Kepercayaan Yang Memudar

421 55 127
                                    

  "Sudah, nggak perlu diparkir. Mending kamu masuk dan istirahat." Setibanya di kos, Maeda dengan muka masamnya meminta Nizar turun dari motornya.

  "Mae, masih marah ya sama aku?" Nizar bukan bocah TK yang menurut dengan perintahnya.

   "Nggak kok. Udahlah, kamu mending masuk dan istirahat. Nggak risih, lihat pakaian dan tubuh basah kuyup?" Maeda melipat tangan, bicaranya masih sebal.

  "Mae, kamu ada apa sih? Jangan sensitif, begitulah. Nanti nggak cantik lagi, loh." Nizar berusaha melonggarkan suasana yang se kaku baja bangunan.

  "Nizar, mending kamu masuk ke rumah. Sebelum Mbak Inayah, Pak Ikhya' dan anak-anak kos tau kalau kita berdua kehujanan." Maeda tak mengindahkan kalimat manis bualan Nizar.

    Sejak kapan, Nizar memuji dia cantik, kalau tidak sedang ada maunya.

  "Biar saja semua orang tau, Mae. Toh kita berdua memang kehujanan. Kita memang pulang berdua, berboncengan dan basah kuyup. Apa susahnya buat mengatakan kebenaran. Toh kita juga nggak ngapa-ngapain." Nizar menyeru dengan menggebu-gebu. Hatinya mungkin jengkel dengan sensitifnya Maeda.

   Wanita itu terkesiap, menatap Nizar baik-baik. Mengoreksi, sejak kapan dia memiliki kalimat cukup tegas seperti itu. Selama dua bulan ini, mereka hanya berhuru hara dan Nizar enggan berkomentar, apalagi membela Maeda di depan orang banyak.

   "Mending kamu masuk. Ini sudah malam. Ganti baju, terus istirahat." Suaranya pelan. Maeda menginstruksi dan Nizar mengangguk mantap.

   "Kamu juga masuk, Mae. Mandi air hangat dulu, terus istirahat." Sama-sama mengingatkan, membuat Maeda tersenyum kembali.

   Dia paling senang diperhatikan pria. Bisa dikatakan, Nizar yang paling berhasil membuat jantungnya kembali berdebar.

  "Gitu, dong. Kamu kalau senyum, manis loh, Mae. Aku nggak bohong, beneran."
Bualan apalagi, Zar, yang kamu ucapkan. Semoga kamu mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.

  Putus asa dan kepercayaan yang sempat memudar, seketika berevolusi seperti sedia kala. Utuh dan tak lagi berfragmentasi.

  " Kamu masuk, saja. Biar aku yang markirin motornya." Nizar belum beranjak. Dia bermaksud agar Maeda mendahuluinya dan pria sudah sewajarnya belakangan dan mengalah.

   "Hati masih saja berbolak-balik. Hentikan Ya Allah, Hentikan. Aku tidak ingin, Mas Ikhya' menyebutku pria bimbang." Setelah Maeda benar-benar tak terlihat, Nizar menyumpah keadaan yang sedang menimpa dirinya sekarang.

  Nizar memang tampan. Tetapi kalau boleh jujur, baru pertama kali ini dia merasakan guncangan cinta yang amat dahsyat. Dia mengaku cupu dan kuper dalam menghadapi pasangan. Setidaknya, bersikap manis, memanjakan mereka adalah cara tepat agar dia tak lagi kaku di mata para wanita.

***
   Maeda mengedipkan mata berulang kali. Mahasiswa Basi sepertinya, bangun jam 10 siang tak ada teguran keras dari kampus maupun dosen pengampunya. Di semester 7, hanya ada skripsi dan 2 mata kuliah tambahan dengan bobot masing-masing 3 SKS.

   "Mae, kepala kamu pusing, nggak?" Fardah menempelkan kain tipis di kening Maeda. Keluarga terbaik di perantauan.

   "Agak, Far. Cukup berat kalau dibuat bangun." Maeda ingin mengangkat kepala untuk berbaring, tetapi Fardah mencegahnya.

   "Kamu istirahat saja, ya. Kamu sakit, Mae. Badan kamu menggigil dari semalam." Fardah memegangi pundak Maeda, dan mendorong agar Maeda terlentang saja.

    "Semalam darimana? Aku bangun, tau tau kamu, merintih, menyebut kata pembohong, pembohong berulang kali." Fardah mengetahuinya pukul 2 pagi, saat hendak menunaikan tahajjud.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang