Sudah mendapat izin dari orang tua beserta Ibu Negaranya yang galak dan manja itu, Nuca memutuskan untuk menerima tawaran Selena. Kini Nuca sudah resmi menjadi koordinator sie acara pentas tunggal teater, yang acaranya akan diselenggarakan sekitar pertengahan Desember, setelah ujian akhir semester. Untungnya, tidak ada agenda kepanitiaan pada sore ini sepulang sekolah, karena pukul tiga sore nanti Nuca akan menjemput Lily di bandara. Kalau sudah menyangkut soal Lily, penyakit pikun Nuca tidak akan kambuh lagi.
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Nuca melesat dari kelas menuju ke parkiran setelah guru yang mengampu pelajaran terakhirnya keluar dari kelas. Ia ingin berangkat sedini mungkin, takutnya akan terjebak macet. Kalau bisa, ia harus sampai lima belas menit sebelum pesawat Lily mendarat pukul tiga sore.
Sesampainya di parkiran, ketika Nuca akan memakai helm, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia kira Lily, tetapi ternyata Alma yang meneleponnya. Tumben sekali. Sambil mengerutkan kening, Nuca menjawab panggilan itu. "Halo, Ma. Assalamu'alaikum?"
"Waalaikumsalam. Nuc..." Terdengar helaan napas panik dari sana. "Nuc, Mama tadi lagi jalan sama mamanya Selena, tiba-tiba mamanya Selena pingsan. Sekarang Mama lagi di rumah sakit. Tolong kasih tahu Selena ya sayang. Kalau bisa, kamu sama Selena ke sini, temenin Mama," pinta Alma.
Nuca paling tidak bisa menolak permintaan mamanya. Ia mengiyakannya. Urusan Lily gampang. Setelah mengantar Selena ke rumah sakit, ia berjanji akan langsung bertolak ke bandara.
Kebetulan sekali, Selena berjalan melewati parkiran saat Nuca memasukkan kembali ponselnya ke saku. "Len!" panggil Nuca.
Selena berlari kecil menghampiri Nuca dengan semringah. "Kenapa? Ada rapat mendadak?"
"Mama kamu pingsan. Sekarang lagi di rumah sakit, mama aku yang bawa beliau ke sana. Ayo kita ke sana sekarang," ajak Nuca segera.
Mendengar kabar tersebut, Selena ternganga kaget. Ia segera mengambil helmnya dari motor Eriko–adiknya yang kini masuk ke sekolah yang sama–karena motornya masuk bengkel tadi pagi. Dengan helm sudah terpasang di kepala, Selena naik ke motor Nuca dengan hati-hati, sambil berpegangan pada bahu lelaki itu. Nuca membawa motornya melesat cepat menuju ke rumah sakit. Selena pun sudah tak sabar melihat keadaan mamanya.
***
Lily tersenyum ketika kakinya mulai menapak di tanah Jakarta. Matanya berbinar ketika langit sore Jakarta yang cerah menyapanya dengan hangat. Tak terasa, langkah kakinya semakin cepat menuju ke tempat pengambilan barangnya yang ia letakkan di bagasi pesawat. Barang bawaannya sudah lengkap di tangan. Ia merogoh sling bag, lalu mengambil benda kecil yang selama di dalam pesawat tidak ia sentuh sama sekali, ponsel hijau butut kesayangannya.
Perlahan, ponselnya mulai menyala ketika Lily menekan lama tombol kecil di samping kanan ponselnya. Ketika ponsel itu menyala, Lily segera menelepon orang spesial yang akan menjemputnya sore ini. "Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif."
Lily menghela napas berat sambil memasukkan ponselnya kembali. Ia berjalan cepat ke luar, mana tahu kalau Nuca sudah menunggunya di luar. Sesampainya di depan pintu arrival, Lily mengamati wajah satu per satu lelaki yang dihadapinya. Hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda keberadaan batang hidung Nuca di sana.
Lily mencoba berpikir positif, mungkin Nuca menunggunya di luar bandara, di warung di sekitar bandara, atau mungkin di parkiran motor. Ia berjalan pelan sambil menarik kopernya, mengamati setiap orang yang berpapasan dengannya. Tidak satu pun yang ia kenal.
Langkah Lily terhenti ketika mendapati seseorang berjalan ke arahnya. Seseorang yang dikenalinya. Namun, ia tak yakin kalau orang itu berniat menghampirinya. Jadi Lily memilih untuk pura-pura tidak melihat orang itu, sembari mengambil kembali ponselnya. Belum menyerah, Lily menelepon Nuca kedua kalinya. Masih tidak aktif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...