke arah mobil diparkirkan.
"Pak kesekolah ya." Ucap Radiz.
"Iya non." Ucap supir itu menginjak gas.
Memang terkadang Radiz kemana-mana diantar oleh supir pribadi keluarganya yang sudah mengabdi sejak 10 tahun yang lalu. Supir itu tahu kondisi serta semua masalah yang terjadi dalam keluarga itu.
"Nak gimana sekolah kamu selama ini?" Tanya ibunya.
"Baik-baik aja kok Bu." Jawab Radiz bohong.
"Nak, ibu tahu kalau kamu sedang ada masalah. Kamu nggak bisa bohong sama ibu. Ibu ini ibu kamu yang tahu semua gerak-gerik kamu. Kamu berubah belakangan ini." Ucap ibunya.
"Tapi Radiz baik-baik aja kok Bu." Ucap Radiz tak berani menatap mata ibunya.
"Yaudah kalau kamu belum siap buat cerita sama ibu, ibu bakalan selalu nunggu dan selalu ada buat kamu." Ucap ibunya memeluknya.
"Makasih ya Bu." Ucap Radiz yang tersenyum sendu.
"Non udah nyampai di sekolah." Ucap supir itu.
"Ih iya pak, makasih ya." Ucap Radiz.
"Bu Radiz masuk dulu ya." Ucap Radiz sambil mencium punggung tangan ibunya.
"Iya. Ibu akan selalu ada buat kamu." Ucap ibunya yang seperti menahan asa sakit di hatinya.
Bagaimana tidak seorang ibu sakit melihat anaknya seperti itu. Anak yang ia besarkan sejak kecil, ia beri kasih sayang sepenuh hati, tapi malah dibuat sedih oleh orang lain.
Selama ini ia menjaga agar Radiz tetap bahagia walaupun diatas segala masalah yang ada. Ia sebenarnya selama tahu bahwa anaknya itu menghadapi berbagai masalah rumit yang menimpa hidupnya. Namun ia tak mau bertanya pada Radiz karena takut jika Radiz akan sedih lagi. Ia hanya akan menunggu sampai Radiz yang bercerita sendiri padanya.
"Pagi semua." Ucap Radiz tanpa senyuman sedikitpun.
"Pagi diz. Diz lo sakit?" Tanya Cecil meneliti wajah Radiz.
"Iya diz, kok wajah lo pucat gitu." Natella juga membenarkan pertanyaan Cecil.
"Gue nggak apa-apa kok, cuma kemarin lagi terlambat tidur aja, jadinya gini deh." Bohong Radiz yang berusaha menahan rasa sakitnya.
"Lo beneran nggak ada masalah kan diz?" Tanya Cecil memastikan.
"Diz lo kalau ada masalah cerita aja ke kita. Siapa tahu nanti kita punya solusinya, jadi lo nggak perlu nanggung itu sendiri. Kita udah kenal lo lama diz dan kita tahu kalau saat ini lo lagi ada masalah." Ucap Natella mencoba untuk membuat Radiz bercerita.
"Gue beneran nggak apa-apa kok. Gue mau ke kamar mandi dulu ya, permisi." Ucap Radiz terburu-buru lu lari pergi ke kamar mandi.
"Udah la biarin aja dulu Radiz sendiri, mungkin dengan cara ini perlahan dia akan cerita sama kita. Kalau kita paksa dia buat cerita tapi dianya nggak siap buat cerita kan sama aja." Cecil mencoba memberi penjelasan pada Natella.
Natella paham akan keadaan sahabatnya saat ini. Ia juga merasakan penderitaan serta rasa sakit di dalam hatinya. Sahabatnya yang selama ini selalu ceria, selalu tertawa dan selalu membuat mereka terhibur, tapi saat ini semuanya seakan hilang begitu saja.
"Gue salah apa sama kalian. Kenapa gue merasa dunia sangat benci sama gue. Kenapa semua masalah datang silih berganti di hidup gue. Kenapa seakan aku tidak diijinkan untuk bahagia di dunia ini." Tangisnya pecah di dalam kamar mandi itu.
Ia meratapi segala nasib buruk yang menimpanya. Ia merasa bahwa seakan dunia tak pernah mengharapkan dia bahagia, dunia tak pernah membiarkan dia diup tenang sedetik saja. Saat ini ia tak tahu harus bercerita kepada siapa, ia tak mau menjadikan ceritanya sebagai beban dari pendengar itu sendiri.
Ia sebenarnya selama ini ingin sekali rasanya bercerita kepada ibunya atau sahabatnya, tetapi ia tak mau jika mereka akan menjadikan itu sebuah beban.
Setelah selesai meluapkan segala rasa sakitnya di dalam kamar mandi, ia segera pergi ke dalam kelas karena tak mau terlambat pelajaran hanya untuk memikirkan masalah tersebut.
"Permisi." Radiz memasuki kelas itu.
"Diz lo habis nangis?" Tanya Cecil yang tau jika matanya sembab.
"Gue nggak apa-apa." Jawab Radiz menunduk.
"Terserah lo diz, kita nggak bisa maksa lo buat cerita sama kita. Selalu ingat diz, bahwa gue sama Cecil akan selalu ada buat lo." Natella memuk tubuh Radiz dan Cecil.
"Makasih ya cil, makasih ya la. Kalian udah ngertiin gue selama ini." Radiz sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka.
Jam pelajaran kini sudah dimulai namun pikiran Radiz tak sedikitpun mengarah ke pelajaran tersebut. Pikirannya hanya tertuju di cara bagaimana agar sandiwara Zeva segera terungkap dan dirinya kembali lagi dengan Sean.
"Radiz, kamu sakit?" Ucap guru tersebut yang memerhatikan wajah pucat nya.
"Nggak Bu, saya nggak apa-apa." Radiz sedikit terkejut dengan pertanyaan itu .
"Yasudah kalau begitu, karena sekarang jam pelajaran sudah selesai, kalian silahkan istirahat. Saya permisi dulu." Ucapnya sambil merapikan buku.
"Diz lo nggak istirahat?" Tanya Cecil.
"Oh iya, gue istirahat kok." Jawab Radiz.
"Yaudah yuk." Tarik Natella.
Kini mereka berjalan menuju ke arah kantin. Mereka melihat Zeva yang sedang berjalan dengan Sean bergandengan tangan. Niat iseng Cecil mulai muncul di otaknya, ia berniat mengerjai Zeva yang nantinya akan berpapasan dengan dirinya.
Brughh.....
"Aduh. Sakit tahu, lo sengaja ya ngerjain gue." Tuduh Zeva.
"Kenapa sakit?" Tanya Cecil puas.
"Ya sakitlah, gitu aja masih nanya." Sewot Zeva.
"Sean kok lo nggak bantuin gue sih." Ucap Zeva.
"Manja, berdiri sendiri aja." Ucap Sean tak peduli.
"Heh gue ngerjain lo itu masih nggak sebanding sama lo udah ngerjain Radiz selama ini. Apa lo nggak sadar, kalau ini belum seberapa." Tegur Cecil.
"Awas aja lo, udah se kita pergi aja." Zeva menarik tangan Sean .
Disaat yang bersamaan tak sengaja manik mata Radiz bertemu dengan manik mata Sean sekitar 10 detik. Manik mata yang sungguh indah yang sangat Radiz rindukan. Ia pasti akan bisa mendapatkan tatapan itu selamanya.
Kini mereka sudah berada di kantin tak tempat duduk mereka tak jauh dari tempat duduk Zeva dan sean.
"Se nanti kita jalan-jalan ya, kan kita jarang banget berdua." Ucap Zeva mengompori Radiz.
Sean masih tak memperdulikan sikap Zeva. Ia sebenarnya merasa risih berdekatan dengan Zeva.
"Udah tahu tuh cowoknya risih sama dia, eh masih nggak sadar aja tuh iblis Lampir." Semprot Cecil.
"Iya, gue heran deh sama tuh iblis Lampir satu. Udah tahu si cowoknya risih sama sikapnya yang kecentilan, masih aja nemplok-nemplok kayak tawon aja." Natella mengejek Zeva sudah seperti gak punya hati.
"Udah nggak usah digituin. Biarin aja." Ucap Radiz pelan.
Kejadian tadi terulang lagi, manik mata mereka berdua bertemu cukup lama. Sungguh manik mata yang sangat dirindukan eh mereka berdua. Kehangatan serta tatapan yang sangat mereka rindukan.
Hallo, aku punya cerita kedua nih. Judulnya 'Ineffable'. Jangan lupa dibaca, divote, dikomen dan di share ya guyss.
See you next part......😘
KAMU SEDANG MEMBACA
D'radizza [End]
Novela Juvenil[End] -Radizza Zaletta Vexazana- Sejuta luka serta masalah yang ia hadapi, membuatnya beranggapan bahwa dunia sangat kejam. Ia menjadi sosok gadis yang cukup introvert, karena ia tak mau memberikan masalah pada hidup orang lain. -De-nathan...