Pengakuan Part II

488 67 74
                                    

   "Ada apa? Kamu marah?" Nizar merebut paksa korek api digenggaman Maeda.

   Dia tidak mempermasalahkan jemarinya yang bersentuhan langsung dengan jemari wanita di depannya. Asal benda keramat di hidupnya itu, tak diambil alih.

   "Aku marah karena kamu tidak mengatakan sebelumnya padaku." Maeda membanting punggung di sandaran kursi.

   "Kalau aku bercerita, adakah pengaruhnya  dengan kamu? Dia hanya sebatas adik kelas kamu ketika SMA bukan?" Ujung batang rokok sudah memerah, dan asap tiba-tiba mengudara.

   "Tentunya ada Nizar. Ada pengaruhnya. Aku orang terdekat kamu. Seharusnya kamu menceritakannya." Nada bicara Maeda sedikit menukik,hingga kerumunan gadis di kos depan, serentak menoleh.

   "Ssssttttt! Pelankan nada bicara kamu. Jangan berteriak. Jangan marah juga. Udah mau jam 10." Nizar mencoba menenangkan Maeda yang sudah tersulut emosi.

   Merebak kepada cemburu, merebak pula ke perasaan yang sensitif.

   "Aku bakal diam. Tapi, tolong katakan bagaimana kamu bisa mengenal Maira, Zar." Tidak ada ceritanya bila marah, raut muka baik-baik saja.

   Teras rumah Mbak Inayah malam ini temaram suasananya. Lampu pijar berdaya 30 watt, dari seminggu yang lalu mati dan belum dibenarkan.
Nizar hanya mengernyitkan kening, melihat Maeda mengamuk.

    "Iya,iya bakal cerita. Tapi janji, kamu harus tenang." Bak genangan danau yang tak berombak, Nizar berujar.

    "Jadi, bagaimana ceritanya?" Maeda memutar kursi dan memperpendek jaraknya dengan Nizar.

   "Dia yang nge- chat aku duluan."

   "Dia? Kok bisa. Kalian tidak pernah memiliki riwayat satu sekolah, bahkan dia bukan berasal dari Jogja."

    "Kami bertemu di sebuah terminal. Kebetulan pada waktu itu, aku mengantar kakak yang akan kembali ke Solo. Dan dia pulang dari rumah tantenya." Nizar berhenti sebentar, melihat ekspresi Maeda.

   "Silahkan dilanjutkan."

   "Nasib sial menimpa dia. Dompetnya hilang, baterai ponselnya lowbat. Dia nggak bisa pulang. Mau balik ke rumah tantenya juga nggak mungkin."

    "Akhirnya kamu datang bak pahlawan kesiangan gitu?" Maeda menyela, sebelum tahu kebenarannya.

    "Nggak juga sih. Tapi bisa dikatakan iya. Orang yang jaraknya paling dekat dan melihat dia kebingungan, hanya aku seorang." Nizar menimpal percaya diri.

    "Dan kamu senang, jadi orang yang pertama menolong dia? Terus akhirnya dia memberi kabar keluarga dan sanak saudaranya pakai nomor kamu. Sesampainya di Solo, kamu di hubungin balik. Begitu kan?"

    Tidak ada kata tenang di diri Maeda selama itu menyangkut Maira. Meskipun Nizar mencoba menenangkan, sekalipun pria itu masih menatapnya tanpa pengalihan kemana-mana.

    "Mae. Aku bilang tenang. Jangan sensi." Nizar menghisap rokoknya dalam-dalam.

   "Nggak bisa, Nizar. Nggak bisa kalau menyangkut wanita itu."

    Kalau saja ada tisu terbang yang sepintas lewat, Maeda akan meraihnya cepat-cepat untuk mengusap air mata. Nahasnya halusinasinya teramat tinggi. Air matanya sudah jatuh kemana-mana. Perasaannya tak kuat menahan Nizar yang teramat terus terang.

   "Iya. Nggak bisa. Tapi kenapa? Ada apa? Waktu itu, kamu juga tercenung lama saat melihat dia di kafe." Nizar masih meneruskan bicara. Dia tak ada inisiatif mengambil tisu.

   "Kamu kok tega sih. Nggak ada niatan buat ambil tisu atau langsung ngusap air mata ini." Tangis Maeda tidak sampai membuatnya sesunggukan. Tetapi, kali pertama ini, dia menangis di depan pria.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang