Pindahan

388 52 107
                                    

"Kamu yakin?"

"Maaf, Far. Mungkin ini yang terbaik." Maeda memeluk Fardah se erat mungkin. Ajal tidak sedang memisahkan, salah satu dari mereka akan meninggalkan rumah kos milik Mbak Inayah.

"Sering-sering main kemari, ya. Rumah kos ini terbuka 24 jam buat kamu, Mae." Mbak Ainun menyeka matanya yang berair.

"Pasti Mbak Ainun. Aku bakal sering main kesini, kok." Maeda melepas pelukannya, kemudian mengangkat 2 kardus berisi pakaian.

"Ada barang yang ketinggalan, nggak. Kalau ada, aku ambilkan. Biar kamu nggak capek capek naik" Tawar Fardah, tidak tega melihat Maeda yang pindahan dengan barang banyaknya.

"Lo pindahan kos atau pindahan rumah, sih?" Mbak Ainun menyikut lengan Maeda.

"Pindahan kos, Mbak. Bakal kangen nih sama cerita kamu."

Hanya Fardah dan Mbak Ainun yang mengantar kepergiannya. Waktu menunjuk setengah satu malam, penghuni kos yang lain sudah terlelap. Sebagian ada yang pulang kampung, sebab perkuliahan besok tidak aktif.

Berselang beberapa menit, mobil pick up yang akan mengantar Maeda pindahan sudah sampai. Si driver terlambat seperempat jam, rupanya ban belakang  bocor, ditambah beberapa tetangganya ikut menumpang ke pasar.

"Mae, maaf terlambat." Yanis meringis sambil mengelap kepalanya yang berkeringat.

"Nggak apa-apa Yanis. Seharusnya aku yang minta maaf, karena sudah sangat merepotkan kamu." Maeda mengayunkan dua kardus nya ke bak pick up.

Lemari kecil, kursi, peralatan dapur dan barang lainnya, juga sudah termuat di bak pick up. Setengah satu malam Maeda akan menempati kamar barunya di daerah surabaya pusat. Mungkin sebagian menganggapnya seperti habis merampok, tetapi bagi dia lebih baik di jam-jam menjelang pagi ini.

Bukan karena tak mampu membayar tagihan bulanan. Sikap Nizar, tutur kata ibunya, dan sederet kejadian seminggu lebih sejak mereka kehujanan, membuat Maeda sadar, bahwa pria itu tidak sedang memprioritaskannya.

"Kamu yakin Mae. Pemilik rumah kos yang baru, masih terjaga?" Yanis membuka pertanyaan, setelah rumah kos Mbak Inayah tak lagi terlihat.

"Yakin. Dia memang sedang mengantuk. Tetapi demi penghuni yang baru ini, orangnya rela menyesap kopi sampai bergelas-gelas." Jawab Maeda dengan ulasan senyum yang manis. Seperti kepergiannya ini bukan sebuah keputusan yang patut disesalkan.

"Mending pindah menurutku. Selain menenangkan diri, kamu juga tidak lagi terombang ambing dengan Nizar." Yanis melajukan pick up nya pelan, meski jalan raya surabaya tak macet seperti siang.

Aliran dangdut melayu favorit Yanis sedang mengalun, menemani senyap di dalam mobil yang tak ingin tercampuri oleh dua suara manusia. Kontras.

Mereka dengan pandangannya masing-masing. Yanis melihati lalu lintas dan lampu jalan, sementara Maeda memilih untuk memejamkan penglihatan.

***
"Nizar terserang types, Mae. Dia au opname." Fardah membangunkan lamunan Maeda,setelah ia memikirkan perbuatan apa yang Maira lakukan di kamar Nizar.

"Yang bener? Kata siapa kamu, Far?" Nada bicara Maeda gusar dan tak lama Pak Ikhya' mengeluarkan mobil dari bagasi dengan tergopoh-gopoh.

"Kita tunggu disini saja. Tuh, lihat. Ekspresi Pak dosen ganteng yang panik." Mereka sedang berdiri di balkon atas.

Benar. Dari Maeda dan Fardah berada, Mbak Inayah dan suaminya tengah memapah Nizar yang letih. Panggilan tepung kedelai disematkan karena kulit Nizar yang putih. Wajahnya yang pucat, menjadikan Maeda semakin tak sia-sia memberi nama demikian.

" Fardah, kamu tunggu disini dulu." Maeda berlari ke kamarnya mengambil ponsel. Melihat pemberitahuan di WA, barangkali Nizar memberi kabar saat ponsel Maeda dayanya habis selama sakit.

1368 pesan. Belum berhenti disitu, seperti sebuah bom pesan, ketika Maeda membiarkan aplikasi WA menyala.

" Tidak ada kabar. Dia kok tega banget sih sama aku. Apa dia sengaja seperti ini." Maeda menscroll up down berulang kali, nama Tepung kedelai tidak ada.

"Anak kos, nggak ada yang jenguk?" Imbuhnya, namun tidak ada jawaban.

Maeda dan Fardah terperanjat melihat pria yang hampir masuk ke dalam kapsul beroda itu, balas menatap mereka.

Nizar menyahut ponselnya di tangan Mbak Inayah. Jemarinya mengetik, bergegas membuat panggilan.

"Jangan khawatir Mae. Hanya types saja kok. Maaf, aku belum bisa jenguk kamu." Maeda mendengar suara Nizar setelah mobil Pak Ikhya' meninggalkan rumahnya.

"Nggak apa-apa, Zar. Jangan minta maaf, sebatas demam sama batuk." Tutur Maeda merendah.

"Tanpa kamu beritahu, aku tau kok. Batuk kamu kan mengganas sampai kamar aku. Kenapa nggak segera diperiksain?" Di kondisinya yang setengah terbaring,Nizar masih saja menyempatkan pertanyaan yang membuat Maeda melambung.

"Batuknya belum sampai berdarah, Zar. Udah ah, kamu matikan telponnya. Kamu ini nyaris sekarat, sempat saja mulutnya bawel." Maeda bahkan tidak ingat, bagaimana gaya bicara Maira waktu itu yang membuatnya menangis. Dia lupa bagaimana hatinya dihantam kunai, hingga membuatnya berdegup dengan sangat pelan.

"Mae."

"Iya."

"Kamu boleh jenguk aku di rumah sakit. Tapi jangan ngajak teman, cukup datang sendiri." Nizar tidak menghiraukan tatapan ketiga orang di mobil yang mengintimidasi.

"Astaghfirullah, kenapa seperti itu? Nizar, aku perempuan dan kamu laki-laki, kita hanya berteman. Orang-orang tentu menganggap kita ada apa-apanya. Ingat, aku nggak ingin jadi bahan fitnah anak-anak kos dan keluarga kamu. "

Sebelumnya Maeda berdecak keheranan mendengar ucapan Nizar. Tetapi, dalam hatinya dia sungguh senang. Bukankah perasaan dia ke Nizar sebentar lagi akan menemui titik terang? Perlakuan Nizar yang seperti itu, masih tetap menspesialkan dirinya, tidak sebatas sebagai Pisang Ijo teman terdekatnya.

"Nizar, barusan kamu telpon Maeda?" Mbak Inayah seketika bertanya saat Nizar mengakhiri panggilan.

"Iya Mbak." Yang ditanya hanya memiringkan badan, membuat tatapannya bersinggungan.

Empat hari terbaring di kamar, membuat matanya rindu dengan suasana kota di hari yang tak lagi pagi. Meski mobil-mobil mengantre saat macet, kendaraan roda  dua saling menerobos celah jalan, tidak masalah bagi Nizar, karena pemandangan itu sedikit mengurangi kejenuhan.

"Kamu serius, nggak ada hubungan apa-apa dengan dia?" Tanya Mbak Inayah yang duduk di sampingnya.

"Mbak, kok masih saja dengan pertanyaan yang sama. Apa Mbak Inayah nggak lihat, aku sedang sakit." Nizar berkilah seraya menutup wajah dengan jaket.

"Gimana kalau semisal ibu dan ayah kamu tahu  tentang kedekatan kalian?" Mbak Inayah sukar di cegah, topik makin melebar.

"Memang kenapa kalau ayah dan ibu tahu, Mbak? Wajar bukan Maeda teman aku." Bibinya hari ini tidak salah mengonsumsi sarapan bukan? Mbak Inayah mendadak jadi posesif dan sok mengatur hidupnya.

"Ibu kamu nggak suka dengan dia."

Nizar mendengus, berulang kali tergelak keheranan. "Mbak, terserah kamu mau bilang apa. Tapi sayangnya aku tidak percaya."

Di cermin mobil, seutas senyum milik salah seorang terulas sebentar. Bukan senyuman manis, melainkan senyuman tersungging yang kontra dengan pendapat Nizar.

***
Assalamualaikum
Alhamdulillah update
Baca, kasih bintang dan beri komentar ya

Jang Mi
Selasa, 14 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang