Sadam memarkirkan mobilnya di suatu bangunan yang penerangannya remang-remang. Nuca memandang heran, tidak tahu itu tempat apa. Saat Sadam telah mematikan mesin mobilnya, ia dan Nuca segera turun.
Cahaya lampu diskotik menghujani pandangan mata Nuca. Bau alkohol dapat tercium sejak saat Nuca membuka pinti utama tempat itu. Nuca bergidik ngeri ketika melihat sekeliling.
Beberapa orang remaja laki-laki duduk setengah sadar di kursi bar. Tidak hanya laki-laki, ada juga dua orang perempuan yang mengenakan dress merah tanpa lengan yang mengekspos sebagian dada mereka. Nuca langsung menutup matanya dengan telapak tangan seraya mengucap istigfar.
Berbeda dengan Sadam. Ia sudah terbiasa mengunjungi club malam semacam ini, dulu. Semenjak pacaran dengan Niara, gadis itu membawa pengaruh positif yang cukup besar sehingga ia sudah tidak pernah clubbing lagi. Namun, sebelum mengenal Niara, setiap sedang stres, pelarian Sadam pasti ke tempat ini. Entah apa yang ada di pikirannya, katanya kalau sudah merokok dan minum-minum, ia jadi merasa lebih tenang.
Sadammembawa Nuca ke bagian yang sepi. Ada sebuah meja kaca yang dikelilingi sofa panjang yang empuk. Di atas meja tersebut masih tersisa gelas-gelas bekas yang belum di-clean up. Tercium aroma kopi yang kental dari gelas itu meskipun sudah kosong.
"Lo nggak usah takut. Lo ngopi aja di sini." Sadam duduk di sofa itu, lalu menepuk bagian di sebelahnya, menyuruh Nuca duduk.
Seorang waiter menghampiri mereka. Sadam memesan sebotol anggur merah, sedangkan Nuca memesan Irish Coffee. Sang waiter mencatat pesanan mereka berdua, kemudian ia berlalu.
"Lo tahu nggak sih, Nuc, gimana hancurnya hati gue ngelihat Niara sama Ivan mesra-mesraan di depan mata gue tadi siang?" Sadam memulai curhatannya. "Gila, saking sedihnya, gue sampai udah nggak bisa nangis lagi."
Nuca diam, masih menunggu Sadam menyampaikan uneg-unegnya lagi.
"Apa sih bagusnya Ivan dari gue? Ganteng, ganteng gue. Pinter, pinter gue. Tajir, tajir gue. Dia tuh nggak lebih baik dari gue, anjing!" maki Sadam sambil menggebrak meja. "Salah besar Niara tinggalin gue demi bocah bau kencur itu!"
"Sabar, Dam. Sabar."
"Emosi gue, Nuc. Tapi kalau gue lihat-lihat, Niara itu masih cinta deh sama gue, dari tatapan matanya ke gue tadi. Gue yakin sembilan puluh sembilan persen, dia nggak sanggup semudah itu ngelupain gue. Dia nggak sepenuhnya bahagia sama Ivan. Dia nerima Ivan cuma buat manas-manasin gue doang!"
"Kenapa kamu nggak ajak Niara bicara lagi sih, Dam?" saran Nuca begitu polosnya.
"Lah lo pikir selama ini dia mau dengerin gue ngomong? Nggak pernah! BBM gue di-DC, WhatsApp, LINE, Instagram gue diblokir. Tadi aja gue lihat postingan dia pakai IG palsu gue. Kami selalu sekelas, tapi terasa jaaauuuuuh banget, Nuc," keluh Sadam sedih. Diacaknya rambutnya dengan kasar.
Sadam memicingkan matanya ke arah arena permainan biliar. Ia menyadari di sana ada teman-teman SMP-nya sedang bermain. Salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah Sadam. Sadam pun membalas lambaian tangan itu singkat, kemudian beranjak menghampiri mereka. "Bentar ya, Nuc."
Saat berjalan, perhatian Sadam teralih pada seorang laki-laki yang duduk berdampingan seorang perempuan di depan meja tinggi. Sadam melebarkan pupil matanya. Ia mengenal wajah lelaki itu, apalagi gadis di sebelahnya. Tidak diragukan lagi, mereka adalah Ivan dan Niara.
Di sana Ivan sedang membelai rambut panjang Niara. Cewek itu mengenakan mini dress di atas lutut, tanpa lengan berwarna merah muda. Ini pertama kalinya Sadam melihat mantan kekasih yang masih dicintainya berpakaian minim seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanficJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...