Tempat Singgah

556 80 76
                                    

  "Mana Nizar? Kok kamu pulang sendirian?" Farda mana mungkin diam, melihat wanita ber-gamis bunga-bunga berjalan sendirian di sepanjang jalan menuju kos.

    Timing-nya untuk sekedar menyalakan laptop di teras rumah kos, nyatanya sangat menguntungkan. Dia bisa mengembangkan topik baru bersama Yanis, seandainya mereka kembali mengulik Maeda dan Nizar.

   Maeda tak menyahut. Seusai meletakkan sepatu di rak umum, perempuan itu seketika menarik pintu dan melaluinya.

Brakkkk!!!

   Suara itu identik dengan perasaan seseorang yang tengah kacau dan sensitif.

   "Astaghfirullah. Kamu kenapa, Mae?" Belum lima menit Fardah duduk disana, dia harus memastikan kondisi temannya.

   "Kenapa dia main rahasia-rahasia an sih. Padahal sepenuhnya, aku udah berusaha terbuka dengan dia." Maeda adalah typikal wanita yang mudah menyajikan argumen apabila tanggapan dan pertanyaan datang.

  Setelah ia melampiaskan kemarahannya dengan membanting alat komestik di meja rias, Fardah tanpa ribet-ribet bertanya kepada Maeda.

  "Nizar sengaja menurunkan aku di depan gang. Dia harus mengantarkan teman perempuannya pulang." Sejadinya Maeda merengek sembari menarik hijabnya dan kakinya menjejal kemana-mana.

   "Yakin, teman perempuan? Kamu kata siapa, Mae?" Fardah mengambil duduk di samping Maeda. Menepuk-nepuk pundak temannya yang mulai meneteskan airmata.

   "Iya kata aku lah, Far. Jadi tadi itu, dia mendadak menghentikan motornya saat membelok ke gang. Ada panggilan masuk. Sekalipun dia nggak ngeload speaker panggilannya, aku denger banget loh, kalau itu suara milik perempuan. Dan dilihat dari bahasa Nizar ngomong, perempuan itu seperti kekasihnya." Terang Maeda dengan kronologis.

   "Yakin kekasihnya? Gimana kalau sekedar teman,  yang diperlakukan sama seperti kamu." Fardah menuturkan begitu diplomatis, hingga Maeda seketika mengusap air matanya dan menarik garis bibirnya.

   "Ah, iya. Gimana ya? Udah, udah aku nggak boleh suudzan sama dia." Benar-benar wanita aneh, Fardah sampai geleng-geleng kepala karena heran.

  "Jangan teramat bucin, Mae. Kalau memang suka, ya bilang. Kenapa harus disembunyikan? Kalau seperti ini, kamu nggak ada hak buat cemburu. Kamu nggak ada suara, apabila dia dekat dengan yang lain." Layaknya juru konseling, Fardah mencoba menyadarkan Maeda yang masih buta dari Nizar.

   "Kita ini wanita, Far. Nggak sepantasnya buat maju duluan. Malu dong, sama harga diri kita di depan laki-laki. Belum lagi, kalau semisal perasaan kita sepihak. " Maeda yang masih buta, tak mau bila hanya diam.

   Tugas dia adalah mematahkan argumen Fardah yang pernah ia lakukan satu kali, dan hasilnya sampai sekarang hubungan Maeda dengan lelaki yang ia senangi justru renggang dan tidak sama sekali menunjukkan pertemanan.

   "Kamu emang kaku banget, Mae. Aku nggak kali ini aja loh, ngingetin kamu."

  "Iya, terimakasih sudah perhatian banget sama aku. Aku nggak akan melupakan jasa-jasa kamu." Maeda menatap temannya yang hanya diam dan menggigit bibir bawahnya. Fardah agak kesal. Maeda memahaminya.

  "Aku sayang banget loh sama kamu, Mae. Nggak hanya aku. Yanis dan Mbak Zakiyah yang selalu sensi ke kamu, sebenarnya mereka peduli loh sama kamu." Tidak cukup bila dibiarkan mengambang dalam pikiran, Fardah kembali berkomentar.

  "Iya. Terimakasih banyak, Far. Tapi, aku akan tetap menyimpan perasaan ini dan bertahan dengan Nizar. Kasihan, dia nggak punya teman. Dan kurasa aku salah satu teman terdekatnya." Begitu percaya diri, Maeda mengungkapkan kebenaran yang belum tentu hasilnya nihil.

   "Baiklah. Kalau itu mau kamu. Sekarang, ayo tidur. Jangan suudzan lagi. Dan jangan mudah emosi. Kontrol perasaaan dan hati kamu, Mae." Fardah melangkahi kaki Maeda yang sebelumnya berselonjor. Kemudian, mengangkat kaki ke tempat tidur yang paling atas.

   "Terimakasih banyak, Far. Tetapi maaf, aku nggak bisa bertindak apa-apa untuk sekarang." Ditutupnya pintu kamar mereka, dan Maeda menyusul Fardah di bawah tempat tidurnya.

   "Jangan lupa berdoa. Berharap, agar hati kamu nggak sebatas buat tempat singgah dia sementara." Fardah masih saja membahas, dan reaksi Maeda seketika menggedor dipannya.

   "Udalah, Far. Tadi ngajak tidur, bukan? Ayo tidur. Jangan bahas itu terus." Maeda setengah bersungut-sungut.

***
   "Seharian ini darimana saja kamu, Zar. Ibu kamu tadi kesini." Mbak inayah sudah menyerupai tante judes, saat menangkap basah keponakannya yang berjalan mengendap-endap.

   Nizar terkejut, lampu ruang tamu rumah  Mbak Inayah mendadak menyala. Dia bukan maling, tetapi Mbak Inayah akan marah besar mengetahui perbuatan pulang malamnya ini. Baru pertama kali ini selama 3 bulan dia tinggal di rumahnya.

   "Kalau ibu kesini, kenapa nggak ada telepon dan WA masuk?" Dua helm yang dipegangnya diletakkan begitu saja.

   "Mbak juga nggak tahu. Dia menanyakan kamu terus. Tapi anehnya, kamu bilang nggak ada telepon dan WA masuk." Mbak Inayah bukan memakinya, keponakan yang dia anggap paling tampan itu justru diberinya secangkir kopi yang uapnya masih lekat.

    "Mau ngobrol langsung mungkin, Mbak. Atau ada sesuatu yang sifatnya mendesak. Gitu Mbak Inayah nggak telepon aku." Mengisap kopi sebelum tidur adalah kebiasan Nizar, tidak peduli waktu tidurnya jam 7 malam atau jam 3 pagi.

   "Barangkali kamu sibuk, Zar. Mbak nggak mau ganggu kamu saja." Sebentar lagi jam 12 malam. Ibu satu anak itu, tidak kembali melanjutkan tidurnya. Mbak Inayah malah ikut nimbrung.

   "Mbak Inayah kan, bukan Maeda yang tahu jadwal kamu setiap waktu. Sekalipun Mbak Inayah, Bibi dan serumah dengan kamu, tapi kedekatan Maeda dengan kamu tiada tergantikan." Sambung Mbak Inayah yang sontak ditangkis habis oleh Nizar.

   "Apaan sih, Mbak. Maeda itu hanya teman aku. Dan kebetulan saja dia tepat sekali dijadikan tempat singgah saat aku butuh, saat aku kesepian. Orangnya apalagi care dan baik banget. Open mind juga." Hanya teman. Tempat singgah saat butuh?

    Bagi kaum hawa sejagad raya, beginilah statement Nizar atas kedekatan mereka. Bila Maeda selama ini telah mati-matian dan mengusahakan apapun untuknya, tetapi coba dengar kalimat Nizar barusan.

   "Kami hanya teman, Mbak. Nggak lebih. Just A Friend." Nizar mengulangi bicaranya dengan penekanan. Dia tak peduli dengan kopi yang masih terasa panas bila disesap, yang terpenting topik itu harus ia jauhi sekaligus.

    "Mbak nggak perlu, buat ngatain aku dan Maeda pacaran. Mbak juga jangan sekali-kali bilang kalimat itu di depan Maeda. Karena bagi kita, itu kalimat sangat menyakitkan, Mbak." Nizar mengimbuh dan meninggalkan bibinya sendiri di ruang tamu.

     "Sangat menyakitkan? Bagi Maeda? Apa kamu nggak salah Zar? Mbak saja tahu, kalau wanita itu menaruh perasaan lebih ke kamu." Mbak Inayah sibuk berkasak kusuk sendiri.

***
Assalamualaikum
Selamat petang menjelang malam
Ukhti maeda dan kawan-kawannya update lagi nih.
Jangan lupa vote dan komen ya
Syukron katsir

Jang Mi
Senin, 30 Maret 2020
  

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang