"Ini untuk terakhir kalinya. Dan aku nggak ingin mengulangi perkataanku. Jadi, stop bertanya-tanya lagi." Maeda beranjak dari kursi. Dia ingin menjauh dari tempat itu juga.
Selain belakangan tidak kerasan, Maeda ingin membuat hubungannya dengan Pak Ikhya' dan seisi rumah tak retak. Keluarga mereka mungkin susah melihat pemandangan Nizar dan Maeda bila rekat seperti perangko.
"Apa kamu yakin, apa kamu nggak menyesal memutuskan untuk beranjak?" Nizar melipat jemarinya.
"Zar," Maeda menyebut nama itu kedua tangan dia sudah diangkat tinggi-tinggi.
"Baiklah. Itu keputusan kamu. Selebihnya, hubungan kita tetap membaik, sekalipun kamu udah nggak sedekat dulu dengan aku."
"Bu Sofiyah tidak senang bila kita dekat. Bu Sofiyah ingin, aku menjauhi kamu karena beliau kurang suka dengan sifat yang selama ini ku tunjukkan." Maeda ikut melipat lengan, pandangannya lebih memilih sekelompok burung camar yang terbang dibanding pria dibelakangnya.
"Ibu bilang gitu?" Nizar seketika bangkit dan berdiri menghadap Maeda.
"Kamu sendiri sebagai anaknya nggak percaya kan? Apalagi aku?" Gadis itu tergelak sebal. Menghadapi teman seperti itu membuat perutnya semakin mules.
"Sekarang, jangan lagi mengklarifikasi, alasan mengapa sampai beliau melarang kita berteman, apalagi dekat. Yang jelas Bu Sofiyah mengatakannya berdampak baik bagi aku." Semoga untuk kali ini Nizar tidak lagi menanyakannya kembali.
"Dan satu yang kamu harus tau. Perempuan dambaan Ibu kamu adalah Maira. Cantik, modis, putih, dan mungkin saja sifat terpuji makhluk satu bumi disematkan pada dia." Maeda melihat ekspresi Nizar yang datar tanpa kerutan.
"Bukankah sudah jelas, kalau lebih baik kita tidak sedekat dulu lagi?" Maeda mengenakan masker dan berlalu meninggalkannya.
"Mae, tapi perasaan tidak bisa dipaksa. Aku tetap memilih kamu." Suara Nizar terlampau lemah untuk didengar Maeda yang sudah berbelok menuruni tangga.
"Kamu pikir segampang itu menyukai seseorang. Dasar cupu!!" Maeda mengayunkan kra pakaiannya. Cukup berat memang menghadapi Nizar yang keras kepala.
"Semoga aku bisa mengenyahkan perasaan tak masuk akal ini. Yah, semoga. Biidznillah."
***
Maeda mengayunkan blush on sekedarnya ke pipi kanan dan kirinya. Tidak perlu teramat kentara, sebatas menyamarkan wajahnya yang sedikit pucat.Arok bilang, mereka terlebih dulu menghampiri kakak sepupunya yang bekerja di toko buku dekat Kebun Binatang Surabaya.
Tampil dengan sentuhan make up sedikit, lebih baik bukan? Jangan sampai kebersamaannya dengan Arok membuat pria itu minder dengan penampilan Maeda.
"Lama ya pasti? Maaf buat kamu menunggu, Mas." Maeda menunduk malu sembari mengulum senyum.
Dia baru saja jadi penghuni rumah pinjaman Arok, tetapi tuannya sudah memperlakukan dengan sangat istimewa.
Terusan sifon warna salem, hijab dengan modifikasi tidak teramat neko-neko dan tas kulit oleh-olwh dari fardah sewaktu di Bali, membuat Arok tercengang sesaat.
Wedges di kaki wanita itu membuatnya terlihat sepadan bila berdampingan dengan Arok.
"Maaf, Mas. Aku nggak bisa dandan kayak Maira. Bagiku, ini sudah tampilan memukau." Maeda belum beranjak kemanapun. Dipandangi Arok seperti itu,dia sudah canggung setengah mati.
"Jangan jadi dia. Aku nggak suka, Mae. Udah yuk, ayo berangkat. Keburu malam. Penerbangan dari bandung satu jam lagi landing." Arok menghampiri Maeda dan membimbingnya agar segera memasuki mobil.
"Mas, jangan perlakukan aku seperti ini. Biasa saja. Aku ini teman kamu."
Maeda tak ingin menyikapi perhatian Arok teramat dalam. Bagaimana bila kelak dia jatuh cinta sungguhan, sementara pria itu biasa-biasa saja.
"Iya teman untuk saat ini. Bagaimana bila kelak, kamu memang jodoh yang ditakdirkan Allah buat aku." Itu jenis kelakar, gombalan, bualan atau memang perkataan yang tulus?
"Apa?" Jarak rumah ke mobil tidak ada 30 meter, membuat Maeda harus berhenti lagi lantaran terkejut.
"Udah, udah, udah. Jangan dihiraukan. Mbak Ambar udah nunggu aku nih." Arok tersenyum jail karena berhasil membuat Maeda percaya akan ucapannya.
Bagi dia, Maeda harus dibiasakan dengan sarkasme dan gurauan semacam ini. Agar, bila kelak datang pria dan mendadak mendekatinya dengan segala ucapan dan janji manis, Arok berharap Maeda mampu mengatasinya dengan baik.
***
"Siapa yang sakit?" Tanya Maeda saat Arok membawa kantong kresek berisi sirup penurun panas dan batuk."Adik aku, Mae. Kondisinya sedang kurang fit." Arok meletakkan barang belanjanya ke dasbor mobil, dan kembali melajukan mobilnya.
"Mas,"
"Hmm,"
"Adik kamu namanya siapa?"
"Nanti sajalah kamu kenalan sendiri." Arok yang mendadak misterius membuat Maeda memanyunkan bibir.
"Terus, kamu bilang di rumah yang sekarang aku tempati adalah bekas rumah keluarga kamu. Barang-barangnya sih masih komplit. Tapi kok aku nggak nemuin foto keluarga kamu?"
"Kamu kepo ya, Mae? Ciyee, emang mau ngapain kok sampai tanya-tanya segala? Mau pendekatan?" Arok mencari gara-gara lagi.
"Mas, aku serius." Maeda berusaha tak terpancing.
"Aku juga serius loh, Mae. Ada apa kamu tanya-tanya segala?"
"Memangnya pertanyaanku sensitif ya?" Mereka justru saling berargumen default, yang tak kujung menemui jawaban.
"Enggak juga. Masalah itu, lain kali akan jawab. Nggak apa-apa kan?" Balasan Arok seperti pertanyaan Maeda tadi teramat membuatnya berat menjawab.
"Iya, Mas. Beneran loh tapi, aku beneran pengen tau wajah ayah, ibu dan keluarga kamu." Maeda membuat peringatan.
"Iya Mae. Lain kali ya tapi."
Maeda berharap dengan jawaban seperti itu, Arok akan mengatakannya kemudian. Tetapi, pria itu tetap akan menjawab di kemudian hari.
"Keluarga kamu semuanya pindah ke Bandung? Kalau aku boleh tau sih, Mas." Kini, justru Maeda terkesan yang sangat bersemangat untuk memasuki kehidupan Arok.
"Mae, udah hampir sampai. Semua pertanyaan kamu untuk sementara aku tampung dulu, ya." Arok terkesan menghindari pertanyaan Maeda.
Dia yang biasanya sangat biasa, easy going dan open mind, dengan mudah akan meladeni pertanyaan macam apapun. Tetapi, kali ini Arok benar-benar berbeda. Keluarga, Ayah dan Ibu serta segala pertanyaan yang menyangkut mereka membuat Arok tak mampu bersuara.
Bandara Juanda sudah mereka pijaki. Rupanya, mereka tak datang tepat waktu. Wanita yang dimaksud Arok sebagai adik sudah duduk di area tunggu sembari menjuntaikan kaki jenjangnya.
"Itu adik aku. Umurnya sepantaran Maira, lah." Arok mendeskripsikan kepada Maeda sembari melangkah ke arah wanita itu.
Samar-samar Maeda dari jauh bisa melihat adik Arok. Membuat penilaian tentang fisik yang sedang diperlihatkan semesta kepadanya.
Tampilan sporty islamic-nya, membuat Maeda membandingkan dengan dirinya yang tiada apa-apanya. Maeda melihat hijab wanita itu, yang simpel namun terkesan mewah. Maeda melihat senyumnya merekah dengan baik sambil melambaikan tangan kepada kakaknya yang seketika berlari mendekatinya.
Dia tamu istimewa. Arok seperti sudah lama tidak berjumpa dengan adiknya yang masih menyambut dengan sumeringah.
***
Assalamualaikum
Alhamdulillah, update lagi
Gercep ya readers.
Baca, vote dan kasih komentarJang Mi
Selasa, 28 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...