Berjuang

389 45 126
                                    

    Maeda memilih beranjak dan meninggalkan Arok sendiri di ruang tamu. Sampai detik ini, masih saja zamannya pria membual, masih saja mereka mengobral janji manis.

    Setidaknya, biarkan dia menjadi wanita bodoh hanya kemarin saja. Maeda tidak ingin mengulanginya lagi. Maeda juga tidak ingin mudah terpancing dengan kalimat Arok barusan, yang sudah jelas menunjukkan adanya perasaan.

   Kata-kata manisnya kemarin, di beberapa waktu lalu, sudah jelas sebatas hiburan belaka. Maeda tak ingin terhempas perlahan hingga kesakitan. Maeda ingin menjalani hidup normal, seperti sebelum mengenal Nizar dan sebelum Mas Arok sedekat sekarang.

   Meninggalkan pria itu sendiri, baginya sudah tepat. Biar saja, Arok menyebutnya wanita kurang peka, yang jelas Maeda ingin segera mengambil air wudlu dan menunaikan shalat shubuh.

   "Kamu bersedia kan, Mae. Bila aku ingin menjalin hubungan dekat dengan kamu?" Pergelangan tangan Maeda, mendadak terasa hangat.
   
     Sentuhan dan genggaman Arok sejak kapan berada disana?

   "Bukan Maira, bukan Hani, bukan siapapun. Aku hanya ingin kamu, Mae, yang mejadi pelengkap, saat ruas jari ini kosong, yang menjadi penggenap saat aku sepi dan sendiri." Kalimat itu masih mengalir, sedangkan Maeda belum memalingkan muka.

     "Mas Arok kalau bercanda mending jangan asal deh. Aku mau shalat subuh Mas, aku mau tidur, ngantuk." Kilahnya. Padahal di wajah itu, segala perasaan semburat menjadi satu.

      Maeda ingin tersenyum, mengingat hatinya belakangan berdesir. Maeda ingin menjerit, lantaran dirinya tak sepadan dengan mantan kekasihnya. Maeda ingin memaki Arok saat ini juga, karena dia tergolong pria bodoh yang salah menjatuhkan perasaannya.

    "Jadi, apa kamu bisa, ngelepas tangan aku, Mas." Pinta Maeda yang cukup singkat. Tetapi, pria itu tetap menahannya.

     "Nggak. Aku nggak akan melepas tangan kamu. Sebelum kamu memberi aku jawaban. Iya, atau? Tidak."

    Arok mengerti, mungkin Maeda masih terbayang-bayang dengan sakit hati yang ditorehkan oleh Nizar. Sekalipun pria itu sekarang berbalik mencintai Maeda.

     Sekalipun Nizar sudah mulai berbenah ingin merubah sifat bimbangnya.
Tetapi, Arok tidak ingin, bila nantinya Maeda kembali dibuat jatuh cinta oleh pria itu.

    "Mas Arok minta jawaban yang mana?" Maeda berbalik, disana, di sepasang mata itu, dia secara tak sengaja telah menemukan jawaban.

     Arok yang tulus. Mana mungkin, kata-katanya tidak bisa dipertanggung jawabkan.

     "Aku tanya sekalu lagi. Kamu ingin aku menjawab yang mana?" Tegas Maeda.

     "Apa kamu bersedia, bila aku ingin menjalin hubungan lebih dekat dengan kamu?" Suara Arok tidak kalah lantang. Ini masih shubuh, namun hawa ruang tamu Maeda seperti dhuhur di musim panas.

    "Jangan hanya bicara. Kalau memang itu mau kamu, baiklah. Aku bersedia." Maeda tadinya tidak menyimpan dengan Arok.

    Tetapi genggaman pria itu, seketika di sentaknya dan dia tetap memilih pergi.
Maeda belum sepenuhnya terlepas dari bayangan Nizar. Bukan karena tidak bisa move on.

     Tetapi kenangan menyakitkan keponakan Pak Ikhya' itu seketika memasung pukirannya. Jadi bagaimanapun Arok mengatakannya, seketika rasa kurang percaya menghimpitnya.

     "Kalau seperti ini, aku jadi punya alasan buat memperjuangkan kamu, Mae. Aku bukan Nizar, dan perlahan aku akan memastikan bahwa pria itu tidak akan membuat kamu sakit hati lagi."

    Adzan shubuh di mushalla kompleks baru tersiar. Arok memandangi pintu kamar Maeda, kemudian mengangkat kaki.

***
    Dua hari sebelumnya, Arok cukup gelisah karena pesan WA nya hanya centang dua tak berwarna biru. Pesan yang sarat dengan kekhawatirannya pada wanita penghuni rumah lamanya.

    Yanis juga mengatakan kalau tidak melihat Maeda sama sekali. Serupa pula dengan Fardah teman satu kos nya. Maeda tidak ke kampus, tetapi pintu rumahnya terkunci. Berkali-kali dia menghubungi ponselnya, tidak ada jawaban. Pesannya juga tidak di balas.

   Arok hanya memastikan apakah Maeda baik-baik saja. Mengingat, di media sosial baik Facebook maupun instagram, Maira sedang mengepakkan sayapnya. Dia memberitahu dunia, bahwa Nizar dan dia telah resmi berkencan.

    Bagi Arok tidak masalah. Lalu, bagaimana dengan Maeda yang dapat dipastikan belum bisa baik-baik saja.

    Perasaannya cukup senang, saat lampu kamar wanita itu menyelinap di balik gorden. Berselang, jendela kamarnya dibuka dan gorden itu ikut disibaknya.

     Dini hari kemarin, Arok sampai rela mengamatinya dari balkon rumahnya. Maeda dengan wajah tanpa riasan nampak hilir mudik membuka lembar demi lembar buku tebal.

    Sembari membuat mark dengan spidol lalu menggigitnya. Rupanya wanita itu baik-baik saja, sedang sibuk mengerjakan tugas akhirnya.

     Arok menyesap kopi di cangkir ketiga.

      "Assalamualaikum, ada apa, Nis?" Arok seketika saja mengangkat saat ponselnya bergetar dengan nama junior kesayangannya yang tertera.

     "Mas, tawaran kamu masih berlaku kan, buat ngajak aku ke Bali?" Diseberang rupanya belum tidur. Anak mahasiswa akhir ini, membuat Arok gemas, karena ikut begadang menyelesaikan tugas akhir.

    "Masih kok."

     "Ya udah, aku ikut. Hitung-hitung, pencerahan buat skripsi ku, Mas."Suara diseberang kemudian terkikik.

    " Aku rencana ngajak Mae, sih. Kalau mau dia."

     Pada dasarnya, alasan Yanis diajak bukan semata-mata karena dia yang tidak memiliki joki pengganti. Tetapi, wanita di depan rumah, yang sekarang masih berkutat pada laptop dengan jemari cepat yang mengetik, membuat Arok sampai ingin membawa Maeda sekaligus.

    Maeda yang tidak ingin disiakan-siakan seperti kala itu.

    "Pasti mau lah, Mas. Tau sendiri kan, penggemar kamu yang paling ekstrim siapa?" Yanis justru mengajaknya bercanda.

    "Siapa?"

    "Siapa lagi kalau bukan Maeda Salsabila Cahyani. Mae, Mae, Mae." Dini hari Yanis terpingkal-pingkal.

    "Aku seriusan loh, mau ndeketin dia." Sumpalan perkataan yang sangat pas dan masuk sekaligus ke mulut Yanis.

    "Apa? Mas Arok mau ndekatin Maeda? Nggak salah kamu, Mas?" Dia tertegun sebentar sebelum Yanis kembali bersuara.

    "Buat apa salah. Toh, Maeda seorang wanita. Kami pernah kenal, sekalipun riwayatnya tak sebagus sekarang." Arok mengemasi cangkirnya dan masuk ke dalam kamar.

    "Aaa, aku nggak yakin saja kalau kamu kelak jadian sama dia. Nggak bisa dibayangin, Mas." Yanis masih dengan tawa terpingkal-pingkal nya.

    "Kamu sekarang berani ya, meragukan aku?" Laki-laki jomblo ini masih saja menyahut suara di seberang, yang jelas-jelas tidak perlu diperpanjang.
Kesannya, seperti mereka sepasang kekasih yang tengah telfon malam-malam.

    "Ya nggak gitu juga. Pokok nggak bisa dibayangin kalau kalian jadian." Lawan bicaranya sengaja merecoki.

    "Apa perlu nih aku buktikan?"

    "Tentunya, Mas. Kalau kamu memang benar-benar pingin Maeda dekat lagi sama kamu, mending buktikan. Kamu harus berjuang. Jangan hanya ngobrol sana sini, karena dia sempat mempertanyakan saat kamu memperlakukan layaknya perbuatan Nizar."

    Arok tidak pernah mengait seberapa besar luas otaknya. Dia hanya tahu, detik ini juga, memori nya sibuk mencatat dan merekam permintaan naluri bernama cinta.

    Membuat list, apa saja yang harus sel motoriknya kirimkan ke seluruh tubuh, agar dia mampu memperjuangkan Maeda yang kembali ke hidupnya.

    "Tunggu saja. Arok bukan seperti laki-laki bernama Nizar. Arok akan membuat Maeda nyaman dan kembali jatuh cinta."

***
Assalamualaikum
Alhamdulillah, update lagi nih
Selamat membaca

Jang Mi
Senin, 11 Mei 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang