PROLOG

7K 253 37
                                    

Jakarta, 14 Februari 2015

Tak ada yang lebih mengerikan bagi anak-anak kelas X-IPA-7 hari ini, selain ulangan matematika dadakan yang Bu Maya adakan. Deretan soal yang tertulis di papan begitu membuat kepala Lily pening, menambah penderitaan bagi ia yang kini sudah terkena flu. Ia memijit pelipisnya pelan, kemudian menulis ulang soal-soal itu di selembar kertas kosong.

Dari lima soal sistem pertidaksamaan dua variabel itu, hanya satu soal yang bisa Lily jawab dengan yakin. Sisanya ragu-ragu, bahkan tidak tahu cara menjawabnya sama sekali. Guru sepuh yang killer itu memang suka membuat kejutan. Soal ulangan pasti berkali-kali lipat lebih njelimet dibanding soal latihan yang pernah ia berikan sebelumnya.

Lily melirik ke kanan, ke arah Niara yang tampaknya sedang lancar-lancar saja mengerjakan lima soal terkutuk itu.

Tumben.

"Ra, lo sehat?"

Niara meringis lebar. "Hehe, gue semalem dapet bocoran soal dari Oka, Ly."

"Apa?!" pekik Lily kaget. "Kok nggak lo bagi-bagi ke gue sih?"

"Lain kali gue bagi-bagi ke lo deh." Niara menggeser selembar kertasnya yang sudah penuh terisi jawaban lengkap dari soal nomor satu sampai nomor lima. "Tuh, salin aja punya gue."

Haaaaatcih!

Suara bersin Lily memecah keheningan. Beberapa anak yang semula kepalanya tertunduk menghadap kertas, seketika menoleh ke arah Lily. Untung Bu Maya tidak berkomentar apa-apa. Bersin adalah hal yang manusiawi.

Cepat-cepat, Lily menyalin jawaban Niara dari awal sampai akhir. Memiliki sahabat seperti Niara sepertinya membuat Lily beruntung juga, setidaknya untuk situasi ini.

"Eh, ya ampun, penggaris!" Lily panik ketika ada satu soal yang menyuruhnya untuk menggambar grafik. Hukumnya wajib untuk anak didikan Bu Maya, kalau ada grafik dan semacamnya, harus digambar menggunakan penggaris. "Ra, pinjem penggaris dong."

"Gue tadi pinjem ke Oka, udah gue kembaliin ke dia."

"Ka, Oka." Lily memanggil Oka yang duduk di meja depannya. "Boleh pinjem penggaris nggak?"

Oka yang dipanggil tidak menjawab. Lelaki itu menunduk, sepertinya ia sibuk meneliti kembali jawaban yang sudah selesai ditulisnya di kertas.

"Per, pinjem penggaris dong," kata Lily pada Bayu Perdana yang dipanggil teman-teman di kelas dengan sebutan Baper, teman sebangku Oka hari ini. Yang dipanggil tak juga mengindahkan panggilan Lily, membuat Lily mendengus kesal.

"Per! Per!" desak Lily. Detik demi detik terus berganti. Waktu mengerjakan sudah hampir habis.

Sesaat kemudian, Bayu menoleh sedikit ke belakang. "Gue cuma punya satu, ini lagi gue pakai," katanya sambil menunjukkan sekilas penggaris bening 30 centimeter miliknya.

Merasa kegerahan, Niara mengipasi tubuhnya dengan sebuah buku tulis. Kebetulan siang ini sedang mati listrik. AC yang biasa membawa angin segar di kelas jadi tidak berfungsi. Mati listrik kali ini adalah nikmat bagi Lily. Coba saja kalau AC dinyalakan, tubuhnya yang sudah menggigil karena flu akan semakin menjadi-jadi.

"Ka, tisu dong," pinta Niara ketika ia ingin menyeka bulir-bulir keringat di dahinya.

"Nih." Secepat kilat, Oka berbalik ke belakang menyerahkan tisu saku yang isinya masih penuh kepada Niara.

Lily memberengut. Tadi saja, waktu ia memanggil Oka, lelaki itu sama sekali tidak menggubrisnya. Giliran Niara? Oka langsung sigap memberikan apa yang Niara minta. Padahal itu hanya sekadar tisu untuk menyeka peluh. Tidak sepenting penggaris yang Lily ingin pinjam untuk menggambar grafik.

Selena yang duduk di depan meja Oka dan Bayu, menghadap ke belakang. Ia mengguncang pelan lengan Bayu, ingin meminjam correction pen. Sejurus kemudian, Bayu mengeluarkan correction pen-nya yang ia simpan di dalam laci, lalu ia berikan begitu saja kepada Selena.

Miris sekali melihatnya. Rasanya semua ini tidak adil bagi Lily. Namun ia sadar, di zaman sekarang ini, penampilan adalah salah satu faktor yang menentukan sikap seseorang terhadap kita. Ketika seorang perempuan sudah memiliki modal wajah yang good-looking, itu akan menyelesaikan sebagian dari masalah kehidupannya.

Lily itu cantik. Setidaknya bagi dirinya sendiri, kakaknya, dan orang tuanya. Ia tahu bahwa dirinya tak bisa memenuhi standar kecantikan lingkungan sosialnya. Wajah kusam dan bruntusan, kulit sawo matang, bibir bawah yang sedikit tebal, rambut hitam panjang yang selalu ia kuncir rapi, serta tubuh gempal dengan tinggi badan standar, sama sekali tidak menarik bagi orang-orang. Apalagi bagi kaum laki-laki. Mustahil rasanya jika sampai ada lelaki yang mengemis cinta padanya. Jangankan mengemis cinta, lelaki yang menaruh perhatian kepadanya saja, Lily rasa tidak ada.

~ to be continued ~

Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang