Part 16: Khawatir

359 23 0
                                    

Rio berjalan menuju kelas Nisa dengan membawa sebuah baskom aluminium yang ia pinjam di UKS dan berisikan es batu. Sebenarnya dia tidak mau bahkan malas untuk menuruti perintah gadis tersebut. Sudah susah payah memisahkan Nisa dari Faisal dan kini ia harus menuruti kemauan gadis itu.

Ternyata setelah dipikir apa maksud dari ucapan Nisa, ternyata gadis itu memintanya untuk membawakan es batu untuk ditempelkannya pada kaki Nisa.

Dari kejauhan, Rio dapat melihat Nisa yang sedang tertunduk di atas lipatan kedua tangan. Kedua sepatu serta kaus kaki Nisa sudah terlepas dari kakinya. Dengan segera Rio melangkahkan kakinya mendekati Nisa.

"Nih" Rio meletakkan baskom yang berisikan es batu itu di samping Nisa.

Nisa mengangkat wajahnya dan kemudian melirik es batu tersebut. Sedangkan Rio sudah duduk sambil memainkan ponselnya.

Nisa berdecak dan kemudian berdiri masuk ke dalam kelasnya. Ia keluar lagi dengan membawa sapu tangan dan krim yang biasanya ia gunakan untuk mengobati kakinya yang baru saja ia ambil dari dalam tasnya. Nisa mulai mengompres kakinya dengan es batu yang ia masukkan ke dalam sapu tangannya.

Rio tidak beranjak ataupun melihat Nisa yang sedang mengobati kakinya yang nyeri itu. Dia tetap fokus pada layar ponselnya dan tidak menyadari bahwa Nisa sudah tidak mengompres kakinya melainkan menyandarkan punggungnya pada kursi.

Nisa mencengkram pegangan kursi yang ada di sampingnya dengan kuat. Kepalanya terasa sangat pusing dan membuatnya harus menutup matanya. Nisa hanya menggertakkan giginya untuk menahan rasa nyeri pada dadanya yang tiba-tiba saja muncul dan sulitnya mendapatkan oksigen di sekitarnya.

Sebisa mungkin Nisa menahannya karena mengingat bahwa masih ada Rio di sampingnya yang walaupun cowok itu tidak memperhatikannya.

"Pergi Yo" pinta Nisa pelan dengan mata yang masih terpejam.

Rio mendongak dan memutar kepalanya menghadap Nisa. Alisnya terangkat sebelah. Melihat Nisa yang sedang memejamkan matanya dan tangannya yang mengepal kuat. Rio mengedikkan bahunya acuh dan kembali memainkan ponselnya.

"Gue bilang pergi Yo!" kembali Nisa menyuruh Rio dengan nada suara yang dingin dan penuh penekanan.

Tidak mau berurusan lebih lanjut dengan Nisa, Rio segera memasukkan ponselnya ke dalam saku dan mulai meninggalkan Nisa yang masih dalam posisinya. Saat dia sudah sedikit jauh, Rio membalikkan badannya dan melihat Nisa yang mengubah posisi duduknya. Tangan sebelahnya memegangi dada kirinya dan dia seperti habis berlari maraton yang membuat nafasnya ngos-ngosan sebelum ia melihat Nisa masuk dengan tergesa ke dalam kelasnya.

****

Sepulang sekolah Nisa berniat untuk menjemput Ara di sanggar tari. Memang sifatnya dan Ara sangatlah berbeda, dirinya yang memiliki sifat dan perilaku yang masih sedikit sulit dikendalikan. Berbeda dengan adiknya, Ara yang memiliki perilaku yang lembut dan terlihat lebih feminim.

Nisa sudah memasang helm di kepalanya dan mulai menaiki motor dan langsung menuju sanggar. Memegang di rumahnya hanya ada satu buah motor dan itu hanya digunakan oleh bundanya untuk pergi bekerja dan Nisa lebih memilih menaiki sepedanya daripada bundanya yang harus pergi ke tempat kerja dengan menggunakan sepedanya itu.

Sesampainya di sanggar tari, ternyata Ara sudah menunggunya dan dia tidak sendirian. Ada seorang gadis seusianya yang duduk bersamanya. Nisa menghampiri mereka berdua.

"Yuk, pulang" Nisa menyodorkan sebuah helm kepada Ara.

"Hai kak! Kakaknya Ara ya?" tanya gadis itu.

Nisa mengangguk dan kemudian tersenyum. "Iya, nama kakak Nisa, nama kamu siapa?" tanya Nisa pada gadis itu.

"Nama aku Luna kak"

Diary Nisa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang