Akhir dari Ketidak Pastian

379 50 129
                                    

  Yanis menggoyang-goyangkan ponselnya, berharap Maeda segera memalingkan mata ke arahnya. Ini kesempatan langkah, jelasnya bukan sekedar kesempatan, melainkan ada sesuatu yang sedang Yanis pamerkan ke mantannya itu.

   Publik kampus tengah gencar dengan berita Maira dan Nizar yang berkencan.

   "Yakin? nggak mau lihat? Please, berpaling sebentar, ada hot news." Yanis masih berusaha agar Maeda mengangkat matanya.

   "Mae, aku pengen ngetes kamu aja, seberapa,--"

    "Seberapa sakit saat kamu mengetahui Maira dan Nizar berkencan?" Maeda menutup buku botani dan mikroorganisme dengan mantab.

    "Engg, enggak. Bukan begitu." Yanis melambaikan tangan menolak. Ekspresinya terkejut mengetahui respon Maeda yang tidak biasa.

   "Bukan begitu, terus apa?" Maeda membesarkan mata, kemudian kembali duduk.

   Hari ini, Maeda tidak ke kampus. Padahal semalam dia sudah menyiapkan hasil tugas akhirnya kepada pak Nawawi. Namun, mendadak beliau membatalkan pertemuan karena ada urusan di luar kota.

   "Ya syukurlah kalau kamu tau." Yanis hendak memasukkan ponselnya kembali, tetapi Maeda seketika menyambarnya.

    "Siapa bilang aku tau." Maeda tersenyum jail. Tak lama, senyum manisnya tiba-tiba sirna.

   "Kenapa? Kamu masih sakit hati?" Yanis ikut duduk di ruang tamu Maeda.

    Tidak ada jawaban. Maeda masih memandangi layar ponsel Yanis dengan seksama. Fitur facebook rupanya belum keluar dari lamannya.

    Disana, caption Maira benar-benar mengusik hatinya. Biarpun Maeda sudah berusaha keras, agar jangan sampai mengingat dua manusia itu. Tetap saja. Argh,, kapan, setan-setan tidak tahu diri itu enyah dari pikirannya?

   "Mae, ceritanya kamu cemburu nih lihat mereka?" Lengan kanan Yanis disandarkan ke punggung kursi. Dia senyum-senyum sambil melihati Maeda. Yanis bukan bermaksud menghancurkan temannya. Dia hanya sekedar menggoda.

   Maeda masih tercenung. Sekarang, hatinya hanya mengeluarkan umpatan tidak konsisten, sulit dipercaya dan lebih baik aku memilih tidak mengenalnya.

   Maira yang begitu berani memandangi Nizar dengan manja, dengan lengan yang merangkul tubuh gagahnya.

   "Cemburu buat apa, Yan? Sejak kapan aku jadi kekasihnya, jadian saja belum." Dusta pun harus dibarengi dengan alasan yang logis.

   "Yakin nggak cemburu sama Maira?" Yanis coba memancing-mancing.

    Maeda seketika tertawa dan membuat pria yang baru masuk ke ruang tamu kaget di tempatnya.

   "Astaghfirullah, kalian habis ngomong apa?" Arok memegangi dadanya, barangkali jantungnya lepas atau ginjalnya mendadak tukar tempat dengan hati.

   "Mas, sini-sini. Aku mau kalian semua tau, bahwa aku udah bisa move on dari Nizar." Maeda melambaikan tangan, meminta agar Arok juga ikut bergabung duduk bersama mereka.

  "Hehehe, kenapa harus duduk segala. Aku cukup berdiri dari sini saja, kamu tinggal bilang." Arok menggeser tubuhnya beberapa langkah, agar tidak berdiri tepat di depan pintu.

   "Aku tanya kalian satu-satu, ya?" Maeda sebisa mungkin menampakkan senyum yang lebar.

    "Menurut Mas Arok, emang aku belum bisa move on gitu dari Nizar?" Maeda mengucapkan dengan wajah terlewat gembira.

    Arok tercekat. Tidak membalas sepatah kata pun. Hanya saja, tak lama kemudian dia merespon dengan anggukan.

   "Ih, Mas Arok mah selalu gitu. Apa karena aku nggak nerima ajakan kamu pergi ke Bali?" Maeda kesal sendiri.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang