Hujan di Tengah Kemarau

395 55 78
                                    

Gluduk, gluduk jdwarrrr!

Dentuman Petir menggelegar tiba-tiba, saat Fardah menancapkan kabel charge laptopnya. Dia sudah berambisi menyelesaikan proposal tugas akhir, namun cuaca sedang tidak mendukung.

Lima menit lalu, gemintang masih menggugus terang di langit, awan-awan tipis berarak pelan, bulan paruh menerangi semesta dengan sinar temaramnya.

"Mbak, masuk yuk. Mendadak berangin dan kilat tuh." Fardah mengajak Ainun, penghuni kamar sebelah yang sedang asyik main wormzone.

"Ya Allah, Fardah. Kamu ganggu sekali, ah. Mbak lagi refreshing, besok pagi nggak mungkin nemuin cacing model kayak gini." Ainun menggerutu sebal, dua jempolnya lihai meliuk-liukkan jalannya permainan.

"Mbak, tapi ini mau hujan. Ayo masuk, kita juga harus istirahat. Udah setengah 12 malam loh." Bujuk Fardah sembari menarik kabel dari stopkontak. Laptop belum menyala, suasana mengerjakan tak menunjang. Lengkap sekali. Alamat, dia tak satu frame dengan Maeda dan Yanis di wisuda.

"Fardah, kamu yang ngajak, kamu pula yang meminta Mbak untuk beranjak. Nggak jadi tuh, nungguin mas-mas jualan tahu tek?" Mbak Ainun meletakkan ponselnya. Pandangannya, menerawang ke langit, menyaksikan kilat yang mengilau perlahan.

"Nggak jadi, Mbak. Mungkin Masnya juga libur nggak jualan." Fardah sudah berdiri dan membalikkan badan menuju kamar.

"Maeda kemana, sedari jam 8 tadi, dia kok nggak kelihatan. Biasanya jam segini kan, udah nyanyi-nyanyi nggak jelas pakai keyboardnya?" Pertanyaan Mbak Ainun membuat Fardah berhenti.

Fardah hampir melupakan temannya. Cepat-cepat dia mengambil ponsel dan melihat notifikasi disana. Maeda bukan teman yang suka ngilang diam-diam. Biarpun urusannya cukup privasi, Maeda akan memberitahunya keberadaan dia dimana.

Tidak ada notifikasi dari Maeda. Chat WA nya dipenuhi pesan, dari grup jurusan yang mengulik perihal tak berfaedah sama sekali.

"Mbak, Maeda tadi pamit nggak? Bukannya tadi, Mbak tau berangkatnya dia." Setelah meletakkan laptop, Fardah kembali duduk bersama Ainun di balkon lantai atas.

"Dia berangkat buru-buru, gitu. Tanpa make up, style nya juga santai. Nggak nunjukin kalau dia sedang menghadiri acara penting."

Fardah, kembali mengetuk 2 kali layar ponselnya. Setelah layar menyala, bergegaslah nama Maeda dicari. Fardah membuat panggilan.

Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, atau berada di luar servis area.

Temannya satu ini ingin berontak, meronta-ronta dan menggetok kepala wanita itu dengan palu nya suami Mbak Inayah.

"Maeda, kamu dimana? Ini sudah malam." Ponselnya tak ingin dia lepas dari bagian luar indra pendengar. Via telepon, via WA, keduanya berbuah nihil. Maeda tak dapat dihubungi.

Bukan salah bunda mengandung, bila Fardah se-gusar sekarang. Kilat memang tidak lagi mengilau, dinginnya angin malam yang ia rasakan pergi tanpa mengucap pamit.

"Fardah. Sini duduk. Lama-lama aku gregetan melihat kamu, mondar-mandir mirip tukang setrika." Kaleng keripik kentang yang dipegang Mbak Ainun adalah milik Fardah. Perempuan itu gemar makan, tidak peduli dalam lima menit, sudah ludes tinggal kalengnya.

***
"Ini benar kan, perumahan mekar angkasa. Nizar minta jemput jam 9,tetapi sampai setengah 12 belum muncul juga." Maeda memasukkan kedua tangannya ke saku almamater.

Suhu udara 3 jam lalu tidak sedingin sekarang. Maeda hanya mengenakan tunic siffon, tentu saja kulitnya berkerut dan tubuhnya menggigil.

Ini bukan sedang syuting drama korea. Tidak ada salju yang turun, tetapi angin malam ini berhembus cukup keterlaluan. Kilat tidak bersuara, hanya mengilat dari langit sebelah utara. Beruntung di bagasi motornya, ada almamater yang sengaja dia letakkan sesudah seminar proposal tadi.

"Apa Nizar salah alamat? Dia bilang mengantar seseorang, tetapi mengapa sangat jauh sekali dari kos-kosan? Kira-kira, si----" belum selesai Maeda menyusun rumusan masalah, sorot warna putih dari lampu mobil membuat matanya picing.

"Ni---zar?" Maeda lekas menyembunyikan tubuh di balik pohon. Iya, sejak tadi dia menunggu temannya di pinggir jalan. Tidak ada tempat yang nyaman, untuk sekedar singgah, selain dibawah pohon besar komplek itu.

"Dan Aira? Jadi, teman yang dimaksud Nizar adalah perempuan itu." Maeda mencoba memastikan seseorang di samping mobil kemudi.

Wanita cantik yang sedang tersenyum dan bahagia. Begitu juga dengan sopir tampannya yang ikut tersenyum. Mobil terus melaju, melewati pohon besar kompleks.

Sayangnya, Maeda tak segera kembali ke persembunyiannya, hingga Nizar mengetahui bahwa Maeda sedang berdiri di bawah pohon. Tidak hanya itu, nomor kendaraan Pisang Ijo nya, sudah ia hafal sejak dulu. Jadi, Nizar tahu, pemilik motor matic biru yang tadi sedikit menghalangi jalan.

***
"Terimakasih ya, Mas. Sudah diantar sampai rumah. Besok giliran aku yang mengantar kamu, kebetulan aku sudah lama tidak bertemu Mbak Inayah."Mereka masih di dalam mobil. Hujan baru saja turun.

"Boleh." Nizar lekas melepas sabuk pengaman. Namun, Maira menghalangi langkahnya saat pria itu menarik gagang mobil.

"Mas,"

"Ada apa, Ra. Maaf, aku buru-buru." Tubuh pria itu sudah sepenuhnya keluar dari mobil.

"Mas, sudah setengah 12. Diluar juga hujan, apa tidak sebaiknya kamu menginap di rumah? Teman kamu juga tidak ada." Maira setengah berteriak, mengingat air langit jatuhnya tak lagi tipis-tipis.

"Menginap? Maira, aku ini laki-laki, dan di rumah kamu, tidak ada siapa-siapa selain kamu."Nizar menundukkan kepala, menampakkan wajah ke jendela mobil, agar wanita itu mendengarnya.

"Kita kan tidak berbuat macam-macam, Mas. Kamu hanya menginap. Terserah tidur dimana." Maira bersih keras. Tampaknya, ini akibat dari sifat tak acuh Nizar tadi.

"Maira, kamu nggak perlu seperti itu. Apa kata tetangga kalau besok, aku keluar dari rumah kamu."

"Kalau begitu, tunggu sampai teman kamu datang." Maira mengambil payung dan ikut keluar.

"Temanku sudah datang. Sampai bertemu besok." Maira sudah tiga langkah ingin memberi naungan, tetapi Nizar berlari begitu saja.

***
Dua manusia itu hanya diam dan saling berhadapan. Sudah tiga menit mereka tak juga beranjak. Berdiri, menatap satu sama lain. Membiarkan wajah mereka dihujam air langit yang menderas. Tidak apa, tidak begitu sakit, sekalipun besok kelopak mata akan memerah, flu dan batuk akan menyerang.

Perasaan salah satunya sudah teramat berang, ingin mengguncang bahu pria di depannya hingga dia sadar. Maeda tak tahan dengan sepucuk dusta yang Nizar torehkan.

"Kenapa harus berbohong segala kalau itu, Maira? Apa kamu takut, aku akan cerewet dan melarang kamu berteman dengan dia?" Maeda membuka suara. Tidak ada kalimat yang terlintas untuk diucapkannya.

"Mae. Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya mengantar dia pulang. Karena dia seorang wanita." Nizar belum ingin mengatakan kalau sebenarnya dia adalah sopir pribadi Maira.

Tiga bulan berjalan mereka berteman, masih banyak cerita tentang Nizar yang Maeda belum mengetahuinya.

"Kalau memang itu alasan kamu, kenapa dua kali permintaanku dulu selalu kamu tolak. Di jam yang sama, motorku bocor di jalan, tetapi kamu malah memintaku naik bus kota saja. Kamu tidak peduli, Nizar!" Pekik Maeda membabi buta.

Dulu, saat mereka baru dua minggu berteman. Saat perasaan Nizar masih teruntuk Maira.

"Kenapa diam? Kamu nggak bisa jawab bukan? Aku dan Maira sama-sama perempuannya. Bahkan boleh dibilang aku yang selalu ada buat kamu. Tapi," Nada bicara Maeda merendah.

"Mae, ayo pulang. Kita bisa sakit kalau hujan-hujan seperti ini." Untuk pertama kalinya dia menggamit tangan seorang wanita.

Selama ini, Nizar berusaha untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keyakinannya. Hanya menatap mata, bagi dia sudah terlampau jauh dari sekedar zina. Apalagi dengan yang sekarang.

***
Assalamualaikum
Selamat pagi
Author kembali nih
Baca, vote dan beri komentar ya

Jang Mi
Minggu, 12 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang