Rio menatap Nisa yang masih saja dengan pandangan kosong menatap kakinya yang cedera. Kini Rio merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Nisa.Andai saja ia menuruti kemauan gadis ini sekali saja dan tidak mengikuti gengsinya. Mungkin Nisa tidak akan berada di tempat yang seperti ini dengan kakinya yang seperti itu.
Bodoh. Itulah yang patut diberikan kepada Rio. Bodoh karena sudah membuat gadis di hadapannya ini merasa kecewa sekaligus sedih. Mengapa dia harus menuruti egonya.
Persetan dengan egonya. Rio berjalan mendekati Nisa walaupun gengsinya yang sedari tadi sulit untuk ia tahan. Rio mendekatkan dirinya dengan Nisa. Menatap paras manis nan cantik itu. Wajah yang selalu terlihat ceria dan juga tegas.
"Maafin gue, Sa." terdengar cukup datar dan seperti rasa ketidakikhlasan yang terucap dari mulut Rio. Padahal Rio gengsi bukan main hanya untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Menebak jika wajah manis itu akan memberikan tatapan kebencian padanya. Namun tebakan itu salah. Bukan tatapan kebencian melainkan seulas senyum dan dua lesung pipi yang menghiasi wajah gadis itu. Membuat Rio semakin bersalah melihat senyum itu.
Nisa tersenyum dengan tulus. Menatap wajah laki-laki yang ada di sampingnya dengan lembut.
"Udahlah. Santai aja kali Yo. Gue nggak papa. Ini juga bukan kesalahan lo kok seharusnya gue lebih hati-hati pas nurunin anak tangga." ujar Nisa dengan lembut yang membuat Rio mengehela nafasnya.
Lega karena gadis di depannya ini tidak membencinya atas kejadian yang menimpanya. Rio mengangguk dan kemudian menjauhi dirinya sedikit dari ranjang rumah sakit.
Pintu kamarnya terbuka menampilkan Farzan yang baru saja masuk dengan membawa sekantung kresek kecil. Dia berjalan mendekati Nisa yang masih dengan posisi duduknya.
"Kata dokter lo nggak papa. Bentar lagi sembuh, ini obatnya udah gue tebus." Farzan menyodorkan kantung tersebut. "Lo boleh pulang sekarang," lanjutnya yang kemudian diangguki oleh Nisa.
"Yaudah sini gue bantu." tawar Gilang.
Namun Nisa menolaknya karena ia tidak mau merepotkan Gilang."Nggak usah. Gue masih kuat jalan kok" jawab Nisa santai dan yakin.
Gilang tidak menerima penolakan. Dia langsung membungkukkan badannya dan menyuruh Nisa untuk naik ke atasnya. Nisa menurut. Sekali Gilang mengambil keputusan memang harus diikuti. Nisa beruntung sekali. Dalam posisi yang seperti ini dua malaikatnya masih mau memperhatikan kondisinya dan memberikan perhatian yang lebih kepadanya.
*****
"Astaghfirullah. Nisa..!" pekik Anna yang melihat keadaan putrinya.
Anna khawatir melihat Nisa yang dengan wajahnya yang sedikit pucat. Anna langsung menghampiri Nisa yang masih berada di ambang pintu. Menuntunnya untuk duduk dia sofa ruang tamu.
"Ini ada apa ya? Kok Nisa bisa sampai begini?" tanya Anna kepada Rio dkk. yang sudah ikut duduk di sofa ruang tamu.
Mereka semua kompak melempar pandangan satu sama lain. Bagaimana menjelaskan kepada bunda Nisa yang begitu khawatir melihat keadaan putrinya.
Rio berdehem. "Mmm anu Tante. Tadi pas habis tanding Nisa jatuh." ucapnya lirih berusaha agar Anna tidak terlalu terkejut.
Anna sedikit melebarkan matanya dan menghela nafas panjang. Beralih menatap Nisa yang masih santai dalam duduknya sambil menyandarkan punggungnya.
"Kok bisa sih nak?" Anna mengelus lengan Nisa yang masih dengan memakai seragam taekwondonya.
Nisa malah menyengir. Menampilkan deretan gigi putihnya. "Anu bun, tadi Nisa mau turun dari tribun terus kesandung, jatoh deh." ucapnya enteng sambil melirik ke arah Rio yang juga masih menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Nisa [COMPLETED]
Teen Fiction[REVISI] Hey kamu! Iya, kamu. Kamu yang sudah mencuri semua mimpi-mimpiku. Kamu lebih indah dari mimpi dan membuatku sulit tertidur karena terus memikirkan dirimu. ~MMR~ Mario Malviano Ravindra si cowok tampan dan cerdas. Namun, karena sifatnya yang...