Salah satu kekurangan seorang Nuca yang tidak diketahui banyak orang, yaitu pelupa. Ia seringkali melupakan hal-hal kecil. Lupa menaruh barang, lupa menaruh uang, lupa mematikan lampu kamar mandi, dan seperti yang dialaminya sekarang adalah lupa membawa PR kimia, padahal ia sudah mengerjakannya semalam suntuk. Siapa sangka, Pak Edi yang dikenal santai dan biasa memberi penyegaran komedi di kelas, ternyata bisa mengusir siswa yang lupa membawa PR-nya. Dengan langkah kaki berat, Nuca terpaksa keluar kelas.
Tujuan pertamanya adalah toilet. Ia mencuci wajahnya sekilas di wastafel. Kemudian langkahnya tertuju ke perpustakaan. Entah mengapa ia yakin Lily juga ada di sana.
Di atas sebuah meja bundar lesehan, Lily meletakkan kepalanya. Matanya terpejam. Napasnya teratur, perutnya kembang kempis. Hanya ada Lily seorang di bagian belakang perpustakaan itu, sehingga Nuca dengan mudah bisa menemukannya.
Nuca melepas sepatunya pelan-pelan, tidak ingin membuat Lily terbangun. Ia duduk di karpet biru, di sebelah Lily. Diperhatikannya lamat-lamat wajah polos gadis itu ketika terlelap. Wajahnya terlihat tenang, tanpa beban, dan... cantik. Matanya yang tertutup saja begitu indah di mata Nuca, apalagi ketika matanya berbinar memancarkan kebahagiaan. Membayangkannya saja sudah membuat Nuca tidak waras, hingga tanpa sadar lelaki itu menarik senyum. Sampai timbul pertanyaan di benak Nuca, kenapa bisa-bisanya banyak orang yang bilang Lily jelek? Apakah hanya karena kulit sawo matangnya yang bruntusan?
Ada rasa nyeleneh yang tiba-tiba menyisip di hati kecil Nuca, yaitu rasa ingin menjaga, melindungi, dan memiliki Lily seutuhnya. Sedetik kemudian, Nuca menggelengkan kepalanya kasar. Ngawur Nuc, dia cuma sahabatmu loh.
"Hhhh..." Desah napas Lily terdengar berat. Lily membalikkan wajah, berpaling dari Nuca, seketika membuat Nuca tersentak. Ia merasa bersalah telah memandangi Lily lama-lama tanpa berkedip. Mungkin saja tidur Lily terganggu gara-gara ulahnya.
Setetes air mata tiba-tiba jatuh di pipi tembem Lily. Matanya masih terpejam, tetapi raut wajahnya sudah berubah gelisah. Ia meracau. "Key... Keyla... Maafin gue."
Kepala Lily diangkat dari meja. Ia bangkit duduk. Lantas ia menarik seseorang di sebelahnya, dipeluknya orang itu. Tubuh Nuca mendadak direngkuh Lily. Entah mengapa berat rasanya bagi Nuca untuk menepis. Ia membiarkan semuanya, hingga air mata Lily membanjiri baju seragamnya. Bahkan ia mengusap punggung gadis itu lembut.
Lily mengurai pelukannya. Tak sengaja ia meraba lengan seseorang yang dipenuhi rambut-rambut halus nan lebat. Mata Lily langsung terbuka, ia terperanjat. "Ya ampun, ternyata lo?!"
Nuca hanya tersenyum tipis.
Lily mengusap pipinya yang basah. "Maafin gue. Tadi gue mimpi minta maaf ke Keyla, terus gue meluk dia."
"Gak apa-apa, aku malah seneng-"
Suara Lily meninggi. "Maksud lo? Lo seneng dapet kesempatan di dalam kesempitan gitu?!"
"Bu-bukan gitu," ralat Nuca. "Maksudnya, aku tuh seneng kalau kamu bisa menumpahkan segala kegundahan kamu ke aku. Bukannya itu salah satu gunanya sahabat?"
Lily menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Maaf, Nuc. Gue gak tahu kenapa, gue bisa sesensitif ini. Gue nyesel udah ngatain Keyla begitu di depan anak-anak. Gak sepantasnya gue ngelakuin itu, toh gak ada untungnya buat gue. Iya sih Keyla malu, tapi gue kan juga jadi malu. Bego lo, Ly!" rutuknya sambil menepuk jidatnya sendiri. Lily memang tipe orang yang mudah tersinggung dengan ejekan orang lain terhadapnya, lalu menyimpan rasa sakit hati itu sendirian. Kalau sudah tidak kuat, ia akan meledak. Namun, kalau sudah balas dendam, ia jadi tidak tega dan merasa bersalah.
"Kamu emang gak seharusnya bilang gitu ke dia, tapi dia juga gak boleh seenaknya sendiri memperlakukan kamu begitu. Kalian berdua sama-sama salah," terang Nuca. "Habis kamu pergi, Keyla langsung nangis. Aku yakin dia juga pasti udah nyesel."
"Ayo Nuc, gue mau minta maaf sama Keyla," ajak Lily. Ia bersiap berdiri, tetapi Nuca segera mencegahnya.
"Jangan sekarang, kali. Pak Edi masih ngajar di kelas."
"Loh, gue kira kelasnya kosong. Terus lo ngapain di sini?"
"Dikeluarin, lupa bawa PR."
Lily terkekeh. "Dasar, ganteng-ganteng pelupa."
Deg. Detak jantung Nuca seakan berhenti sepersekian detik. Selama ini ia merasa tidak ada ganteng-gantengnya, banyak cowok yang jauh lebih ganteng darinya. Nuca heran jika selama ini banyak cewek-cewek yang menyebut dirinya cogan. Namun reaksinya hanya biasa saja. Entah mengapa, ketika Lily yang mengucapkannya, dapat membuat hatinya bergetar dan memekik senang.
"Apa, Lyo? Ganteng?"
"Eh?" Lily terperangah. Ia mengusap-usap tengkuknya, salah tingkah. Tanpa sadar, ada rona merah alami di pipinya. Sepertinya kata-katanya tadi tidak terkontrol. Walau biasanya kata-kata spontan itu tidak diragukan lagi kejujurannya. "Jangan ge-er lo. Ya... gimana ya, lo emang cakep sih," lirih Lily malu-malu. "Kan itu memang fakta. Kalau gue bilang lo jelek, bisa disangka katarak mata gue."
"Hilih," cibir Nuca. "Tapi kok tadi pipinya merah gitu?"
"Bodo amat lah." Bibir Lily mengerucut, lalu ia memalingkan wajah. Diam-diam ia tersenyum.
Diam-diam juga, Nuca tetap memerhatikan wajah Lily yang hanya bisa ia lihat setengahnya. "Gitu dong, senyum." Nuca tersenyum lebar.
Dari ekor matanya, Lily bisa menangkap manisnya senyuman Nuca. Gigi kelincinya begitu menggemaskan. Namun, Lily memilih berbalik membelakangi Nuca, sebelum wajahnya semakin merah padam dan diciduk cowok itu. Ia berdiri, berniat untuk cuci muka agar lebih segar setelah bangun tidur.
"Lyo?" panggil Nuca, hingga Lily memalingkan wajah ke arahnya. "Kamu tunggu di sini, bentar. Jangan ke mana-mana dulu. Bentar ya."
Wajah Nuca terlihat panik, ia berlari kencang, seperti dikejar seseorang. Lily keheranan, tetapi ia memilih untuk menuruti kata Nuca, diam di tempat.
Nuca bergegas ke parkiran. Ia mengambil jaket kulit hitam yang ia tinggal di atas motor. Tak mau mengulur waktu, ia pun berlari kembali ke perpustakaan.
Saat Nuca tiba, kebetulan Lily berdiri menghadap belakang. Dengan gerakan tenang, tanpa aba-aba, Nuca menutupi bagian belakang rok Lily dengan jaketnya. Tak lupa ia mengikatkan kedua bagian lengannya di depan perut Lily.
"Ada yang bocor, tapi bukan mulut tetangga," bisik Nuca.
"HEH?!" Lily terperanjat. Ia tidak menyadarinya. Dan malah Nuca yang melihatnya lebih dahulu. Sial. Lily tak pernah semalu ini di depan laki-laki.
"Mulut lo jangan ikutan bocor! Jangan bilang siapa-siapa! Awas ya!" ancam Lily.
Nuca menaikkan alis sambil menyeringai. "Wani piro?"
Lily berdecak sebal, hingga pipinya sedikit menggembung. Ekspresi yang sangat menggemaskan bagi Nuca.
"Pantesan jadi tambah galak, ternyata karena itu," celetuk Nuca lagi.
Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Nuca masih enggan keluar dari perpustakaan. Ia sengaja membiarkan kelasnya agak sepi dulu. Namun, Lily mendesaknya agar segera kembali ke kelas. Lily keburu ingin minta maaf pada Keyla. Nuca pun menurut.
Baru saja Nuca menutup pintu perpustakaan, Oka tergopoh-gopoh menghampirinya. Wajah gelisahnya tampak jelas. "Nuc, Nuc. Niara. Hhhh..."
"Kenapa Niara?"
"Tiba-tiba Niara pingsan. Dia harus cepet-cepet dibawa ke rumah sakit. Kita bawa dia pakai mobil Sadam, lo tahu kan Sadam sesongong apa? Dia gak bakal mau ikut antar Niara." Napas Oka terengah-engah karena panik. Nuca dan Lily pun dibuat kaget dengan berita ini.
"Untung aja dia mau minjamin mobilnya, tapi gue sama Baper gak bisa nyetir. Lo bisa nyetir kan?" Oka memberikan kunci mobil Sadam pada Nuca, dan Nuca menerimanya.
"Lyo, aku ke parkiran dulu ya. Aku harus bawa Niara," pamit Nuca.
"Gue ikut."
"Jangan. Kamu istirahat aja."
Lily memandang punggung Nuca yang semakin berlari menjauh. Ternyata Nuca juga sepeduli itu dengan Niara. Mendadak perut Lily di bagian bawah terasa sangat nyeri, rasa yang muncul bersamaan dengan perasaan aneh di hatinya. Kok sedih ya ngelihat perhatian Nuca terbagi gitu?
~ TO BE CONTINUED ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...