Secretly Dating ● 16

5.1K 297 9
                                    

Dengan malas Angger melangkah masuk ke kelasnya. Hari ini mas Bandi hanya memberi waktu latihan sampai pukul 1 siang. Jadilah para anggota harus masuk ke kelas masing-masing untuk belajar. Walau ada yang baru saja ketahuan tidak mengikuti kelas untuk merokok ke belakang sekolah. FYI, Angger bukan perokok aktif. Sekali-kali dia akan menghisap batangan nikotin itu saat berkumpul dengan teman-temannya atau jika sedang lagi bosan sekali. Dia harus punya tubuh yang sehat dan bugar untuk terus bisa menjadi atlet basket.

Pandangan mata Angger meneliti kelas yang tiba-tiba menjadi membosankan.

Udah pelajarannya matematika, gurunya killer lagi, batinnya sambil mendengus kecil. Bukan apa-apa, di sekolahnya banyak guru killer, tapi yang satu ini killernya suka bikin darah rendah Angger jadi darah tinggi.

Lalu suara anak-anak menjawab salamnya saat akhirnya sang guru killer masuk kelas.

Sepanjang pelajaran Angger sama sekali tidak memperhatikan, sesekali melihat ke depan saat pak Ganjar memukul papan tulis jika tahu ada yang mengobrol di dalam kelasnya.

"Kamu, jawab soal di depan!" Pak Ganjar sengaja menunjuk Angger dengan tangan kirinya.

Angger yang sedang menoleh ke jendela sama sekali tak sadar. Beberapa teman sekelasnya mengode cowok itu agar menghadap ke depan. Dengan malas Angger memutar kepala.

Tuh kan! Walaupun gue cuma diem, tetep aja gue kena! Angger mendengus.

"Cepat jawab soal di depan!" Pak Ganjar mengulurkan spidol di tangannya.

"Saya nggak ngerti."

"Lalu maksud kamu saya harus menjelaskan lagi? 5 menit akan terbuang percuma hanya untuk kamu, begitu?"

Angger menegakan punggung, menatap pak Ganjar dengan tatapan intens.

Ini orang mulutnya bacot banget sih! Bikin sakit hati kek gunjingan tetangga!

"Kalo bukan karena basket, kamu sudah di usir dari sekolah ini." Pak Ganjar rupanya belum puas. Sengaja dia mengalihkan topik yang membuat telinga Angger langsung panas.

Kaki Angger mendorong mejanya dengan keras dan bangkit. Dia melangkah mendekati pak Ganjar, berdiri dengan berani di hadapan pria itu.

"Apa?" Pak Ganjar mendekat satu langkah, "Otak kosong aja kamu banggain!"

Dengan segera Angger meraih kerah kemeja pak Ganjar yang kini sedang tersenyum miring.

Pria berumur 34 tahun itu memang suka sekali mencari gara-gara dengan Angger. Hanya karena kepala sekolah mereka selalu memuji-muju anak laki-laki itu. Disaat pak Ganjar ikut berpartisipasi sebagai pembimbing olimpiade yang juga membanggakan sekolah, pak Huda justru terus memuji prestasi team basket yang di komandoi oleh Angger diberbagai kesempatan. Dan pak Ganjar tidak suka itu, menurutnya masih banyak siswa maupun guru (sepertinya) yang patut dibanggakan dari pada siswa seperti Angger yang jelas-jelas sama sekali tidak mementingkan nilai akademiknya.

Beberapa siswa di kelas itu bangkit untuk melerai Angger. Mereka tahu Angger tak akan segan jika dia sudah tersinggung. Sang ketua kelas membujuk Angger agar kembali duduk di tempatnya. Cowok itu tidak mau lagi kelasnya kembali di cap sebagai kelas pembangkang.

Tapi Angger menyentak tangan siapapun yang kini menghalanginya, kakinya melangkah lebih dekat.

"Sekalipun saya nggak pernah masuk kelas, saya akan naik kelas dan lulus dari sekolah ini." Seringai cowok itu muncul. "Karena apa? karena saya sepenting itu untuk sekolah ini!" Tangannya yang mencengram erat kerah kemeja pak Ganjar, dia lepaskan. Kemudian berlalu melewati pria itu untuk keluar kelas. Tangannya sudah sangat gatal. Ingin sekali menghajar wajah pak Ganjar tapi sekuat hati dia tahan. Angger malas sekali jika mamanya mendapat surat panggilan ke sekolah yang berakhir dengan omelan sang mama yang akan membuat telinganya panas.

Di depan pintu kelas, langkah Angger terhenti, dia membalik badan, "Dan satu lagi, kalo anda masih ada urusan dengan saya, kita bertemu di luar sekolah. Kabarin aja." Sopan santun yang selama ini Angger pegang, sudah dia lupakan. Dia sudah muak dengan pak Ganjar.

Dan begitu saja, Angger sudah melangkah pergi meninggalkan pak Ganjar yang kini kesal bukan main. Dia ditantang oleh siswanya di depan siswa-siswi lain. Tentu saja itu sangat menjatuhkan harga dirinya. Kini tangannya yang terkepal keras mewakili semua kekesalannya.

Tak berapa lama kabar itu sampai ke ruang kepsek. Angger yang sedang berbincang dengan mas Bandi di ruang basket, diberitahu oleh siswa jurusan bahasa yang mendatanginya setalah di minta Pak Huda untuk mencarinya.

Dengan langkah santai cowok itu masuk ke ruangan kepsek dan duduk di sofa.

Pak Huda menatap Angger dari kursi kebesarannya dalam diam. Memberi kesempatan untuk anak laki-laki itu menjelaskan.

"Bukan saya yang mulai duluan Pak." Mata Angger menatap mata Pak Huda.

Kepala sekolah itu menghembuskan nafas, beliau bangkit dan duduk di sebelah Angger. "Saya tahu." Ucapnya penuh pengertian, "Tapi kamu nggak bisa terus menerus bermasalah dengan pak Ganjar. Bagaimanapun dia guru di sini."

Angger tidak menoleh, dia sibuk menatap pajangan kuda di atas meja pak Huda.

"Apa kamu punya jalan keluar kali ini?"

Pertanyaan itu membuat Angger menoleh, "Guru matematika di sekolah ini bukan dia aja pak."

Dan pak Huda sudah menangkap maksud Angger. Dia menepuk bahu anak laki-laki itu, "Baiklah, kalo kamu masih mau belajar, sekarang pergi bertemu bu Laura. Tanyakan kelas mana yang jam pelajaran matematikanya sama dengan kelas kamu. Dan kamu bisa pilih kelas mana yang bisa bikin kamu nyaman."

Senyum Angger terbit, "Makasih ya pak."

Bibir pak Huda ikut tertarik.

Angger bangkit, "Kalo gitu saya ketemu bu Laura dulu pak."

Kepala pak Huda mengangguk. "Belajar yang rajin, patahkan semua yang pak Ganjar bilang tentang kamu."

"Pasti pak." Dan cowok itu meninggalkan pak Huda yang terus menatap pintu setelah kepergian Angger.

Banyak sekali yang menyadari kedekatan pak Huda dan Angger bukan hanya sebatas kepala sekolah dan siswanya. Selain karena prestasinya yang membawa nama sekolah, juga karena Angger mengingatkan pak Huda akan sang anak sulung yang seusia anak laki-laki itu. Anaknya yang kini entah di mana keberadaannya. 3 tahun lalu adalah saat terakhir pak Huda bertemu anaknya saat berpamitan untuk mendaki gunung dengan teman-teman dari eskul sekolahnya. Hari di mana hati pria itu sangat berat untuk melepas kepergian anaknya. Dan sejak hari itu, pak Huda tak bertemu lagi dengan jagoannya itu. Dia dan 3 orang temannya hilang karena terpisah dari rombongan.

Menghembuskan nafas, pak Huda menyandarkan punggung ke sofa. Pria itu baru menjadi kepala sekolah sejak tahun pertama Angger masuk SMA Junius. Pertama melihat Angger membuatnya seperti bertemu dengan anaknya kembali. Wajah dan sifatnya begitu mirip. Lalu prestasi Angger membuatnya seakan mendapat jalan untuk lebih dekat dengan anak itu. Anak yang paling dia banggakan di sekolah ini. Anak yang membuat jiwanya seakan hidup kembali.

Perlahan bahu pria itu bergetar. Dia benar-benar merindukan anak lelakinya. Di tahannya isak yang kini keluar dari bibir. Angger yang sejak tadi berdiri di balik pintu hanya diam saat akhirnya mendengar suara tangis pak Huda keluar. Dia tahu semua cerita itu dari mas Bandi. Dan beberapa kali pak Huda selalu menangis setelah bertemu dengannya. Angger selalu seolah tidak melihat hal itu. Selalu pergi saat pria itu sudah tampak ingin menangis. Bukan apa-apa, bahkan saat mendengar suara tangisnya saja, sudah membuat hulu hati Angger sakit. Cowok itu jadi teringat ayahnya.

**********************************

*
Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)

Secretly Dating (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang