"Lyo, kamu di mana?"
"Hah?" Lily mengembangkan senyum, lalu menggigit jari. Gemas ia mendengarnya.
"Kamu di mana, Lyo?" ulang Nuca dari ujung telepon, dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.
"Di... di rumah. Kenapa?"
"Katanya kamu besok mau balikin jaketku, kalau aku ambil sekarang aja, gimana?" tanya Nuca. Sebenarnya ia hanya beralasan, ia hanya ingin tahu rumah Lily. "Soalnya, jaketnya mau dipinjam kakakku. Boleh ya aku ambil ke rumah kamu?"
Belum apa-apa, Lily sudah deg-degan. Ia sampai menendang-nendang guling di kasurnya. "Boleh-boleh aja kok, Nuc. Habis ini aku kirim lokasinya ya."
"Oke. Babai!"
Lily yang sejak tadi tidur-tiduran di kasur sambil mendengarkan lagu Karena Kamu Cuma Satu-nya Naif berulang-ulang, kini secepat kilat menyambar handuknya di jemuran kecil di balkon. Ketika ia bertemu Nuca nanti, ia sudah harus dalam keadaan segar dan wangi.
Tok tok tok
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Lily membuka pintu pelan-pelan, bertolak belakang dengan irama detak jantungnya yang semakin cepat.
Nuca tersenyum manis menunjukkan giginya. "Hai, Lyo." Entah mengapa suasananya jadi canggung.
"Hai." Lily memberikan jaket Nuca yang dipinjamnya waktu tragedi bocor beberapa hari yang lalu. Jaket kulit hitam itu sudah dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. "Makasih ya Nuc," ucapnya lirih dan terkesan datar, juga tanpa menatap Nuca.
"Hm." Nuca membuka sekilas kantong plastik itu, lalu kembali menatap Lily. "Ada yang kurang, Lyo."
"Apa? Kurang apa?" tanya Lily panik.
"Ucapan terima kasihnya kurang lengkap, harusnya pakai senyum."
Lily tercekat. Ia mengulum bibir, perlahan menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum indah. "Makasih Nuc."
Nuca mengangguk-angguk salah tingkah, hingga rambut tebalnya sedikit bergoyang. Senyum Lily membuat akal sehat Nuca seketika lenyap.
Saking gugupnya, Lily sampai lupa mengajak Nuca masuk. "Maaf ya Lyo, kalau aku ganggu kamu. Kamu lagi sibuk ya?" tebak Nuca.
"Nggak kok."
"Terus?"
"Lagi nungguin kakak gue pulang."
Nuca mengangkat alis. "Kok ditunggu?" Pertanyaan bodoh.
"Soalnya, dia kalau habis pulang kerja sering bawa makanan enak," jawab Lily sambil terkekeh.
Nuca ikut tertawa. "Kamu cuma tinggal berdua di sini?"
"Iya."
Di Jakarta, Lily hanya tinggal berdua bersama Oliv, kakaknya, di sebuah rumah kontrakan sederhana berlantai dua. Mereka berdua rantauan dari Medan. Oliv sudah terbiasa tinggal jauh dari orang tua, sejak ia mulai kuliah S1 lima tahun yang lalu. Sampai saat ini ia sudah bekerja di sebuah perusahaan asuransi jiwa ternama.
"Oh, maaf." Nuca tersenyum tipis. "Kirain ada kakak ipar."
"Belum lah," sergah Lily. "Males juga gue kalau tinggal bareng pasutri, yang ada gue jadi obat nyamuk."
"Makanya, cari juga dong."
Lily menaikkan alis. "Cari apa?"
"Nggak, nggak." Nuca menggeleng. "Ya udah, titip salam ya buat kakak kamu. Bilang, dari sahabat kamu yang ganteng."
![](https://img.wattpad.com/cover/217650509-288-k506536.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat untuk Lily [OPEN PRE-ORDER]✓
FanfictionJudul Sebelumnya: INSECURITY "Sahabatan, jangan?" "Jangan." Lily menautkan kelingkingnya ke kelingking Nuca sambil tersenyum tipis. "Jangan pernah berubah ya." Mimpi Lily yaitu ingin punya pacar satu sekolah, tetapi itu mustahil. Mengingat dirinya h...