"Sakit, Zar. Lepasin." Maeda meronta kesakitan, berharap agar Nizar melepas cengkeraman tangannya di lengan Maeda.
"Tolong jelasin, maksud dari omongan Mas Arok kamu itu." Kepala Nizar memang penuh dengan potongan kisah semalam.Pria itu tidak sengaja menyaksikan Maeda dan Arok sedang bercengkerama, bercanda dan saling menatap riang, saat hendak pergi ke toilet umum. Toilet di kamarnya mendadak kran airnya mati. Sekitar jam 10 malam, dia tidak bisa menahan buang air besar.
"Semalam aku memang kesini sama Fardah. Nggak sengaja dia melihat Mas Arok yang dirawat di kamar nomor 4. Suster bilang, kalau dia sakit DB dan selama ini nggak satu pun orang yang menjenguk dia." Cengkeraman tangan Nizar perlahan longgar.
"Terus kamu tertidur di kamarnya?" Bicara Nizar tidak se menggebu-gebu tadi, dia lebih tenang sekarang.
"Iya. Jam 10 dibangunkan Mas Arok, sih. Dia kaget kalau aku tiba-tiba ada disampingnya."
Nizar membawanya ke ruang berdinding kaca lantai tiga. Ruang VIP, ICU dan ruang anak-anak.
"Pada waktu itu kamu sadar nggak dengan tujuan awal kamu? Menjenguk aku yang sudah menanti." Nizar memilih duduk, panasnya sudah turun, tetapi dibuat menarik Maeda dan menaiki lantai tiga, rasanya kepala sudah terpecah jadi dua.
"Aku sadar, Nizar. Namun kemarin malam, rasa iba ku mencuat, melihat Mas Arok yang sebatang kara. Jadi, di pikiranku, kamu bisa ku kesampingkan." Semua orang pasti paham bila di posisi Maeda.
"Apalagi, di ruangan kamu ada wanita yang selalu stand by jagain kamu." Maeda masih kesal bila mengingat ucapan Arok, Maira dan sekedar katanya milik suster tentang Maira.
"Maira, sudah ada. Orang tua juga sudah kenal. Terus, peran aku?" Maeda menunjukkan kalau dirinya saat ini merasa kecil di mata orang-orang terdekat Nizar. Maeda minder.
Respon temannya hanya diam. Sesekali mengucek mata, lalu memejamkan penglihatan sebentar.
"Salah sendiri, atas usulan siapa kamu membawa aku ke lantai tiga, kalau ujung-ujungnya hanya membicarakan kejadian semalam!" Maeda cukup berang melihat Nizar yang bodoh, keras kepala bahkan suka menilai sebelum memastikan kejadian ke sumber yang berasal.
"Kita nggak ketemu berapa hari, kamu udah tega ya sama aku, Mae." Nizar menyeka keringat yang perlahan muncul ke permukaan wajahnya.
"Bukan nggak tega. Tapi kamu, apa bisa aku nasehatin. Susah payah aku memberi nasihat ke kamu. Apa pernah kamu mengindahkannya?" Maeda akhirnya duduk di samping Nizar. Mengeluarkan tisu dari tas, dan membantunya mengusap bagian dari cairan eksresi itu.
"Mae, sekarang aku tanya kamu baik-baik. Dari semua saran dan nasehat kamu, pernah nggak kamu nemuin aku ngelanggarnya?" Manik mata Nizar bersi tatap memandang wajah Maeda dari dekat.
Mae, maaf bila selama ini perlakuanku ke kamu selalu kurang ajar. Maaf, bila perhatianku ke kamu sudah membuat perasaan kamu kacau. Dan maaf, aku sendiri nggak bisa membatasi perasaanku yang teramat liar kepada wanita. Kepada Maira dan kepada kamu.
"Ehmmm, nggak pernah sih." Tangan Maeda masih sibuk mengusap keringat di penjuru wajah Nizar.
"Sudah, berhenti. Ini wajah, bukan lantai yang bisa seenaknya kamu pel." Celetuk Nizar disambut Maeda dengan cubitan kecil di pahanya.
"Aku salah apa? Kok paha aku di cubit?" Nizar tidak masalah, dia hanya ingin mencairkan suasana diantara mereka.
"Kamu selalu dengar apa kata aku. Tapi, bagaimana soal Maira yang belakangan justru sangat intens kedekatannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...