1. COKLAT

2.6K 195 63
                                    

Suhu kota Jakarta siang ini mencapai tiga puluh lima derajat celcius. Panas matahari membakar tepat di atas kepala. Berbagai umpatan dari anak-anak pengunjung kantin terdengar bersahutan ketika menyadari empat kipas angin di setiap sudut kantin tidak berfungsi karena mati listrik. Namun, Lily yang sudah melapisi baju seragamnya dengan jaket abu-abu masih memeluk tubuhnya sendiri. Di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, Lily menggigit bibir bawahnya karena kedinginan. Ia melonggarkan sedikit masker yang dikenakannya. Hidungnya terasa sesak karena pilek berat.

Haaaatciiiih! Suara bersin itu bagai petir yang menggelegar di siang bolong. Perhatian para pengunjung kantin yang sedang asyik menyantap makan siang sontak tertuju kepada Lily. Untung saja Lily sempat menutup rapat kembali hidung dan mulutnya dengan masker ketika ia bersin. Kalau tidak, sudah pasti ia disemprot oleh Niara dan Jeje yang sedang menyantap siomay di hadapannya.

Tenggorokan Lily rasanya tidak enak. Tubuhnya semakin menggigil. Ia menyesap jeruk hangat yang dipesannya, setidaknya itu membuat tubuhnya terasa lebih enak.

"Lo nggak mau pesen makan, Ly?" tanya Niara selepas menghabiskan seporsi siomay. "Nanti lo tambah sakit, lagi."

"Gue bayarin deh, kalau duit lo ketinggalan di kelas," tawar Jeje.

Lily menolak. "Bukan itu masalahnya. Gue sengaja mau manfaatin momen sakit gue ini biar gue bisa kurus."

Berat badan 55 kilo gram dengan tinggi badan 158 centimeter bukanlah bentuk yang ideal untuk dipandang mata. Selama ini Lily sudah berusaha diet, tetapi tidak berhasil juga. Ia selalu kalah berperang dengan nafsu makannya. Meski hidup sederhana, Lily tidak pernah kekurangan makanan. Lily bersyukur, karena flu yang dideritanya tiga hari terakhir ini membuat bobotnya menyusut setidaknya 2 kilogram.

"Ya ampun." Niara menggeleng. "Andai di dunia ini ada fitur transfer lemak, lo transferin aja kelebihan lemak lo ke gue yang kerempeng ini, Ly. Biar gue gembrotan dikit."

Jika ada hal yang lebih sulit dari pelajaran fisika, Niara pikir hal itu adalah menaikkan berat badan. Mau menghabiskan nasi segentong, camilan berstoples-stoples, berat badan Niara tetap segitu-gitu saja, 45 kilo gram. Padahal ia sudah rutin minum obat cacing enam bulan sekali. Tubuh langsing, kaki jenjang, kulit putih dan mulus alami, dan gigi gingsulnya adalah perpaduan hampir sempurna yang dimiliki Niara, yang berhasil membuat mata-mata lelaki tertuju kepadanya. Meskipun Niara bukan anak dari keluarga berada, sehingga tidak mampu membeli skincare mahal, kecantikan alaminya yang sudah melekat sejak lahir tetap memukau kaum adam.

Tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahu kanan Lily. Sentuhan mendadak itu membuat Lily berjengit kaget. Ia dengan mulut terbuka sontak menoleh ke belakang.

"Hai. Kamu Lily anak X-IPA-7, kan?" tanya seorang perempuan, yang Lily tahu bahwa seseorang itu adalah kakak kelasnya, anak kelas sebelas.

"Iya, Kak. Saya Lily," jawab Lily dengan alis bertaut. Bingung bercampur deg-degan Lily rasakan. Selama ini ia merasa tidak pernah berurusan dengan kakak kelas.

Kakak kelas itu memberikan sebatang coklat dengan gulungan kertas berwarna merah muda di atasnya. Pita merah muda yang mengikat membuat kiriman tersebut manis untuk dipandang. "Saya dari panitia Secret Admirer, bermaksud menyampaikan kiriman ini buat kamu. Terima kasih," katanya tersenyum ramah, kemudian ia berlari begitu saja ketika coklat itu sampai di tangan Lily.

Lily benar-benar mengamati benda itu. Ia bingung siapa yang mengirim coklat untuknya. Masalahnya, saat ini ia tidak sedang dekat dengan lelaki manapun. Mustahil Lily punya pengagum rahasia di sekolah ini, mengingat dirinya hanya gadis kampung yang dipandang sebelah mata dan seringkali diperlakukan tidak adil oleh teman-teman di sekolah.

Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang