"Samlekom..." Angger memasuki rumah setelah membuka sepatu. Menutup pintu di belakangnya dan melangkah menuju dapur.
"Pasti capek banget pulang jam segini, makan dulu gih." Sang ibu yang sedang mencuci piring bersuara tanpa repot-repot menoleh.
"Ara mana Ma?" Tidak langsung menjawab, Angger malah melongokan kepala ke kamar orang tuanya. Sehari ini dia tidak banyak bertemu dengan sang adik. Ada yang kurang rasanya jika belum mengusili gadis kecil itu. Minimal bikin dia nangis lah.
"Tadi sih lagi di bacain dongeng sama Papa di kamarnya, mungkin sekarang udah tidur." Wanita itu kemudian menoleh, "Mama ambilin nasi ya?"
Angger mengisi gelas dengan air dan meneguknya sebelum membalas. "Angger udah makan."
"Makan di mana?"
"Di tempat temen." Angger meletakan gelas kosong ke atas meja. Lalu mencomot sepotong udang tepung dari dalam tudung saji.
"Bio? Difki? Atau Jip?" Wanita itu melanjutkan kegiatannya mencuci piring.
"Vanda namanya."
Tangan sang ibu berhenti bergerak, dia menoleh lagi, "Cewek?"
"Iya."
"Makan di mana?"
"Makan di rumahnya."
Bibir wanita itu tertarik tipis. "Oh ya? Kapan kamu bawa dia ke sini? Kamu juga harus ajak dia makan di sini."
Angger berhenti di depan pintu kamarnya dengan bibir tertarik sekilas. "Kapan-kapan." Dan cowok itu masuk ke dalam kamar. Meninggalkan sang ibu yang terkekeh sambil menggelengkan kepala.
Sudah lama sekali rasanya Angger mengenalkan 'teman dekat'nya pada sang ibu. Lalu tak lagi tahu bagaimana hubungan keduanya. Tapi sepertinya sudah tak ada hubungan lagi mengingat sang ibu tidak pernah melihat Angger setidaknya menelfon tengah malam atau keluar di malam minggu. Anak lelakinya itu hanya tampak sibuk dengan basket dan teman-temannya sambil bermain video game. Dan kini dia kembali membahas seorang cewek dengan nama yang berbeda. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Angger selalu semangat saat akan berangkat ke sekolah. Entah itu karena kompetisi basket yang akan di laksanakan sebentar lagi atau karena gadis itu.
Angger bukan pribadi yang tertutup pada keluarga. Dia terlalu dekat dengan kedua orang tuanya untuk bisa menyembunyikan sesuatu. Termasuk dengan siapa orang yang kini dekat dengannya. Walaupun tidak terlalu detail, tapi itu sudah cukup. Setidaknya kedua orang tua cowok itu tahu apa yang kini sedang di rasakan anak mereka. Dan keduanya sama sekali tidak melarang jika anaknya punya hubungan special seperti kebayakan remaja seusia Angger. Mereka percaya jika anaknya sudah mengerti mana hal yang benar dan mana hal yang salah.
Selesai mandi, Angger meraih ponselnya di atas ranjang. Duduk di sana dan tanpa ragu menghubungi Vanda.
"Hai." Sama sekali tidak ada kecangungan yang terdengar dari suara Angger.
"Hai." Di seberang sana Vanda membalas dengan senyumnya. Dadanya sudah deg-degan duluan saat nama Angger tertera saat benda pintar itu berdering.
"Em... Gue lagi bingung."
"Bingung kenapa?" Vanda ikut bingung. Alisnya menyatu tanpa sadar.
"Lagi bingung mau nanya apa, mau nanya 'lagi apa' udah terlalu mainstream."
Vanda terkekeh.
"Lo udah bikin PR?"
"Hah?" Penting banget nanya itu? Kening Vanda berkerut.
"Hahaha. Tuh kan, kalo nanyanya gitu gue malah kek guru privat."
Kini keduanya tertawa. Pertama kali telfonan dan sudah banyak tawa yang tercipta. Bagaimana Vanda tidak makin baper kalau begini caranya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Dating (Completed)
Teen Fiction"Jodoh nggak akan lari ke mana, paling ke temen." - Angger. Apa jadinya jika kalian ada di posisi menyukai gebetan teman sendiri? Ingin memiliki, tapi semuanya tidak akan mudah. Tidak ingin memiliki? Nyatanya hanya membohongi diri sendiri. Ini tenta...