Sopir Pribadi

419 61 102
                                    

  "Pisang ijo. Selamat ya, semoga dilancarkan sampai akhir. Maaf, aku tidak bisa datang tepat waktu." Jam setengah 4 sore. Tidak amat terlambat. Maeda menyelesaikan seminar proposal setengah jam lalu.

  "Nizar." Maeda speechless. Tepung kedelainya benar-benar penuh kejutan.

  "Nggak-nggak, nggak telat kok. Nggak ada kata telat buat kamu. "Rentetan gigi putih mengawali sikap bahagianya.

  "Aku hanya punya ini. Maaf, nggak bisa ngasih apa-apa." Dua batang chunky bar, lamat-lamat Nizar berikan. Minder saja, buket mawar putih besar tidak sebanding dengan pemberiannya.

  Nizar membuat penilaian dengan pria dibelakang Maeda. Pikirnya, mungkin dia yang bernama Mas Arok. Mas Arok yang juga dilihatnya, beberapa waktu lalu bersama Maeda di tempat yang sama.

  Pria dengan setelan casual semi parlente, Nizar yakin dia memiliki intelektual yang bagus. Mustahil bila Mas Arok tergolong standar seperti dirinya. Tampangnya juga lebih dari lumayan. Mata sipit, lesung pipi, badan tegap dibalut kemeja maroon, warna kesukaan Maeda.

  "Mas, pria itu tuh. Ya pria itu, yang belakangan membuat Maeda setengah waras." Yanis berbisik lirih kepada Arok.

  "Astaghfirullah. Jaga lisan kamu, nggak boleh seperti itu."

   Berbeda dengan Arok, peringatannya serba blak-blakan. Membuat kedua manusia yang saling melempar senyum di hadapannya seketika menoleh.

  "Kalian? Ada apa Mas Arok? Ada apa Yanis?" Maeda memastikan, tetapi hanya gelengan yang dia dapatkan.

  "Jangan menghiraukan kami. Kami sedang berdiskusi. Barangkali, Mas Arok bisa mengenalkanku wanita cantik dan pintar." Kilah Yanis seraya menarik Arok untuk menjauh.

  Membuat jarak bukan karena membiarkan mereka.Tetapi, dia masih ingin membicarakan Maeda lebih jauh.

  "Mas, gimana menurut kamu? Antara aku dan dia, lebih ganteng siapa?" Pria terlampau percaya diri. Sosok Arok, baru sekarang menemuinya, dengan bibir yang tak berhenti mengucap hal-hal bodoh.

  "Yan, usia kamu berapa? Jangan seperti bocil. Berhenti membuat perbandingan. Biarkan Maeda mengurusi urusannya." Arok menengahi sikap Yanis yang memang tak sepantasnya ia pelihara di usia 22 tahun.

  "Urusan dia satu ini, urusanku juga, Mas. Aku nggak ingin dia Baper. Aku kasihan bila dia terlalu menaruh hati," Yanis menggerutu cukup keras. Hingga kepala gadis berhijab itu melihatnya.

  "Sudah, sudah. Kelakuan kamu dari semester 1 nggak hilang-hilang. Ghibah yang membudaya!" Arok berniat meninggalkan Yanis yang masih mengomel dan membela diri.

  Namun, saat melihat seutas senyum milik Nizar, kaki Arok seketika tak ingin berpindah. Sarafnya menginstruksi dengan segala gambaran satu tahun lalu. Faktanya, dia tidak kali ini bertemu dengan Nizar.  Pria itu pernah ia jumpai satu mobil dengan mantan kekasih temannya.

***
  "Maaf, sepertinya kita tidak bisa bersama lagi." Gadis itu membiarkan pria di depannya kehujanan.

   Dia tidak peduli sakit apa yang kelak menimpa kekasihnya. Wajahnya datar. Dia sama sekali tidak menyesal.

  "Kenapa harus begitu, Maira. Kamu hanya salah lihat. Wanita yang bersamaku semalam bukan siapa-siapa. Dia sepupu Arok. Kebetulan, rumah dia searah. Kamu tahu sendiri bukan, rumah A-"

  "Mas, bukan karena itu. Aku sudah tahu ceritanya, dan aku tidak mempersalahkan.  Tetapi, maaf. Sepertinya hubungan ini tidak bisa berlanjut." Maira. Wajah dia yang seputih susu, hanya tampak separuh. Bibir merah yang sensual, bisa saja mendatangkan ribuan mata, seandainya tempat terang yang ia pilih.

  Malam ini, perempuan itu kembali memenangkan kontes putri hijab yang diadakan salah satu perusahaan alat  kecantikan wanita. Mereka memutuskan untuk bertemu. Sehabis kompetisi, sayangnya, Maira meminta Lubab, menemuinya di lapangan kompleks perumahan.

  "Ada apa Maira? Beritahu aku dengan alasan yang logis." Lubab berniat menggenggam jemari wanita itu yang bergelayut di gagang payung, dan Maira seketika menepis mentah-mentah.

  "Mas, jangan berusaha mempertahankan. Kamu sendiri bukan, yang mensketsa kisah ini agar terlihat indah dan nyata. Kamu bersusah payah mencintai aku, berusaha meyakinkanku. Tetapi, aku belum bisa membuka hati untuk kamu."

   Wanita ini membuang payung tiba-tiba. Membiarkan titik-titik hujan membasahi dirinya. Ikut serta merasakan dinginnya bersentuhan dengan cairan langit itu.

  "Jadi,--"

  "Aku belum bisa membalas perasaan kamu, Mas. Aku nggak kuat hidup dengan pura-pura mencintai kamu." Maira memekik. Tangisnya juga pecah.

  Disana, mereka tidak berdua. Lebih dari empat mata yang mengetahui peristiwa memuakkan ini. Ada empat mata lain, yang sedari tadi hanya geleng-geleng kepala dan menepuk dada.

  "Pelan-pelan, Maira. Suatu saat, cinta itu pasti tumbuh. Uang, karir, mobil, atau apapun akan aku berikan. Jika--" Sejak tadi ucapannya selalu di sela Maira.

  "Mas, sudah. Jangan bersikap seperti ini lagi. Aku hanya ingin menjalani hidup tanpa perasaan bersalah. " Maira meraih tangan Lubab dan menggenggamnya.

  "Drama sekali. Aku bilang apa. Wanita itu tidak mencintai kamu, Lubab. Wanita itu hanya nebeng segalanya sama kamu. Beruntung dia mengakhiri sendiri." Di kursi kemudi, sepasang mata sipit menyumpah temannya. Dia sangat senang. Hubungan model telur dadar setengah matang itu akhirnya game over.

  "Alhamdulillah. Saran ku kamu pakai juga, Maira. Langkah yang tepat memutuskan pria tambun itu. Kalau boleh ku buat perbandingan, wajah dan postur tubuhku lebih baik dari Lubab." Congkak sekali penuturannya. Demikian, pria di kursi kemudi mobil Maira membanggakan dirinya.

  Dia menepuk setir karena senang, bergantian dengan mengarahkan spion ke wajahnya dan membentuk bayangan disana.

  ***
  Hujan membuat keduanya menggigil. Maira, Lubab dan dua temannya menikmati penganan tak jauh dari tempat tadi.

  "Makan yang banyak ya, Ra. Kamu nggak boleh sakit." Pria super percaya diri tadi menunjukkan perhatiannya.

  "Makasih, Mas." Maira bersikap sewajarnya.

   "Minum juga teh angetnya. Tubuh kamu biar cepat fit." Pria yang baik.

  Sampai dua pria di depannya tercengang. Bukan karena kagum, lebih tepatnya risih melihat sikap dia yang mirip playboy pelosok desa.

  "Iya, Mas. Terimakasih atas perhatiannya." Respon Maira nampak risih pula.

  Apalagi saat sepasang mata tak sengaja memperhatikannya. Sepasang mata yang membuat dia, berani mengucap rangkaian kalimat di tengah hujan tadi.

  "Perkenalkan, Arok. Teman Lubab. Sekaligus, senior Maira di kampus." Tanpa kode, Arok mengalihkan topik dari yang hening dan tidak berkelas tadi. Dia membuka jabat tangan untuk Nizar.

   "Nizar, teman Maira. Sopir pribadi juga." Salam pertemanan yang cukup bagus.

  Arok terkejut lagi. Maira benar-benar luar biasa memiliki sopir pribadi seperti dia.

  "Hanya sopir pribadi, Mas. Pertemanan kita juga nggak ada lebih-lebihnya." Timpal Maira setengah ketus.

***
   "Sopir pribadi? Begitu? Sekarang, alih profesi menjadi penyanyi?"

  Hidung Arok tidak sedang dimasuki bunga kenanga. Entah mengapa, dia ingin membuang senyum sombong untuk laki-laki kebanggaan Maeda.

  "Yanis."

  "Iya, Mas. Gimana? Urusan ganteng masih mending aku, bukan. Daripada dia?" Kapasitas otak Yanis tidak lebih dari setengah kilobyte.

  "Jaga Maeda baik-baik. Di usia ini, dia masih saja mudah diperbudak cinta." Arok meninju lengan kanan Yanis, lalu begitu saja pergi.

***
Assalamualaikum
Semoga sehat selalu
Readers, baca vote dan komentar ya
Terimakasih.

Jang Mi
Rabu, 08 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang