Part 19: Sepi Tanpamu

270 22 0
                                    


Bukan hanya sebuah kebanggaan karena berhasil menampilkan yang terbaik di depan umum, melainkan juga kebahagiaan karena sudah menjadi pemenang pada acara festival budaya di sekolah.

Dengan senyum yang merekah Nisa berjalan ke depan. Siapa sangka jika dirinya juga menjadi perempuan terbaik dengan penampilannya yang menarik perhatian semua orang. Nisa sedikit sulit untuk menjabat tangan Bu Endang lantaran hiasan kukunya yang memenuhi seluruh jemarinya.

"Selamat untuk kalian berdua karena sudah menjadi pemenang di acara festival kali ini. Saya harap dengan diadakannya acara ini akan menimbulkan kesadaran untuk kita semua agar tetap melestarikan budaya yang ada di negeri kita." kata Bu Endang kepada seluruh siswa yang berada di dalam aula.

Setelah ucapan selamat yang disampaikan oleh Bu Endang semua siswa berhamburan untuk mengabadikan momen tersebut dengan berfoto. Ada yang berfoto dengan teman-temannya dan adapula yang berfoto dengan kekasihnya dengan gaya ABG jaman sekarang.

Nisa tersenyum puas melihat ramainya semua orang yang mengabadikan momen tersebut. Tangannya ditarik oleh seseorang yang membuatnya menoleh. Sudah ada Farzan dengan kamera yang menggantung di lehernya itu.

"Sip deh kalo begini. Sini lo berdua gue fotoin dulu" Farzan mengatur posisi Nisa dan Rio untuk difotonya.

Tiba-tiba rasa nyeri menghampirinya kembali. Dadanya terasa sesak. Hampir saja Nisa terjatuh karena menahan pusing yang juga ikut menusuk kepalanya jika saja Rio tidak menahan lengannya.

"Udah sih jangan pacaran dulu, sini gue poto dulu kalian"

Farzan mulai mengarahkan kameranya, memotret Nisa dan Rio yang terlihat seperti sepasang pengantin. Mereka berdua sangat serasi.

Baru saja Nisa ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing dan ia sulit untuk mengambil nafasnya. Rasanya seperti tercekat, menusuk kepala dan dadanya. Menghujamnya tanpa ampun. Membuatnya limbung ke dalam pelukan Rio.

****

Takdir memang selalu mengejutkan. Tidak satupun manusia yang dapat menghindar ataupun bermain-main dengan takdir. Tuhan bisa saja dengan cepat dan tanpa ragu mengambil Nisa dari dunia ini. Namun, ternyata takdir masih berpihak kepada Nisa. Bukan hanya dirinya tetapi juga kepada semua orang yang ada di sekitarnya termasuk bundanya yang sangat ia sayangi.

Nisa membuka matanya perlahan saat bau obat-obatan menusuk hidungnya. Sebelum bangun saja Nisa sudah hafal pasti dia sedang berada di rumah sakit dan Nisa kesal dengan itu. Selalu saja mengapa harus dibawa ke rumah sakit. Nisa tidak suka dengan yang namanya obat, bahkan mencium baunya saja sudah membuatnya mual.

"Nisa,.." panggil Anna yang duduk di samping ranjang rumah sakit dengan tangannya yang mengelus kepala Nisa.

Nisa menoleh dan melihat bundanya dengan raut wajah khawatir.

"Apa ada yang sakit sayang? Bilang sama bunda ya, jangan dipendam"

Nisa menggeleng pelan, "enggak kok bun, cuma pusing aja Nisa."

Pintu ruangan terbuka menampilkan Dani dan Farzan yang baru saja memasuki ruangan. "Lo udah sadar Sa?" tanya Farzan basa-basi.

Nisa berdecak dan kemudian menatap Farzan malas. "Lo nggak liat apa mata gue melek?"

Farzan menyengir dan kemudian menarik kursi untuk didudukinya. "Galak amat sih. Kan wajar dong pertanyaan gue"

Nisa hanya diam dan tidak membalas perkataan Farzan, ia lebih memilih untuk memejamkan matanya sejenak. Matanya terbuka ketika Dani mengatakan sesuatu.

"Nisa, om sudah bilang kan sama kamu kalau kamu nggak boleh kecapean? Kamu sering mengabaikannya Nisa, om hanya nggak mau kamu kembali merasakan sakit dan tidak memberitahu siapapun."

Diary Nisa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang