"Astaghfirullah, astaghfirullah. Ya Allah." Tangan kanan Maeda masih menarik gas standar. Sejadinya, motor melaju dengan kecepatan sedang.
Setelah menyaksikan kejadian memukau di salah satu gerai alat musik tadi, Maeda hanya berdecak heran, sesekali tergelak tak percaya.
"Aku baru 2 hari tidak keluar rumah. Hidup ini kian menarik saja. Apa yang sebenarnya terjadi?" Maeda menyalakan lampu reting ke arah kiri, karena gerbang kampus hendak ia masuki.
"Sudah, sudah. Tenangkan dirimu. Jangan pedulikan mereka. Kamu makan ya nggak dibelikan mereka. Kamu minum ya nggak di kasih mereka." Maeda masih saja membuat peringatan untuk dirinya sendiri. Tanpa mengindahkan suasana kampus yang cukup ramai.
Minggu depan, event modelling dan hijab akan di helat di fakultas ekonomi. Pesertanya mencapai ratusan, dan acaranya di mulai dari jam 1 siang di gedung serbaguna kampus.
"Model, hijab, stylish? Ahahaha, astaghfirullah. Dunia hanya melulu membicarakan itu." Di ambang parkiran fakultas saintek pun, dia masih menyebut deretan berbau modelling. Bukan karena acara di kampus minggu depan.
Tetapi, dia membenci Maira dan juga Hani, yang keduanya harus berhadapan di hidupnya. Maira yang hidup di sekitar Nizar, serta Hani adik Arok yang sama saja dengan kandidat kuat saingannya.
Ketika Maeda hendak melepas helm dari kepalanya, salah satu temannya yang juga bimbingan Pak Nawawi berlari ke arahnya.
"Ada apa, Tania. Kok buru-buru gitu? Pakai lari pula?" Helm itu berada di tengah-tengah kepalanya. Antara mau lepas, atau dikenakannya kembali.
"Mae, bisa anterin aku ke toko kue nggak? Penting." Tania merapatkan kedua telapak tangan, membentuk sebuah permohonan maaf.
"Ngapain, Tania? Aku harus menemui Pak Nawawi. Udah telat 15 menit, nih." Maeda mengangkat pergelangan tangannya, agar dia bisa melihat waktu merotasi.
"Ini penting, karena beliau yang memintaku untuk membeli kue." Tania menjelaskan." Hari ini, istri beliau ulang tahun, dan beliau bilang, nanti akan kemari bersama anaknya." Lanjutnya berbisik.
Maeda kembali memasukkan kepalanya ke dalam helm. Dia berseri-seri, bukan karena bimbingannya diundur, tetapi pria sekelas Pak Nawawi, baru ditemuinya se romantis sekarang.
Pak Nawawi bukan dosen killer sebenarnya. Pria itu hanya disiplin dan sistematis.
"Kita beli dimana?" Maeda menanyai Tania yang memicingkan mata. Terik matahari di hari ini, tak pantang-pantang.
"Dimana, ya?" Tania masih menimbang-nimbang.
"Cepet dikit, Tan." Pinta Maeda, sebelum ponselnya berdering.
Hari ini, dia tak ingin mengulangi aksi senyapnya seperti yang dilakukannya 3 hari yang lalu.
Mas Arok nya yang sudah berangkat sedari tadi, ada apa membuat panggilan untuknya?
"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" Maeda ikut memicingkan mata, saking panasnya.
"Maeda, kamu dimana?" Tanya Arok sembari mengemudikan mobilnya.
"Aku di kampus, Mas. Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Maeda balik bertanya, barangkali ada kejadian yang tidak diinginkan.
"Baik-baik saja kok. Ini masih perjalanan sampai di Bangil." Arok justru menjelaskan pertanyaaan Maeda.
"Kebetulan sekali kalau begitu. Kamu mampir ke toko kue Anggara ya. Aku lupa ambil pesanan kue, ku." Ujar Arok selanjutnya.
"Toko kue Anggara, dekat lampu merah, kan? Toko kue kekinian itu kan?" Maeda membuat deskripsi, dan di seberang segera mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...