Plin Plan

441 66 83
                                    

Antrean panjang yang sudah mengakar. Tidak lama suara klakson bersahutan, karena lampu hijau telah menyala. Maksimal 40 km/jam, selebihnya kecelakaan akan menimpa.

Sudah biasa.

Beginilah suasana di jam 5 sore. Saat para pekerja berhamburan keluar dari kantor, pabrik dan pertokoan.
Arok membelokkan mobilnya dengan satu kali hentakan ke kompleks rumah elit kawasan surabaya pusat.

Mobil HRV putih hanya di parkir di depan rumah. Hari ini dia tidak ada kesibukan, selain menghadiri penyambutan seminar proposal Maeda. Setelah memutar kunci, Arok segera membasuh diri. Sekedar menemui junior nya di kampus, namun badannya seperti habis dibuat naik turun tangga sebelas lantai tanpa lift.

Pikirannya lelah. Yanis, Maeda dan pria dengan tampilan bak superstar indonesia tadi, membuat otaknya berkontraksi dengan menggila.

"Maeda, bagaimana bisa kamu mengenal laki-laki setype dia." Arok mengayun sisir terakhirnya dengan mantap.

Di sana, di balik cermin tidak ada jawaban apapun. Hanya bayangan dia yang tegap dan fresh.

"Assalamualaikum."

Arok pria yang tenang. Tak ingin mengambil pusing apapun yang sekira bukan lajur urusannya. Tetapi, hubungan Nizar dan Maeda membuatnya terpaksa bertanya.

"Waalaikumsalam. Ada apa, Mas?" Telepon diseberang milik laki-laki yang tengah meneguk secangkir vanila latte.

"Haikal, Maira beneran sampai sekarang jomblo?" Arok menanyakan hijabers kampus pada juniornya di redaksi.

"Iya, Mas. Maira masih menjomblo. Ada apa? Kok tumben tanya dia? Kamu kepikiran omonganku yang dulu?" Pertanyaan itu berakhir dengan tawa yang membahana.

" Ya Allah, istighfar kamu Haikal. Untuk apa, aku memikirkan omongan tidak berkualitas kamu setahun yang lalu." Sangkal Arok, lalu pria itu menempatkan tubuhnya di sofa ruang tamu.

"Hati dan perasaan seseorang tidak ada yang tahu. Mungkin, kalimatku diam-diam terngiang di pikiran kamu. Setelah Lubab, giliran kamu yang terlena oleh dia." Haikal sibuk menkronologi kejadian yang sudah berlalu 365 hari dari saat ini.

"Sudah-sudah, jangan berpikir kesana. Aku sama sekali tidak tertarik dengan hijabers kampus itu." Menghadapi Haikal, Arok harus memiliki pertahanan jitu, agar dia tidak disudutkan ke belahan bumi tak berpenghuni.

"Baiklah. Ada apa, Mas?" Meski hanya via suara, Haikal tak mau blingsatan menghadapi Arok yang tengah serius.

"Kamu kenal sama Nizar?" Arok seketika ke intinya.

"Nizar. Nizar temannya Maira?"

"Iya. Sopir pribadinya juga."Kalau ada paket komplit, mengapa tidak mengambil sepaket? Arok mengimbuh latar belakang Nizar.

"Mas Arok sudah tahu, kenapa tanya ke aku? Ya sopir pribadi, teman jalan, bahkan ku dengar sekarang jadi partner manggung di kafe dosen aku."

Tuk! Denting cangkir dan saucer, menggema di tengah pembicaraan mereka.

"Partner manggung?" Arok mengabsen.

"Iya. Nizar cukup berbakat dalam memetik gitar. Boleh dibilang, mereka akan berkolaborasi." Terang Haikal, tanpa menanyakan tujuan Arok menggali informasi tentangnya.

"Haikal, ba'da maghrib ada kesibukan nggak. Kalau nggak, mampir ke rumah. Tidak nyaman bila kita berbicara seperti ini."

Sebenarnya Arok ingin melanjutkan. Masih banyak pertanyaan yang harus ia ajukan. Bukan karena dia tertarik dengan Nizar. Tetapi, karena Maeda yang tertarik dengan pria itu, yang baginya adalah orang yang salah.

***
"Mas Nizar mending pakai yang ini saja." Setelah Maira membenarkan hiasan hijab nya, seutas gitar warna hitam metallic di genggamkan ke tangan Nizar.

"Tapi, Ra. Aku sudah punya gitar. Apa kamu tidak melihatnya." Nizar meletakkan gitar dari Maira ke lantai.

"Gitar yang kamu bawa, nggak nunjukin kamu banget deh. Kamu ini menawan, Mas. Nggak mungkin, pegang gitar murahan seperti itu." Maira tanpa sungkan membenarkan gaya berpakaian Nizar yang berbeda dari biasanya.

"Maira, maaf. Kamu bukan Mahram aku. Berhenti membuatku deg-deg an." Peringatan Nizar cukup menampar keinginannya.

Kali pertama Nizar menolak permintaan Maira. Sebelumnya, pria tinggi itu selalu mengiyakan keinginannya. Bukan keinginan yang neko-neko dan mengundang macam-macam di otak orang.

Dua tahun hidup di Surabaya, membuat Nizar memiliki banyak kesibukan, meskipun tidak ada yang menetap. Menjadi sopir pribadi Maira, teman jalan saat wanita itu suntuk, teman makan dan kondangan serta kali ini partner bekerja.

"Mas, apa kamu tahu tujuan aku, merekomendasikan kamu untuk bekerja disini?" Maira tahu pria itu lulusan pesantren. Tetapi, baginya pria manapun sama saja, saat seorang wanita berani membelai wajahnya. Sebagian dari mereka tertarik.

"Maira, hentikan!" Nizar memperingatkan. Tapi jemari Maira enggan beralih.

"Asal Mas Nizar tahu, perkataan Balqis waktu itu benar, Mas. Aku menyukai kamu. Aku berharap kamu menjadi imamku." Tutur wanita itu pelan. Tidak peduli dengan tingkah lakunya yang berlawanan dengan agama ini.

"Bukankah, Mas Nizar juga memiliki perasaan yang sama denganku?" Maira melanjutkan. Tetapi kedekatannya ini, sontak membuat Nizar murka dan mereka kembali berjarak.

"Maaf, Maira. Jangan fokus membahas itu. Sebentar lagi, kita harus tampil. Aku tidak ingin di hari pertamaku kerja, pikiranku terpecah kemana-mana. Best performance, itulah yang kuinginkan."

Nizar bukan sekedar nyaris tergoda. Siapa yang tidak ingin dimanjakan perempuan seperti itu.

Nizar mendambakannya. Namun sayang, tindakan Maira sangat bertentangan dengan keyakinannya. Mereka bukan mahram, tidak memiliki ikatan halal yang dimaksud dengan pernikahan. Mungkin pula bertentangan dengan hatinya yang detik ini dipenuhi dengan Maeda.

Dia meninggalkan Maeda sendiri di ruang make up.

"Mas, aku seratus persen yakin kalau kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku. Bahkan setahun lalu, di depan Mas Lubab, di depan Mas Arok, kamu terang-terangan menampakkan perhatian kamu."

Maira berujar sendiri. Kakinya perlahan menyusul Nizar yang sudah stand by di stage kafe.

***
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat malam, semoga kita semua tetap dalam lindungan ilahi, diberi kesehatan dan barokah rizki." Menyanyi, MC, berkaraoke bukan sekedar hobby, tetapi bakat yang mendarah daging sejak Maira dini.

Kafe yang ia tempati adalah milik dosennya. Berbeda dengan kafe lainnya yang bernuansa konvensional, kafe ini bernuansa islami dengan berbagai jenis pembeli.

Semi musik gambus beriringan petikan gitar, Maira melantukan lagu "Tholama Asyku" sebagai opening.

Sambutan yang antusias. Malam ini, di hari pertama Nizar bekerja, tampilannya walau hanya pengiring suara, sudah membuatnya senang, karena pengunjung mulai terhibur.

"Maeda terimakasih. Atas pinjaman uang kamu, aku menemukan sampingan kerja yang lain. " Batin Nizar, ketika Maira menginjak reffrain lagu.

"Dan untuk kamu, Maira. Maaf, bukan aku berniat menolak pemberian kamu. Bukan pula aku tak ingin menyenangkan kamu. Tetapi, aku ingin berusaha menghargai seseorang yang sudah susah payah mengorbankan ini untuk ku." Nizar, lelaki 22 tahun yang terkadang masih labil, pikirannya angin-anginan.

Sekarang, yang ada di pikirannya hanya jasa dan usaha Maeda. Sekalipun dia tak bermaksud menyakiti perasaan Maira, namun entah mengapa hanya Pisang Ijo yang tertambat di limbiknya.

***
Assalamualaikum
Alhamdulillah update nih
Dibaca, dikasih bintang dan tinggalkan komentar ya
Terimakasih

Jang Mi
Kamis,09 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang