Lily baru saja selesai mandi. Ia mematut wajahnya di depan cermin di kamarnya. Mulutnya ternganga ketika ia menyadari perubahan di wajahnya. Wajahnya kini terlihat lebih cerah. Ia mengelus pipinya perlahan. Pipinya yang dulunya bruntusan, sekarang sudah mulai mulus. Gadis itu memekik singkat. Perubahan ini pasti efek skincare yang dibelinya dari resep dokter di klinik kecantikan langganan Eva, Fachra Aesthetic Center. Ternyata Lily cocok menggunakan produk itu.
Setelah memakai pakaian yang dipilihnya setelah sepuluh menit berbingung ria, Lily memakai rangkaian skincare, BB cream, dan bedak tabur tipis-tipis ke wajahnya.
Suara motor Rafi yang sudah Lily kenali terdengar sudah sampai di depan rumah Eva. Namun, Lily belum selesai memakai rangkaian make up-nya. Sambil memoles lip tint, Lily merasakan deg-degan lagi seperti kencan pertama. Ia menebak-nebak reaksi Rafi saat melihat perubahan wajahnya yang kini lebih glowing. Harapannya satu, semoga Rafi tetap menerimanya apa adanya.
Di ruang tamu, Rafi sudah dipersilakan duduk oleh Eva. Sembari menunggu Lily keluar kamar, Eva mengajak Rafi mengobrol ringan.
***
Selena sudah dipersilakan duduk oleh Alma di ruang tamu rumah Nuca yang cukup luas. Alma mencium gelagat Selena yang mencurigakan. Gadis itu tampak tegang dan gelisah. Ia meremas-remas telapak tangan, kakinya digoyang-goyangkan, dan sesekali ia menggaruk telinganya.
"Gimana, Selena? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Alma dengan nada lembut dan ramah.
"Jadi... Jadi begini, Tante," ucap Selena dengan suara pelan dan sedikit bergetar.
"Santai aja." Alma mencoba tersenyum menenangkan, meskipun ia semakin penasaran. "Tarik napas dulu."
Setelah menarik napas panjang, Selena merasa sedikit lebih tenang. Ia berniat melanjutkan ceritanya. "Jadi gini, Tante. Seperti yang Tante tahu, Nuca sekarang kan jadi ketua teater, dan saya sekretarisnya. Akhir-akhir ini, hubungan saya sama Nuca udah mulai dekat. Selain kerja bareng, kami juga mulai sering main berdua."
Alma mengangguk paham. Ia menunggu penjelasan Selena menuju ke intinya.
"Tapi..." Kata-kata Selena terhenti sejenak.
"Saya tahu, saya dan Nuca emang salah. Tapi... semuanya udah terjadi, Tante."
"Saya..."
Selena mengeluarkan sebungkus plastik yang isinya lima batang test pack yang semuanya hasilnya menunjukkan dua garis merah.
"Saya hamil, Tante. Hamil anak dari Nuca."
"APA?" Axel yang sejak awal menguping tiba-tiba keluar, ikut bergabung ke ruang tamu setelah mendengar pernyataan Selena yang sangat mengejutkan itu. "NUCA HAMILIN KAMU?"
Alma menahan napas. Dadanya mendadak terasa sesak. Dunia seolah berhenti berputar pada porosnya."Astaghfirullahaladzim."
***
Nuca yang sejak kecil hidupnya selalu berada di jalan lurus, tidak pernah merasa hidupnya sehancur ini. Ia harus menanggung perbuatan yang ia lakukan di luar kesadarannya. Hidup ini memang ironis dan tidak adil.
Kemarin, Ari dan Alma jadi ustadz dan ustadzah mendadak yang menceramahi Nuca dengan panjang-lebar. Jangan lupakan Axel yang terus-terusan mengatai Nuca bego, goblok, tolol, dan semacam itu. Nuca tidak berani menyangkal sepatah kata pun, karena ia juga sama sekali tidak ingat apa yang terjadi ketika ia mabuk. Yang diingatnya, ia membuka mata ketika ia sudah berada di sebuah kamar losmen bersama Selena dalam satu ranjang. Losmen yang berada tak jauh dari club malam tempat Sadam mengajaknya ke sana.
Malam itu, Nuca menanyai Selena, apa yang sudah ia lakukan. Selema menjawab tidak tahu, katanya ia juga sedang mabuk. Namun, Nuca tidak menyangka sama sekali bahwa akhirnya akan seperti ini.
Pagi ini, Nuca berjalan gontai dari parkiran motor menuju ke kelas. Ia sangat tidak bersemangat untuk sekolah hari ini, bahkan ia sudah merasa tidak pantas menjadi anak sekolahan. Ia merasa sangat berdosa.
Dari belakang, Selena berlari untuk menyusul berjalan di samping Nuca. Ia menyapa lelaki itu dengan suara pelan. "Hai."
Nuca menatap Selena sekilas, lalu cepat-cepat ia memalingkan wajah. Ia tidak menjawab. Lelaki jangkung itu melangkah cepat menuju ke masjid. Ia ingin menenangkan dirinya di sana.
***
"Panggilan kepada Selena Permata Devi kelas XII-IPA-7, harap ke ruang BK sekarang juga. Terima kasih."
Suara speaker di setiap kelas yang bersumber dari ruang piket itu mengundang perhatian semua orang yang mengenal Selena. Gadis yang namanya disebut itu terdiam karena kaget. Jangan-jangan berita kehamilannya sudah ketahuan oleh pihak sekolah? Tapi dari mana?
Selena membuka pintu ruang BK dengan hati-hati. Ia disambut tatapan yang tidak mengenakkan dari Bu Tita, guru BK; Pak Oki, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan; dan Pak Kus, kepala sekolah. Menyeramkan.
"Selena, apa benar kamu sekarang sedang mengandung?" tanya Bu Tita to-the-point.
Rasanya Selena ingin segera menghilang saja dari bumi. Ia sudah tidak punya muka lagi. Kalau sudah begini, bisa-bisa sebentar lagi ia dikeluarkan dari sekolah.
"Tadi saya menemukan ini di depan toilet guru, ketika kamu baru saja keluar dari sana," kata Pak Oki, sambil menyerahkan sebuah kertas yang dilipat menjadi dua.
Kertas itu berisikan tulisan curahan hati Selena, seperti berikut.
Hari ini, pertama kalinya dalam hidupku, aku sampai nulis curhatan kayak gini di kertas. Karena untuk masalah ini, aku nggak tahu lagi, harus cerita ke siapa.
Kata orang, karma itu pasti ada. Dulu sih, aku ketawain aja. Tapi sekarang... aku bisa membuktikan sendiri seperti apa yang namanya karma itu.
Sejak aku melihat dua garis merah yang sangat menyeramkan itu di lima test pack yang aku coba, rasanya aku pengen mati aja bersama bayi yang ada di dalam kandunganku. Aku merasa di sinilah puncak kegagalan dalam hidupku. Mama dan Papa pasti malu punya anak kayak aku. Eriko yang dari dulu malu punya kakak kayak aku, pasti sekarang lebih malu lagi semalu-malunya.
Kata orang, anak itu anugerah. Tapi buat aku, anak ini musibah. Aku emang pengen punya anak, tapi nggak secepet ini juga, Ya Tuhan.
Aku juga nggak pernah menyangka kalau cowok itu yang jadi bapak dari anak aku. Aku pun nggak berani ngasih tahu dia. Karena aku tahu, kemungkinan besar dia nggak mau tanggung jawab. Cowok mah enak, ngerasain enaknya doang, terus pergi seolah nggak terjadi apa-apa. Aku yang harus menanggung semuanya sendirian!!!
Aku belum siap jadi ibu di usiaku yang masih 17 tahun. Ngurus diri sendiri aja aku gagal, apalagi ngurus anak? Anak aku nggak salah. Aku yang salah. Kenapa Tuhan izinkan dia hidup di rahim aku? Padahal di dunia ini banyak perempuan-perempuan yang lebih pantas jadi ibunya.
Apa ini semua balasan buat aku yang udah ngelakuin semuanya ke Lily? Padahal Lily udah baik banget sama aku, tapi kenapa aku jahat ya sama dia? Emang ya, penyesalan itu datengnya di akhir.
Tapi, kalau semuanya udah terjadi gini, aku harus nyalahin siapa? Ini emang salah aku, tapi aku nggak mau salah sendirian.
Nggak tahu ah, capek. Capek hidup. Andai aja bunuh diri itu nggak sakit. Pengen cepet jadi mayat aja, terus dibakar.
Selena membacanya lagi dari atas sampai bawah. Air matanya menetes membasahi tinta pulpen di kertas itu. Setiap membaca ulang tulisan itu, ia tidak pernah tidak menangis.
Tadi pagi sebelum masuk kelas, Selena ingin muntah. Karena posisinya masih di parkiran motor, ia berlari ke toilet terdekat, yaitu toilet guru. Ternyata kertas yang dikantonginya di dalam saku rok, terjatuh di sana. Boomerang bertubi-tubi menghancurkan hidupnya. Mungkin inilah akhir dari persembunyiannya. Termasuk rencana jahatnya kepada Lily, yang berhasil membuat Lily angkat kaki dari sekolah ini.
Namun, Selena masih merasa sedikit beruntung, karena ia tidak menyebut secara gamblang siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Kalau tidak, rencananya untuk meminta Nuca menikahinya bisa gagal total.
~ TO BE CONTINUED ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...