HARI pertama menjadi manager team basket, ternyata seru juga.
Ya namanya hari pertama pasti kerjaannya belum banyak. Tapi se-enggaknya kalo bete di kelas bisa madol dengan alasan keperluan team. Vanda terkikik dalam hati.
Setelah tadi sedikit diterangkan tentang tugas-tugasnya sebagai manager, baru saja Mas Bandi kembali menjelaskan lebih rinci. Makanya sekarang Vanda masih ada di sekolah walau sudah sejak tadi bel pulang berbunyi.
"Udah sore, lo nggak pulang?"
Vanda menoleh, mendapati Angger yang sudah berdiri tak jauh darinya. "Iya, bentar lagi."
Tadinya Bio yang akan mengantarnya pulang, tapi tiba-tiba cowok itu harus pulang duluan karena ada keluarganya yang sakit. Vanda sudah terlanjur meminta sopirnya untuk tidak menjemput karena tahu akan di antar pulang oleh Bio. Dan Bio dengan permintaan maaf pergi meninggalkan Vanda. Merasa belum cukup, cowok itu bahkan mengirim pesan untuk meminta maaf lagi.
Vanda melirik Angger yang masih berdiri tak jauh darinya. Belum sempat cewek itu bertanya kenapa Angger masih bersamanya, cowok itu sudah membuka mulut.
"Lo butuh tumpangan pulang nggak?"
Vanda mengangkat tangannya yang memegang ponsel, "gue telfon sopir gue aja." Balasnya lalu mengotak-atik benda itu.
"Nunggu sopir lo nyampe sini, pasti udah sore banget. Gue bisa anterin lo kalo lo mau." Tawar Angger sama sekali tidak ada maksud apapun. Sekolah sudah sangat lengang. Kasihan juga bila cewek itu harus menunggu sendirian. Dia baru saja selesai ngobrol ringan dengan kepala sekolah saat menemukan Vanda berdiri di pagar sekolah.
"Iyadeh." Putus Vanda akhirnya. Badannya sudah sangat lelah. Jika harus menunggu sopirnya lagi, itu pasti akan lebih memelahkan.
"Ayo." Angger melangkah begitu saja, diikuti Vanda dari belakang. Tiba di parkiran, mereka berhenti di sebuah motor matic berwarna putih. Angger mengulurkan helm pada Vanda.
"Trus helm buat lo?" tanya Vanda saat sibuk memasang pengaman helm di dagunya.
"Helm gue cuma satu, lo aja yang pake." Balas Angger dan selanjutnya duduk di atas motornya.
"Ini gimana sih?!" Vanda ribet sendiri dengan helm di kepalanya.
Tanpa banyak bicara, tangan Angger terulur, bergerak memasangkan pengaman helm di bawah dagu Vanda.
"Ketahuan banget lo nggak pernah naik motor." Ucap Angger begitu selesai. Tangannya beralih memutar kunci motor.
Vanda hanya diam karena ucapan Angger itu benar. Terakhir dia naik motor saat diantar pulang oleh Bio. Dan itu sudah cukup lama. Kemudian dengan hati-hati dia naik ke motor itu, memegang bahu Angger dan duduk dengan nyaman.
Angger menoleh ke belakang, "udah?" Tanyanya.
"Hmm." Gumam Vanda.
Dan begitu saja, Angger melajukan motornya membelah jalanan kota Jakarta di sore hari. Dan tentu saja macet jika sudah di jam pulang kantor begini. Selama di perjalanan keduanya tidak terlalu banyak bicara.
Mau membicarakan apa? Mereka terlalu baru kenal untuk membicarakan apapun tentang hidup masing-masing.
Sesekali Angger melirik kaca spionnya untuk melihat Vanda. Cewek itu tampak nyaman di boncengannya, tak lupa tersenyum saat melihat langit senja yang berwarna jingga.
Tiba di depan rumah Vanda, motor Angger berhenti, mata cowok itu tak berhenti menatap rumah yang begitu mewah di hadapannya.
"Gue jadi malu nganter lo pake motor matic." Angger terkekeh.
Sama sekali cowok itu tak menyangka bahwa Vanda anak orang setajir ini. Maksudnya, gaya Vanda sedehana, walau pun wajah, kulit dan rambutnya sangat terawat. Kalo kata Difki, bening.
Mata Angger terarah pada jam tangan yang melingkar di pergelangan Vanda, lalu beralih pada tas dan terakhir sepatu. Cowok itu menelan ludah, gue baru sadar kalo barang-barangnya branded semua. Hanya saja cewek itu dengan pembawaannya yang biasa-biasa saja tidak membuatnya mencolok. Tidak berlebihan seperti kebayakan anak orang tajir, pembawaanya juga tidak sombong.
"Lo mau mampir dulu?" Vanda melepaskan helm di kepalanya lalu mengulurkannya pada Angger.
Angger menggeleng, tangannya menerima helm itu dan bergerak memakainya. "Pakaian gue kotor habis latihan, ntar malah malu-maluin lo." Dia terkekeh lagi.
"Santai aja." Vanda tersenyum.
"Lain kali aja, lagian gue nggak bawa martabak hehehe."
Vanda ikut terkekeh.
Angger memutar kunci motornya hingga suara kendaraan itu mulai terdengar. "Gue pulang dulu ya."
"Oke." Vanda mundur beberapa langkah saat Angger memutar balik motornya. Tak lupa cowok itu mengklakson sebelum dia meninggalkan Vanda. Meninggalkan gadis yang kini tersenyum menatap punggung tegap milik Angger.
Vanda masuk ke dalam rumah dengan senyumnya yang awet.
"Itu tadi siapa?"
Sedikit terkejut, kepala Vanda menoleh, menemukan sang Ayah yang tengah berdiri di dekat jendela.
"Temen." Jawabnya pendek dengan senyuman yang masih tersisa.
Ardi manggut-manggut, "Kenapa nggak di ajak masuk?"
"Udah, tapi katanya lain kali aja, soalnya dia nggak bawa martabak buat Daddy." Vanda terkekeh di akhir kalimatnya.
Ardi ikut terkekeh, dia mendekat ke arah putrinya itu. "Oh jadi itu alasannya kirimi mang Ading pesan buat nggak usah jemput?"
Mulut Vanda terbuka dan tertutup lagi. Mau bilang apa? Sekalipun dia mengelak, sang Ayah pasti akan mencoba lebih menggodanya.
"Kasihan Mang Ading Dad, sekali-kali kasih dia istirahat nggak apa-apa kan?"
Ardi terkekeh lagi, tak menyangka anaknya sudah sebesar ini, sudah jago ngeles pula.
"Oke, kapan-kapan ajak dia ketemu Daddy, tapi bilang jangan lupa bawa martabaknya."
Vanda tersenyum, menatap sang Ayah yang menatapnya penuh arti.
**********************************
*
Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Dating (Completed)
Teen Fiction"Jodoh nggak akan lari ke mana, paling ke temen." - Angger. Apa jadinya jika kalian ada di posisi menyukai gebetan teman sendiri? Ingin memiliki, tapi semuanya tidak akan mudah. Tidak ingin memiliki? Nyatanya hanya membohongi diri sendiri. Ini tenta...