Secretly Dating ● 8

6.3K 336 3
                                    

SEPERTI biasa, Angger selalu bernyanyi-nyanyi kecil di atas motornya saat membelah jalanan Jakarta yang mulai macet. Entah itu lagu hip hop atau dangdut sekalian. Tergantung mood. Tergantung sarapan apa sebelum berangkat sekolah. Kalo sarapannya nasi uduk atau nasi pecel, barang tentu lagu milik Rhoma Irama dengan lirik yang tidak begitu dia hapal lah yang akan dinyanyikannya. Tapi jika sarapan roti dengan nutella, maka lagu barat sana yang akan menjadi pilihan.

Di punggungnya sudah ada tas yang sebenarnya tidak dia butuhkan. Jangan berharap ada buku di dalamnya, palingan juga baju untuk latihan dan kaos kaki kotor. Hanya saja, Angger mau jaga-jaga, siapa tahu nanti tasnya itu diperlukan untuk membawa jambu biji yang pohonnya ada di belakang sekolah. Angger dan teman-temannya sudah mengincar buah itu sejak lama.

Lalu matanya beralih menatap lampu merah dengan dengusan kecil. Ah, 50 detik! Keluhnya dalam hati. Kepalanya berputar kiri kanan, mencoba menghilangkan kebosanan. Kali aja liat maling di gebukin.

Telinganya sudah hampir budek karena klakson yang nyaring sana sini.

Gini ya, emangnya kalo lo nglakson, itu lampu merah langsung ijo? Nggak ada gunanya klakson-klakson nggak jelas, dasar oarang-orang stress. Makanya refresing, minimal nonton cicak kawin lah. Angger menggerutu dalam hati.

Begitu lampu berubah warna, dia langsung melajukan motornya. Alisnya menyatu saat melihat seorang cewek yang dikenalnya berdiri di pinggir jalan, sedang menempelkan ponsel ke telinga, tampak panik.

Segera saja Angger membelokan motornya ke arah cewek itu tanpa pikir panjang.

"Mobil lo mogok?"

Vanda menoleh, mendapati Angger yang sudah membuka kaca helmnya.

"Udah telfon bengkel atau apa gitu?" Angger bertanya lagi.

"Udah tapi kan pagi begini pasti macet banget, orang bengkelnya pasti bakal lama, trus ojek online yang gue pesen kejebak macet pula." Bibir cewek itu sudah merengut sekarang.

"Bareng gue aja."

"Ha?"

Angger mengangguk, "Ayo nanti kita telat."

Vanda mendekat ragu-ragu, lalu duduk di belakang Angger. Ini kali kedua dia berboncengan dengan Angger. Kenyataan itu membuatnya menahan senyum tanpa sadar.

"Udah?"

Vanda bergumam, dia beralih menoleh ke arah sopirnya. "Mang Ading, Vanda duluan ya?"

"Iya Non, hati-hati ya."

"Mang duluan ya." Angger menekan klaksonnya sebelum mereka benar-benar pergi.

"Apa kita nggak ditangkep polisi kalo gue nggak pake helm gini?" Vanda bertanya saat motor itu sudah cukup jauh meninggalkan mobilnya tadi.

Dan Angger baru ingat itu. Maka, dia menghentikan motor di pinggir jalan, membuka helmnya dan memberikannya pada Vanda. "Nih lo pake."

"Trus lo?"

"Kita akan lewat jalan tikus, jadi nggak apa-apa kalo gue nggak pake helm." Angger kembali menghidupkan motornya. Lalu masuk ke dalam gang kecil yang dia maksud.

Di sepanjang perjalanan, Vanda tak melepaskan cengkraman tangannya di belakang seragam Angger, sesekali matanya tertutup saat cowok itu ngebut.

Berbeda dengan pertama kali Vanda berboncengan dengan Angger. Seingatnya cowok itu melajukan motornya dengan santai. Dan kini di tempatnya, ingin sekali Vanda berteriak saat Angger melajukan motornya itu dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sampe jatuh aja, gue akan mau lagi boncengan motor sama siapapun! Vanda membatin. Matanya masih saja tertutup. Tadi saat dia mencoba membuka mata, sesuatu masuk ke dalam matanya. Entah apa itu. Yang penting perih, mungkin matanya sudah memerah sekarang.

"Udah sampe." Ucap Angger saat sudah tiba di depan gerbang SMA Junius. Kepalanya menoleh ke belakang dan menemukan Vanda dengan mata tertutup, bibir cowok itu tertarik.

Vanda membuka mata, mengerjapnya beberapa kali, "Ohh..." Dia kemudian turun dari motor matic itu dengan hati-hati. Tangannya membuka helm dan mengulurkannya pada Angger.

"Seragam lo jadi lecek gara-ga-"

"Nggak apa-apa. Seenggaknya nggak robek karena cengkraman lo yang udah kek orang nahan beser." Angger terkekeh menatap seragamnya di bagian pinggang. Dia beralih menatap Vanda dengan alis menyatu, sambil menerima helm. "Mata lo merah..."

Vanda mengucek sebelah matanya yang masih terasa perih. "Iya keknya tadi kemasukan debu."

"Sini gue tiupin." Tangan Angger meraih lalu menarik tangan Vanda. Membuat cewek itu mendekat begitu saja. "Coba buka mata lo." Perintah Angger yang dipatuhi Vanda.

Sebelah mata Vanda yang baik-baik saja, menatap wajah Angger yang begitu dekat. Bahkan dia bisa merasakan hembusan angin dari hidung cowok itu di wajahnya sebelum dia benar-benar meniup sebelah mata Vanda. Kini wangi mint dari tubuh Angger memenuhi indra penciuman cewek itu. Wangi yang sepertinya akan menjadi favorit Vanda. Dan dia menelan ludah untuk semua yang dirasakannya. Perutnya juga melilit tiba-tiba.

Beberapa anak Junius yang ada di gerbang sekolah mulai memperhatikan keduanya saat mereka sama sekali tidak sadar dengan apa yang kini mereka lakukan.

Tiupan nafas Angger di mata Vanda membuat cewek itu menutup matanya erat-erat sebelum akhirnya membukanya perlahan. Rasa perih yang tadi dia rasakan kini sedikit berkurang.

"Udah?" Angger menelengkan kepala saat tangan Vanda kembali mengucek bagian matanya. "Jangan di kucek terus." Cowok itu mengingatkan sambil meraih tangan Vanda dan menjauhkannya dari matanya.

Kaki Vanda mundur selangkah lalu kepalanya mengangguk. Merasa salah tingkah untuk semua perlakuan Angger.

"Kalo nanti mata lo masih sakit, lo ke UKS aja, biasanya ada obatnya di sana." Angger mengantungkan helm di bagian bawah kunci.

Kepala Vanda kembali mengangguk.

"Yaudah, gue ke parkiran dulu ya."

"Makasih."

"Sama-sama." Cowok itu tersenyum dan menjauh dengan motornya.

Bibir Vanda tertarik, masih terdiam beberapa detik di tempatnya. Tiba-tiba langit biru yang biasa dia lihat menjadi lebih indah. Tangannya menempel di dada, sesuatu berdegup cukup kencang dari sana. Belum lagi dengan kenyataan bahwa perutnya yang masih melilit.

Easy Van, easy... Dia merapal dalam hati.

Setelah mencoba mengatur nafas, kakinya yang hendak melangkah, terhenti saat bahunya dirangkul dari samping. Siapa lagi kalau bukan Arum. Mereka berjalan beriringan menuju kelas.

"Lo udah bikin PR belom?"

Alis Vanda menyatu, "PR apa?"

Arum menghentikan langkah. "Demi apa lo lupa? gue kan udah ingetin lo semalam."

Vanda menelan ludah. Senyumnya hilang. Gimana gue bisa lupa sih?! Rutuknya dalam hati.

"Yaudah! Ayo cepat ke kelas, salin punya gue." Arum menarik tangan Vanda.

Tapi cewek itu menahan badannya untuk tetap di sana. Membuat kening Arum berkerut.

"Buku PR gue ketinggalan dong."

Arum mendengus. "Wah... keknya lo dalam masalah Van, bisa-bisa Pak Zabidi hukum lo berdiri di atas meja trus difoto di taruh di mading!"

Dan kini raut wajah Vanda sudah tidak baik-baik saja. Lupakan jantung yang berdegup cepat dan perut melilit karena Angger. Kini degup jantungnya jauh lebih cepat, perutnya juga lebih melilit begitu membayangkan hukuman dari Pak Zabidi.

**********************************

*
Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)

Secretly Dating (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang