Lily menghadap perempuan itu. "Loh Mbak kenapa?"
"Saya... Saya dituduh mencuri, Mbak. Padahal nggak, Mbak. Sumpah!"
"Siapa yang nuduh Mbak?"
"Sama bapak-bapak yang habis nginep di sini. Saya kan habis bersihin kamar bekas bapak itu menginap, terus saya nemuin kotak perhiasan ini, Mbak," kata perempuan itu sembari mengeluarkan kotak perhiasan berwarna merah dan menunjukkannya kepada Lily. "Saya ambil, niatnya mau saya taruh di resepsionis. Biar kalau bapak itu nyari kotak ini, bisa langsung di ambil di sana. Ternyata bapak itu kembali ke kamar sebelum saya sempat ke resepsionis, dan dia jadi menuduh saya yang mencuri perhiasannya, Mbak."
Perempuan itu meredakan napasnya yang terengah-engah sebelum melanjutkan ceritanya. "Begitu bapak itu lihat saya, bodohnya saya langsung lari. Mungkin karena saya lari, bapak itu semakin yakin kalau saya pelakunya. Bapak itu manggil anak-anak buahnya untuk ikut ngejar saya. Saya takut, Mbak. Saya takut dilaporkan ke bos, terus saya dipecat. Padahal saya butuh banget pekerjaan di sini. Saya lebih takut lagi kalau bapak itu sampai melaporkan saya ke polisi, Mbak," ucap perempuan itu sambil menangis lagi.
Lily tidak tega melihat perempuan itu ketakutan. Ia mendekap pundak perempuan itu. "Harusnya... Mbak tadi nggak usah lari. Kan Mbaknya nggak salah. Mbak sekarang keluar aja, temuin bapak itu. Bilang aja dengan tegas dan jelas kalau Mbak niatnya mau naruh kotak itu ke resepsionis."
"Tapi..."
"Kalau Mbak emang nggak salah, nggak usah takut..." kata Lily memberi pengertian. "Yuk, kita keluar."
Lily menarik tangan perempuan itu untuk keluar dari toilet. Di depan toilet, sudah ada empat orang laki-laki dewasa berpakaian setelan jas yang sepertinya sudah menunggu seseorang keluar dari toilet wanita.
Perempuan itu bergidik ngeri. Ia menundukkan kepala. Apalagi ketika salah seorang lelaki berjalan dengan mata tajam mendekatinya.
"Hei, kamu. Kamu pasti yang mencuri perhiasan yang saya bawa kan?"
"E... e... nggak, Pak," jawab perempuan itu terbata-bata dan gugup.
"Mana ada maling yang mau ngaku, Bos," sahut seorang lelaki yang lain.
Lily berdecak gemas. Apalagi melihat ekspresi perempuan itu tampak ketakutan. Kalau perempuan itu memang tidak niat mencuri, mengapa ia harus takut seperti itu? Lily jadi curiga kalau sebenarnya perempuan itu memang pencuri.
Lelaki dewasa bertubuh tinggi besar yang di ID card-nya tertulis nama Panji Subagyo itu beralih menatap Lily dengan tajam. "Kamu! Pasti kamu juga sekongkol dengan perempuan ini?"
Lily menggeleng cepat. "Nggak, Pak. Sumpah. Saya nggak tau apa-apa soal kotak perhiasan Bapak. Tiba-tiba Mbak ini tadi menghampiri saya di toilet, minta tolong ke saya, katanya dia dituduh mencuri."
Panji meraih pergelangan tangan Lily dengan kasar. Lily ingin berontak, tetapi tidak bisa. Jelas-jelas tenaganya kalah dengan tangan kekar seorang Panji. "Kamu! Ikut saya!"
"Nggak!!! Nggak mau!!! Saya-"
Hap. Panji berhasil membekap mulut Lily dengan tangannya. Antek-antek Panji mengamankan tangan Lily agar tidak berontak. Mereka membawa Lily masuk ke lift. Sementara perempuan itu malah ditinggal dan dibiarkan bebas begitu saja.
Begitu pintu kamar 306 terbuka, antek-antek Panji meninggalkan Panji dan Lily hanya berdua. Lily bergidik ngeri. Tubuhnya merinding. Ini lebih menakutkan daripada penampakan kuntilanak di malam hari. Apalagi tatapan Panji yang sangat tajam.
Setelah membawa Lily masuk ke kamar, Panji mengunci rapat pintu kamar tersebut. Mulut Lily sudah bebas dari bekapan.
"Bapak jangan kurang ajar ya sama saya!" ucap Lily dengan bibir bergetar.
![](https://img.wattpad.com/cover/217650509-288-k506536.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...