Berlebihan

1.6K 134 128
                                    

"Aku rasa cukup, kata-kataku tadi buat pertimbangan kamu. Maeda, kamu harus move on. Jangan mau lah kalah sama BUCIN." Yanis mengelompokkan gelas dan mangkok menjadi satu. Sebelumnya, pasukan barang pecah belah itu hanya berjauhan tak mau akur.

"Bayarin dulu, ya. Atau anggap itu tadi retribusi ku sebagai penasehat. Ibu udah nunggu di rumah. Jadi, maaf. Kali ini nggak bisa nemenin sampai selesai." Dia masih membeo, sedangkan lawan bicaranya sedari tadi membisu sambil memegangi keningnya.

"Kamu nggak beranjak juga? Hati-hati, di gang menuju kos kamu. Kabarnya minggu-minggu ini santer pencopet." Gigi rata nan putih milik pria itu sekaligus mengakhiri perjumpaan mereka.

"Keseringan gosip sama mbak-mbak senior tuh pasti. Bicara asal njeplak saja." Maeda ikut pula beranjak, sesudah berlembar-lembar rupiah berwarna coklat ia berikan ke Bu Santika, penjual kantin.

***
"Sendirian aja, Ning. Nggak takut, sama pencopet yang sedang santer berkeliaran."
Maeda terkesiap mendengar suara bariton yang tiba-tiba melintas di belakangnya.

"Astaghfirullah, Nizar. Bisa nggak sih, jangan bikin kaget aku."

Laki-laki inilah yang sedari tadi menjadi buah bibir Yanis dan Maeda. Nizar, keponakan pemilik kos yang di tinggali Maeda. Domisili aslinya Kulon progo, dan memilih Surabaya sebagai destinasi dari pengembangan keterampilannya.

"Ada perlu apa? Kok tumben, malam-malam kemari? Janji bertemu dengan seseorang?" Maeda mengajukan pertanyaan rangkap sekaligus.

"Iya. Bertemu dengan salah satu clien. Kebetulan mahasiswa sini, jurusan Manajemen Pendidikan ingin memesan jaket." Kaki Nizar menjejal standard motor, dan membiarkannya terparkir, kemudian mendekati Maeda.

" Ini tadi menentukan desainnya sambil ngobrol-ngobrol juga."

"Hanya itu? Kurasa ada yang lain." Selidik Maeda membikin senyum Nizar terbit beserta lesung pipinya.

"Ada yang lain? Apa coba! Sini kasih tahu aku, barangkali dugaan kamu ngawur." Nizar mencondongkan telinganya, berharap Maeda membisikkan sesuatu disana.

"Iiihhh,, Jangan seperti bocah. Nggak malu sama usia kamu yang hampir seperempat abad?" Telinga Nizar disentil begitu saja oleh Maeda. Dia tak peduli pria itu mengadu sambil memegangi.

"Aku kesini hanya ketemu clien saja, Mae. Sambil ngobrol dan ngopi, nggak lebih." Nizar tak mau bila hanya dirinya yang mendapat sentilan di telinga. Baginya, sentilan kening juga sama-sama sakitnya.

"Dasar tepung kedelai! Berani ya kamu, sama aku!" Maeda nyaris saja mendaratkan tinju, tetapi keduluan Nizar yang menyilangkan lengan memperingatkan.

" Pisang ijo nggak boleh jahat-jahat sama tepung kedelai. Kita ini teman. Dilarang keras bermusuhan."

Kita ini teman. Perkataan ini lebih menyerupai suntikan imunisasi, namun sasarannya bukan di lengan sebelah kiri. Gelenyar sakit, seketika Maeda rasakan di hatinya.

"Kok diam? Benar bukan, kita ini teman dan dilarang keras bermusuhan?" Melihat Maeda yang tak berekspresi, Nizar malah mengulang kalimat tadi.

"Berteman???" Maeda sengaja menimbang-nimbang. "Ahh, Tepung kedelai tumben sekali otaknya encer." Imbuhnya berkelakar.

"Sejak lahir, dasarnya aku sudah pintar. Tapi, karena terhalang sifat nakal dan pembangkang saat SMP, jadinya kadar pintarku berkurang."

"Kadar pintar berkurang? Mana ada istilah seperti itu." Maeda menepuk keningnya. Teman lelaki yang sudah ia anggap sebagai hampir sahabat ini, selalu bisa mengimbangi leluconnya.

"Motor kamu kemana?" Nizar berganti topik, sembari memeriksa seluruh tubuh Maeda yang tampak lelah.

"Duduk manis di parkiran kos."

"Owh."

"Gitu aja? Inisiatif ngasih tebengan pulang gitu, misal. Apa kamu nggak kasihan lihat aku, dengan seabrek buku-buku ini." Maeda cukup mencelos mendengar balasan singkat laki-laki yang selalu menawan itu.

Sekalipun Nizar bukan Mahasiswa setara Maeda, tetapi tampilan lelaki itu bisa membuat hijabers top kampus enggan mengalihkan mata. Dengan tubuh yang tidak teramat atletis, wajah yang bersih dari jerawat dan sekawanan bintil-bintil, tangan yang sama-sama kekar seperti kepunyaan Yanis. Dan deskripsi lain, yang Maeda sendiri tak sanggup menjelaskannya.

"Memang aku bersedia bonceng kamu? Mbak, maaf saya tidak bersedia. Clien yang lain masih menunggu." Lagak Nizar meremehkan.

" Yasudah kalau nggak bersedia. Aku bisa kok pulang sendiri. Kaki ku juga masih dua. Masih mampu buat berpijak dan melangkah sampai kos-kosan." Maeda berlalu begitu saja. Hatinya terbelenggu kecewa. Nizar yang kurang tanggap keadaan. Dia yang tak kunjung menangkap sinyal Maeda.

" Pisang Ijo ngambek yaaa.... Jangan dibuat serius begitulah. Tepung kedelai hanya bercanda." Tubuh Nizar sudah menghadang Maeda.

"Minggir! Kalau memang nggak bersedia ngasih tebengan nggak masalah kok. Aku masih bisa berjalan." Maeda bukan lagi anak SMP yang doyan disuguhi dengan perlakuan norak.

"Loh! Ngambeknya beneran?" Nizar mengejar dan berusaha mensejajarkan tubuh dengan Maeda.

"Kamu bilang ada urusan dengan clien bukan? Silahkan, kamu bisa pergi dan aku akan pulang."

Tidak hanya suguhan sikap norak Nizar, tetapi wanita ini juga bisa disetarakan dengan tingkah gadis SMP yang masih labil. Kamu sedang ngambek Maeda. Hatimu masih rentan sensitif, saat Nizar tak segera menangkap sinyal perasaanmu.

"Jangan marah, Mae. Ayo, ku antar pulang." Buku-buku tebal di genggaman Maeda mendadak beralih tangan.

" Aku paling benci dengan wanita yang hobinya marah-marah. Sedikit-sedikit sensitif." Setelah motor dan awaknya sudah ia tumpangi, dia masih meracau tidak jelas.

"Jadi, wanita semacam apa yang kamu sukai?" Bukan bagian dari kode keras, kan? Benar, yang dikatakan Yanis. Kebodohan Maeda akan muncul, saat hatinya dibutakan oleh cinta.

"Tentunya lemah lembut, sabar dan mampu menempatkan sifat yang semestinya saat bersama laki-laki." Nizar mulai menyalakan motornya.

Sifat yang semestinya saat bersama laki-laki? Mengapa Nizar, malam ini cukup misterius bagi Maeda? Dia ingin menanyakan detailnya bagaimana, tetapi suasana malam yang sedang di laluinya tak ingin ia buang dengan cuma-cuma.

Melewati fakultas ilmu pendidikan, fakultas ekonomi dan bisnis islam, gedung serbaguna, dan setiap senti partikel bumi yang letaknya tak sejauh mekkah dan madinah, Maeda harus memanfaatkan momen ini dengan baik.

Momen bersama Nizar, momen duduk bersentuhan dengan punggung belakangnya secara langsung. Maeda hanya bisa tersenyum dan berulang kali gugup, saat pria itu mengajukan sekedar pertanyaan.

***
Alhamdulillah. Malam ini bisa post. Semoga bisa istiqomah, readers.

Selamat membaca, readers.

Jang Mi
Selasa, 24 Maret 2020



Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang