Keputusan

450 49 143
                                    

  Rangakaian kata menohok. Maira seketika tertawa keras mendengar pengakuan Arok yang sulit diterima kepala. Dia dibilang wanita cantik yang mentang-mentang, Nizar yang dulu menyimpan rasa untuknya dan sekarang beralih kepada Maeda. Serta Maeda yang cukup terus terang mengungkapkan perasaannya.
 
  Jadi, bila ditarik kesimpulan. Siapakah yang sama sekali tidak diuntungkan? Logika saja, Maira tidak akan dipilih ketiga orang itu. Alasannya pun macam-macam.

  Arok sudah sangat benci Maira, lantaran memutuskan cinta Lubab demi menggilainya. Nizar kedekatannya masih tetap sama, tetapi dia tidak lagi menyukai Maira. Sementara Maeda, dia putri buruh cuci dan setrika yang pernah mengabdi dirumahnya, tetapi kondisinya sekarang mampu membalikkan keadaan Maira.

  "Sekarang, kita harus membuatnya jelas. Kita harus membuat keputusan." Arok secara tidak langsung telah menjadi komando arah pembicaraan mereka.

  "Mas Arok," Maeda memperingatkan kembali.

  "Ada apa, Mae. Bukankah ini yang kamu inginkan?" Arok tersenyum, sembari merentangkan tangannya. Dalam sekejap semua orang bisa menganggapnya lucifer.

"Kok aku? Aku nggak pernah minta Mas. Dan, bagaimana bisa kamu menjabarkan sedetail tadi?" Maeda tidak terima bila dirinyalah alasan Arok mengungkap kebenaran dibalik circle pertemanan mereka.

  "Kamu belum didaulat menjadi Sarjana Science, jadi lebih baik jangan banyak tanya, Mae." Bahkan kali ini senyum seringainya membuat ketiga orang itu geleng-geleng kepala. Arok, mengapa kamu bersikap seperti ini?

  "Ayo, dimulai dari kamu, Nizar." Arok hanya ingin semua ini selesai. Demi Maeda, demi Nizar dan juga demi Maira.

"Aku harus bagaimana, kamu jangan seenaknya berkata, Mas. Aku tahu usia kita memang dibawah mu, tapi tolong hargai privasi kami." Nizar setelah sekian lama bungkam akhirnya melayangkan protes.

  "Privasi kamu bilang? Okey, aku menghargai. Tapi jangan sampai hubungan kalian yang tidak jelas ini menyebabkan orang lain ikut merugi." Mas Arok tidak mengomel, dia hanya mengajarkan agar mereka sadar. Usia mereka bukan lagi di akhir SMA.

  Arok mencebikkan bibir, menyerongkan kaki dan pergi.

  "Apa benar, kamu menaruh perasaan buat aku?" Arok belum sepenuhnya duduk, Nizar sudah mengambil sikap.

  Yang bersangkutan mengangguk mantap."Sampai sekarang, Mae?" Lebih mending bukan kalau dipastikan.

  "Sudah nggak, Zar. Maaf. Aku memang pernah menyukai kamu, menaruh hati buat kamu. Tapi maaf, sekarang sudah nggak." Maeda melangkah mundur, membuat mereka agar berjarak lebih jauh.
 
  "Kenapa? Tolong beri aku jawaban yang jelas. Apa kamu tidak dengar, ucapan Mas Arok tadi?" Nizar mengejar langkah Maeda.

   Biar bagaimanapun memang tidak enak berstatus mengambang seperti sekarang.
 
  "Mas Nizar, kamu yang benar itu bagaimana sih. Kamu sungguh mengenaskan, Mas. Jadi, kedekatan kita selama ini, perlakuan aku ke kamu" Maira juga dibuat dilema.

  "Zar, realistis sajalah. Kamu pilih Maeda apa Maira? Biarpun perasaan kamu telah mati, tapi Maira sudah berusaha buat kamu. Sedangkan Maeda?" Arok seperti katalis cinta yang memberi nasehat kepada clien nya.

  Hubungan serumit benang pintal memang berawal dari Nizar yang gemar memberi perasaan nyaman kepada semua wanita. Nizar sosok yang cupu, hingga perlakuan antara teman, sahabat dan wanita yang disukainya di samaratakan.

  "Zar, aku sekarang pindah kos, karena udah nggak tahan lihat sikap kamu." Maeda sudah berniat melupakan Nizar, bagaimanapun usaha pria itu untuk kembali mendekat, Maeda harus sadar.

  "Aku ingin menenangkan diri sejenak, agar perasaanku nggak dicampuri orang-orang seperti kamu, Maira, bahkan Mas Arok, ataupun orang yang seenaknya bicara."

  Semoga Maeda istiqomah. Kini, tidak ada lagi yang perlu disembunyikan, tidak ada lagi yang menjadi hambatan, Maeda harus berbenah. Fardah, Mbak Zakiyah, Yanis, semuanya tak sia-sia meminta dia menjauhi Nizar.

  "Intinya, jangan memperlakukanku layaknya aku ini kekasihmu, Zar. Bersikaplah biasa. Maaf, aku teramat rapuh, sehingga cinta dengan mudah menyelinap masuk dan menuntut aku sebagai budaknya." Maeda mengepalkan tangan di samping tubuhnya.

  Tubuhnya sudah gemetar sejak tadi. Tetapi dia menahannya. Ini demi dirinya. Mas Arok benar, masalah hati yang sepele kalau di diamkan bisa menjadi bobrok yang merugikan banyak pihak.

  "Berkencanlah dengan Maira. Kamu pernah bilang bukan, kalau dia wanita yang kamu idamkan." Maeda meraih pergelangan tangan Nizar dan menarik tubuh tingginya.

  "Mae, aku nggak mau. Lebih baik kita ngomong. Bertiga nggak masalah, asal Mas Arok nggak ada." Dalam hal alasan Nizar memang memiliki segala macam pengalihan.

  "Udah, nggak ada lagi yang diomongkan." Maeda membuang begitu saja tangan Nizar. Kemudian mengonfirmasi kepada Arok, untuk melanjutkan tujuan awal mereka ke kampus.

  ***
  "Kamu baru saja ditolak, Mas. Gimana rasanya? Sakit bukan?" Maira tidak memaki Nizar. Hijabers top kampus masih ingin membuktikan kalau cinta dia tak lagi diragukan.

"Mbak Maeda benar-benar beruntung." Maira kembali duduk dan mengaduk bubur dengan rasa yang jelas berbeda. Angin membuatnya tak se lezat tadi.

  "Maksud kamu?" Nizar belum ingin menghampiri Maira.

  "Duduk yuk. Dua manusia tadi, sudah membuatmu berkeringat."

   Mungkin lain kali, dia akan membujuk Maeda untuk bicara. Wanita itu sudah menolaknya, dia juga menegaskan tidak ingin diperlakukan Nizar seperti biasanya.
Hutang 1 juta 500, bukankah amunisi yang tepat untuk mengajak Maeda bertatap muka?

  "Baiklah, ku akui. Aku dulu menerima Mas Lubab, karena ingin mendekati Mas Arok. "Seusai Nizar duduk disampingnya seperti semula, Maira mulai menyajikan materi.

   Semesta punya cara sendiri untuk menghubungkan mereka." Siapa yang tidak tahu Mas Arok. Primadona wanita di kampus ini. Tapi yang buatku tidak habis pikir, ternyata Mbak Maeda bisa sedekat itu dengan dia."

  "Ini pengakuanku bila sebagai laki-laki lain, Maeda memang baik anaknya, sederhana dan apa adanya. Sekalipun ada sifatnya yang paling aku benci, " Nizar cukup detail mendeskripsikan, hingga Maira kembali terhempas dari tempat tidurnya.

  Sakit.

"Mbak Maeda memang wanita yang baik. Tapi, ya namanya penilaian orang beda-beda. Aku kurang suka dengan dia. Baik dari tampilan, maupun dari sikap saat dia dekat dengan kamu atau Mas Arok." Bubur yang rasanya tidak lagi satu rasa, masih saja diaduk Maira.

  Dia tidak sedang ditolak. Dia hanya sedih melihat kondisinya yang tak sebaik perkiraannya. Cantik dan centil, memang kerap kali ia jadikan sebagai alat pamungkas agar yang dia inginkan dapat tercapai. Karena menjadi yang tidak diinginkan dalam suatu lingkungan, membuat Maira berubah seperti sekarang.

  "Kita sama-sama sudah pernah ditolak dua orang itu. Apa susahnya sih Mas, kalau kita jadian. Toh, kamu juga pernah ada rasa sama aku, kan?"

  Nizar mengamati kesungguhan Maira berucap. Iya, Nizar mengaku pernah menggilai wanita itu saat Maeda belum datang ke hidupnya. Saat Maira masih mencintai Arok. Tetapi, apa bisa hati yang terlanjur jatuh dan tertambat untuk orang lain, dipaksa kembali, lalu diminta menemui perasaan wanita ini.

***
Assalamualaikum
Alhamdulillah, lega nih
Setelah satu hari berkutat pada berbagai novel
Maeda dan kawan2 bisa dijadikan sajian bacaan menuju sahur

Selamat membaca

Jang Mi
Jum'at, 24 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang