28. JANGAN PERGI

1.4K 186 210
                                    

"Diminum ya, Nuc."

Nuca tersenyum ketika secangkir teh hangat mendarat di atas meja ruang tamu rumah Lily. "Makasih," ucapnya manis, lalu ia menyeruput teh hangat buatan Lily.

Bulir-bulir air jatuh dari rambut Nuca, membasahi wajah lelaki itu. Dengan cekatan, Lily mengusap pipi Nuca dengan tisu yang telah dibawanya. Nuca menangkap tangan Lily, lalu dikecupnya punggung tangan gadis itu dengan lembut. Meskipun di luar hujan, Lily merasa ada kehangatan di dalam rumahnya.

Setelah sekian detik mereka saling pandang sambil mengulum senyum, Lily akhirnya membuka obrolan. "Kamu kok peka banget sih? Aku bilang kangen di chat, eh tiba-tiba kamu langsung ke rumah. Mana kamu belain hujan-hujanan lagi."

Nuca tersenyum. "Kata Mas Axel, kalau cewek bilang kangen, dan kitanya juga kangen, kita harus bertindak. Bukannya cuma bales 'aku juga kangen kamu'. Itu mah sama aja ngomong doang, tapi nggak ada buktinya."

"Hahahaha." Lily tertawa, kemudian ia merapatkan posisi duduknya dengan Nuca, hingga tidak ada jarak lagi di antara tubuh mereka. "Kamu harus belajar banyak tuh sama Mas Axel, kayaknya dia udah expert banget dalam hal begituan."

"Iya, ya?" Nuca tertawa geli, kemudian ia mengarahkan kepala Lily untuk bersandar di bahunya. Dikecupnya puncak kepala Lily dengan lembut.

"Cium-cium gini, juga diajarin Mas Axel, nih?" ejek Lily.

"Nggak sih. Mmm... kalau ini, alami dari aku sendiri." Nuca tersenyum malu. "Kamu nggak suka, ya? Maaf deh, kalau gitu."

"Nggak," jawab Lily jutek.

"Iiiih, maafin aku, ya?" Nuca meletakkan tangannya di atas tangan Lily.

"Nggak!"

"Lyo..."

"Nggak nolak." Lily menjawab pelan sambil tertunduk malu.

Nuca mengembuskan napasnya. "Ya ampun, kamu tuh ya," gemasnya sambil mengacak rambut Lily, lalu mendaratkan kepala Lily di atas bahunya. "Kamu beneran nggak marah soal aku sama Selena tadi di kelas?"

"Nggak lah, ngapain? Kamu kan nggak salah," jawab Lily sambil mendongak lalu mencubit-cubit pipi Nuca. "Toh aku nggak berhak marah, karena di sekolah kan kita statusnya musuhan."

"Tapi kalau di rumah, sayang-sayangan."

Lily hanya bisa tersipu malu, lalu membenamkan wajahnya di bahu Nuca. Nuca pun menggenggam erat tangan Lily, sehingga Lily bisa merasakan tangan Nuca panas. Gadis itu menyentuh pipi Nuca, lalu beralih lagi menyentuh kening lelaki itu. "Nuc, badan kamu anget, lho. Kamu sakit, ya? Gara-gara hujan-hujanan ke sini?" tanya Lily khawatir.

Nuca menggeleng cepat. "Nggak kok, Lyo. Nggak kenapa-kenapa."

"Bohong, ih." Lily cemberut. "Kamu tunggu di sini, aku ambil air sama handuk buat kompres kamu."

Nuca pasrah saja ketika Lily melenggang masuk ke dapur. "Nggak usah repot-repot kali, Lyo," ucap Nuca saat Lily kembali ke ruang tamu.

"Yang penting tuh kamu tetep sehat." Lily mengompres kening Nuca dengan handuk kecil yang sudah ia celupkan dengan air hangat dan sudah diperasnya.

"Yang penting kamu ada di sini nemenin aku." Nuca menyentuh tangan Lily yang masih berada di atas keningnya, lalu meletakkan tangannya ke bawah. "You are everything I need."

Lily tak bisa berkata apapun, yang ada ia hanya semakin meleleh. Kupu-kupu semakin banyak beterbangan di perutnya. Ia menatap Nuca lekat-lekat.

Hujan di luar semakin deras. Bunyi petir bergemuruh, sehingga menyebabkan aliran listrik di komplek rumah Lily mati semua. Nuca berteriak histeris, ia langsung memeluk Lily erat.

"Kamu kenapa deh? Takut?" tanya Lily sambil mengelus punggung Nuca.

"Iya, aku takut gelap, Lyo," rengek Nuca manja.

Lily tertawa. "Ya ampun, badan segede gini ternyata takut gelap pula kau ini."

Ketika menyadari Lily sedikit menjauh darinya, Nuca segera menahan tangan Lily. "Kamu mau ke mana?"

"Mau ke kamar mandi."

"Kamu berani sendirian gelap-gelap gini?"

"Ya berani lah, emangnya kamu?" sindir Lily.

Nuca meringis ketakutan. "Aku takut di sini sendirian, Lyo." Ia menghambur memeluk pinggang Lily dari belakang. "Aku ikut, ya?"

"Iya, tapi tunggu di depan pintu."

Mereka berjalan pelan menuju kamar mandi. Nuca terus memegang dengan flash yang menyala. "Jangan lama-lama, aku takut," pesan Nuca sebelum Lily masuk kamar mandi.

Ketika berdiri di depan kamar mandi, Nuca merasakan ada binatang yang menggigit kakinya. Ia segera mengangkat sebelah kakinya sambil berteriak ketakutan. "LYOOO, ADA KECOAK!"

"HAH? KECOAK?"

***

Padamnya listrik di komplek rumah Lily untungnya hanya berlangsung tiga puluh menit. Kini hanya tersisa rintik-rintik kecil air hujan membasahi bumi. Rumah Lily sudah terang dan membuat Nuca menghela napas lega. Lelaki bertubuh besar itu memang takut gelap dan kecoak, karena trauma pada masa kecilnya yang pernah dikurung di gudang sampai malam. Nuca melonggarkan dekapannya dengan Lily. Jarak wajah mereka hanya sekian centimeter. Hidung mereka hampir bersentuhan, hingga embusan napas Nuca dapat menyapu wajah Lily.

Wajah Lily mendadak lesu. Ia tidak suka tiba-tiba teringat sesuatu hal yang membuat mood­-nya memburuk, di tengah-tengah momen-momen indahnya dengan Nuca malam ini. "Nuc... Kamu inget kan, lusa aku berangkat ke Medan?"

"Inget kok," jawab Nuca. "Pernikahannya Kak Oliv, kan?"

Melihat Lily semakin memanyunkan bibirnya, Nuca pun mengelus pipi kekasihnya itu. "Kenapa, Sayang? Kamu pasti bakal kangen sama aku, ya? Padahal cuma lima hari loh."

"Aku takut, Nuc, selama aku pergi, bakal ada kejadian kamu sama Selena kayak tadi lagi, yang mungkin lebih parah dari itu. Dia kan suka banget sama kamu. Aku..." Lily mulai sesunggukan.

"Lah, tadi katanya kamu nggak marah. Kok sekarang jadi takut gini?" jawab Nuca lembut sambil menghapus air mata Lily. "Tenang aja. Mau separah apa pun dia, aku tetap sayang kamu."

"Jangan pergi ya," rengek Lily.

"Lah? Kan kamu yang mau pergi," balas Nuca.

"Bukan gitu, aku nggak mau kehilangan kamu."

"Nggak akan, Lyo." Nuca tersenyum hangat menatap Lily. "Setelah Kak Oliv nanti nggak tinggal bareng kamu lagi, kalau kamu kesepian, kapan pun kamu boleh undang aku ke rumah. Atau kalau kamu mau ajak aku jalan-jalan juga boleh. Aku usahakan datang buat kamu. Kamu boleh mau cerita apapun ke aku, kalau itu bisa membuat kamu merasa nyaman. Jangan segan-segan lagi sama aku pokoknya. Ya?"

Lily mengangguk sembari mengusap sisa air matanya. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal hatinya hingga saat ini, yaitu perihal ancaman Selena yang akan membuka aibnya. Aib yang tidak ia ketahui sama sekali. Berat rasanya ingin menceritakan itu kepada Nuca. Ia tidak mau Nuca jadi membenci Selena karena hal itu. Tak kuasa menahan perasaannya yang berkecamuk, Lily memeluk tubuh Nuca erat-erat.

Di tengah pelukan mereka yang membuat mereka lupa kalau rumah yang mereka tempati ini tidak hanya dihuni berdua. Oliv datang ke tengah-tengah mereka dengan wajah tanpa berdosa. "Eitsss, sori, sori. Gue nggak tahu kalau lagi ada yang mantap-mantap," celetuk Oliv sambil menutup kedua matanya dengan tangan.

Lily dan Nuca yang kaget mendengar suara itu, segera melepaskan pelukan masing-masing dan menjauhkan jarak di antara mereka hingga satu meter.


~ TO BE CONTINUED ~

Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang