Setelah berjalan beberapa meter dari kelas, Nuca memanggil Lily yang berjalan di depannya. "Lyo?"
Lily menghentikan langkahnya. "Apa?"
"Maaf banget nih sebelumnya. Tadi waktu aku cari-cari print out kita, aku baru sadar ternyata PR matematikaku ketinggalan juga. Duh, mana Bu Maya tuh killer, ya?"
"Banget," jawab Lily. "Hati-hati lo, bisa habis dihukum lo entar."
Nuca membasahi bibirnya. "Mmm... Kalau misal aku ajak kamu ke rumahku, gimana?" izin Nuca. "Kita ambil print out sejarah, sekalian ngambil PR-ku itu. Jadi, kita nggak usah nge-print ulang."
Sebenarnya Lily malas, tetapi apa boleh buat. Ia juga tidak tega kalau anak baru itu menjadi korban Bu Maya di awal masa sekolahnya di sini. "Ya udah."
Mereka bergegas menuju ke parkiran di mana motor Nuca berada. Motor Nuca adalah motor sport hitam dengan sedikit sentuhan warna gold. Helm full face-nya juga hitam. Motor seperti itu cocok sekali dengan bentuk tubuh Nuca yang tegap dan tinggi. Kalau Nuca ditanya berapa tinggi badannya, ia menjawab, "Belum ngukur sih, tapi kayaknya udah 180 centimeter ke atas," katanya dengan polos, tanpa bermaksud congkak.
Lily mengambil helmnya yang ia titipkan di tempat penitipan helm. Ia memang setiap hari berangkat dan pulang naik ojek online, tetapi ia selalu membawa helm sendiri.
Selama perjalanan menuju ke rumah Nuca, Lily yang dibonceng di atas motornya hanya membisu sambil menikmati angin yang membelai lembut tubuhnya. Maklum, dua-duanya memang tipe orang yang kalem dan tidak banyak bicara. Mereka berdua jadi merasakan suasana yang awkward.
Lily heran, mengapa lelaki se-high-class Nuca tidak alergi kepadanya? Padahal dulu waktu melayat ayah Pia, tiada satupun anak lelaki yang mau membonceng Lily di motor mereka. Alasannya macam-macam, mulai dari ban kempes hingga rem kurang berfungsi. Namun, ketika Niara atau Selena yang minta tebengan, mereka siap maju ke barisan paling depan.
Untuk mencairkan suasana canggung yang semakin menjadi, Lily sedikit berbasa-basi pada Nuca. "Nuc?" panggilnya.
"Iya?" jawab Nuca sambil melirik Lily sekilas di belakang.
"Rumah lo masih jauh?"
"Apa?" Nuca meminta Lily mengulangnya, karena suara angin dan jalanan yang berisik mengganggu pendengarannya.
"Rumah lo masih jauh nggak?!" tanya Lily hampir berteriak. Tidak bermaksud ngegas, hanya agar Nuca bisa mendengarnya.
Nuca terkekeh kecil sebelum menjawab. "Nggak kok, bentar lagi sampai."
Rumah Nuca memang tidak begitu jauh dari sekolah. Jaraknya kira-kira empat kilometer, menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit jika ditempuh dengan santai, tidak ngebut. Nuca memang tidak berani ngebut kalau ia membonceng seseorang.
Sampailah mereka di rumah Nuca. Rumah itu amat besar dan mewah. Halaman rumahnya luas sekali. Rumput hijau nan segar, beberapa tanaman hias, menjadi pemandangan indah di halaman rumahnya. Lily tercengang dibuatnya. Nuca benar-benar anak orang kaya, tetapi ia sama sekali tidak risih mengajak perempuan buluk seperti Lily ke kediamannya. Sepertinya Lily salah menilai Nuca selama ini.
Nuca meminggirkan motornya persis di depan pintu garasi. Ia melepas helmnya kemudian turun dari motor. "Masuk yuk, Lyo," ajaknya sambil tersenyum hangat.
Lily mengangguk. Ia berjalan di belakang Nuca, memasuki rumah besar itu. Ia dibuat kagum dengan melihat setiap sudut rumahnya yang sangat tertata rapi. Nuca mempersilakan Lily duduk di ruang tamu, lalu ia bergegas naik ke kamarnya di lantai dua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...