Setelah puas menangis di kamar mandi, Lily kembali ke kelas dengan mata yang masih berair. Lily duduk di kursinya, lalu mengambil tisu di dalam ranselnya. Ia menyeka matanya yang basah dengan selembar tisu. Sayup-sayup, Lily mendengar sesuatu yang mencurigakan.
"Gue nggak ngebayangin gimana reaksi Lily kalau dia sampai tahu siapa penggemar rahasianya itu," kata Jeje dari tempat duduknya yang berjarak dua meja di belakang meja Lily.
Tiga minggu sudah berlalu. Lily sudah mulai lupa akan perkara penggemar rahasia yang mengiriminya coklat dan surat cinta pada hari valentine itu. Ia sudah tidak peduli siapapun orangnya, karena ia sudah capek menebak-nebak ketidakpastian itu. Pasalnya, tidak ada tanda satupun dari anak-anak lelaki di kelasnya yang menunjukkan gelagat ketertarikan kepada Lily. Justru sebaliknya, sikap mereka kepada Lily sungguh menyebalkan. Apalagi Sadam dan Bayu tadi.
Kalau pengirim itu bukan penghuni kelas Lily, rasanya tidak mungkin. Selama ini Lily tidak ikut ekstrakurikuler, organisasi, maupun komunitas apapun. Ia juga bukan anak yang populer di angkatannya. Kakak kelas sebelas atau dua belas? Itu jelas-jelas tidak mungkin.
Ucapan Jeje yang tiba-tiba, mengingatkan Lily kembali pada misteri coklat itu. Lily jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya Jeje dan ketiga sahabatnya yang lain sudah tahu siapa orangnya. Lebih parahnya lagi, jangan-jangan mereka berempat bersekongkol dengan si pengirim untuk mengerjai Lily. Namun, Lily menahan diri untuk tidak serta merta menengok ke arah Jeje dan Selena di belakang, agar ia tidak terlihat curiga dulu di depan mereka.
"Kalau gitu, jangan sampai dia tahu," jawab Selena.
Lily semakin penasaran. Berarti mereka memang sengaja menutupi semuanya dari Lily. Tak tahan lagi, Lily menoleh ke arah mereka. "Kalian tahu sesuatu tentang coklat itu?"
Selena hanya nyengir lebar. "Tahu apa sih, Ly?" Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Gelagatnya semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
"Kita nggak tahu apa-apa kok, Ly. Kita kan masih polos," celetuk Jeje. "Kalau yang banyak tahu, si Pia tuh. Dia banyak tahu soal ilmu kimia," kata Jeje lalu melirik ke arah Pia.
Pandangan Lily langsung tertuju kepada Pia. Pia memasang wajah polos, berlagak tidak tahu apa-apa. "Hah? Kenapa, Je?" tanya Pia.
Lily tetap curiga kepada sahabat-sahabatnya itu. Ia hanya mendengus, berlalu kembali ke tempat duduknya lagi.
Niara menggeser sedikit kursinya mendekat ke Lily. "Kenapa? Kok muka lo ditekuk gitu?" tanya Niara.
"Lo pasti tahu juga kan, siapa pengagum rahasia yang ngasih gue coklat waktu itu?" todong Lily. Ia sudah yakin, Niara juga terlibat dalam rahasia itu.
Niara menggelengkan kepala, kemudian ia tersenyum. Senyumnya mencurigakan, semakin jelas bahwa ia menyembunyikan sesuatu dari Lily. Lily mendengar suara tawa cekikikan Jeje dan Selena di belakang. Aneh.
Sekali lagi, Lily mencoba bertanya lebih sabar. Dengan begitu, siapa tahu Niara mau memberitahunya. "Ra, kenapa kalian merahasiakan pengagum rahasia itu dari gue? Emangnya dia kenapa? Kok gue nggak boleh tahu?"
Niara menyeringai. "Ih, lo kepo banget deh," jawabnya enteng. Sama saja menyebalkan.
Tak ragu lagi, pasti ada hal yang sengaja mereka berempat tutupi dari Lily. Lily mendengus dan berdecak kesal. Ia lebih memilih diam selama sisa jam pelajaran terakhir. Biasanya ia bisa mengobrol tentang apa saja dengan Niara, tetapi kali ini ia mendiamkan teman sebangkunya itu. Niara juga diam saja, tidak berinisiatif mengajak Lily ngobrol atau menjelaskan sesuatu yang mengganjal di benak Lily.
Dalam diamnya, Lily teringat kembali percakapan Sadam dan Bayu tadi ketika pelajaran kimia. Percakapan yang sangat menyakiti hati Lily. Ia ingin menangis lagi, tetapi ia tak mau kalau Niara melihatnya. Ia menahan tangisnya sekuat tenaga dengan membenamkan wajahnya di atas meja, kemudian ia meraba-raba lacinya, mencari ponsel yang tergeletak di sana.
Oh, jadi ini yang namanya teman? Ckptw.
Lily mengetikkan kalimat itu di kolom status BBM-nya. Namun, setelah ia pikir-pikir, membuat status seperti itu alay juga. Ia mengurungkan niat untuk update status BBM dengan kalimat sindiran itu. Cukup tahu dan berusaha untuk bersikap tak peduli saja dengan keempat sahabatnya itu.
***
Pranggggg!
Kaca itu pecah berhamburan di lantai balkon kamar Lily. Bedak two way cake pemberian Oliv sebulan yang lalu, yang sebelumnya sudah Lily ulek-ulek dengan batu, kini tumpah menjadi butir-butir yang berserakan. Kepingan itu dibiarkannya berantakan di lantai, menyatu dengan tetesan air matanya yang kembali jatuh. Lily membenamkan wajahnya di atas lutut.
"Astaga!" pekik Oliv kaget. Ia yang sedang membuat es teh di dapur, berjingkat naik ke kamar adiknya di lantai dua.
"Lo kenapa, Ly?!" tanya Oliv panik ketika melihat Lily duduk meringkuk di balkon.
Lily beringsut memeluk Oliv. Ia terisak beberapa menit di pelukan kakaknya, kemudian ia menceritakan tentang kesedihan yang ia rasakan akhir-akhir ini di kelas. Kesedihan yang ia rasakan karena merasa insecure. Selain itu, perihal keempat sahabatnya yang tampak sedang menyembunyikan penggemar rahasia Lily.
"Cowok kayak gitu nggak usah dipikirin. Mulutnya tuh lemes, kayak mulut cewek, bisanya cuma nyinyir. Udah, lo nggak usah peduliin yang kayak gitu-gitu. Lo jauh-jauh sekolah ke Jakarta kan buat menuntut ilmu, bukan buat mendapat pengakuan dari orang lain. Ya?" Oliv berusaha menenangkan Lily dengan mengusap lembut kepala adiknya.
"Temen-temen lo juga tuh, isengnya keterlaluan. Iseng sih boleh, tapi harusnya nggak kebangetan kayak gitu. Udah tahu lo orangnya sensi, gampang ke-geer-an lagi," komentar Oliv jujur.
Lily mendongak menatap kakaknya. "Terus gue harus gimana, Kak?"
"Lo diemin mereka aja dulu, sampai pada minta maaf."
***
Lily berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Ia yang pertama kali menginjakkan kaki di kelasnya. Sekolah masih sepi. Ia menempati meja nomor dua dari depan, seperti kemarin, sebangku dengan Niara. Setelah beberapa saat Lily memainkan ponselnya, Niara datang. Ia menaruh tasnya di kursi di sebelah kanan Lily. Lily memalingkan wajah dari Niara, malas bertegur sapa dengan sahabatnya itu. Menjalankan saran dari Oliv sepertinya menarik juga.
Pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran olahraga. Kelas X-IPA-7 dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membuat gerakan senam. Pembagian kelompok tersebut dibagi dengan cara berhitung. Anak-anak yang menyebutkan angka yang sama bergabung di satu kelompok. Lily di kelompok 1, sekelompok dengan Niara, Jeje, Selena, dan Pia. Kebetulan sekali Lily sekelompok dengan sahabat-sahabat yang sengaja dijauhinya.
Setelah jam olahraga selesai, Lily masih duduk sendiri di serambi masjid yang letaknya di sebelah barat lapangan voli, ketika teman-teman berburu jus di kantin. Sejak di kelompok senam tadi, Lily masih lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Biasanya ia cerewet sekali kalau sudah bersama para sahabatnya itu.
Selepas guru yang mengampu pelajaran terakhir angkat kaki dari kelas, Lily segera berjalan cepat menyusul. Ia malas berlama-lama di dalam kelas, malas tergabung di dalam ruangan yang sama dengan keempat cecunguk yang sampai sekarang belum minta maaf itu. Lily segera memesan ojek online untuk pulang ke rumah.
Driver ojek online Lily telah tiba di depan gerbang. Baru saja Lily akan naik, ponselnya bergetar berkali-kali. Ternyata Pia yang meneleponnya. Ia menjawabnya dengan malas.
"Apa? Jeje ketabrak?" Lily ternganga kaget ketika mendengar kabar Pia dari telepon.
"Iya. Lo ke sini dong, ke Aphe Kuche. Kasihan nih si Jeje." Suara Pia terdengar khawatir. Terdengar pula erangan Jeje yang kesakitan menahan lukanya yang perih.
"Oke. Gue ke sana."
Dengan terpaksa Lily membatalkan pesanannya pada driver itu. Lily tetap membayarkan ongkos yang semestinya ia bayarkan, walaupun ia tidak jadi minta diantar ke rumahnya. Lily berjalan kaki dari depan gerbang sekolah menuju Aphe Kuche, rumah makan ayam geprek di belakang SMA Wiyata Mandala.
~ TO BE CONTINUED ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...