Sepotong Rasa

417 59 73
                                    

   "Kalau masalah sifat, menurut aku, baik kok anaknya, terus sopan gitu, nunjukin banget kalau dia anak pesantren." Ba'da maghrib tepat Haikal sudah menikmati kopi keduanya di rumah Arok.

  "Kamu pernah ngobrol sama dia? Terus, sifatnya sama Maira bagaimana?" Arok bisa mendadak alih profesi jadi wartawan, sayangnya blocknote dan piranti yang lain tak menunjang.

  "Seharusnya Mas Arok menanyakan ini sejak tadi." Haikal menyambut pertanyaan dengan antusias. Seperti jawaban yang nanti akan dibeberkan tak kalah menarik.

  "Ya perhatian banget lah, Mas. Secara, mereka berdua, kan dekat menyaingi perangko. Bisa dibilang hampir menjadi kekasih."

   "Pihak perempuan?"

   "Sama-sama perhatiannya. Lebih malah. Maira memberikan segala-galanya untuk Nizar. Asalkan pria itu selalu bersamanya." Haikal hanya mahasiswa jurusan sastra inggris yang tak pandai menerangkan.

  "Maksud kamu?" Arok mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan arah bicara Haikal.

  "Maira menaruh hati sama dia. Satu jurusan tahu loh, kalau sekarang dia sedang gencar melakukan pendekatan ke Nizar." Haikal membuka bungkus kotak kecil, disana terlihat beberapa batang warna putih silindris. Haikal tanpa rokok, bahasan yang dibicarakan tak lagi berasa senikmat masakan ibunya.

  "Jangan ngarang kamu, Kal. Sekarang sedang trend kabar burung bertebaran." Arok tak percaya begitu saja. Juniornya di redaksi, sering ditemuinya meracik pembicaraan yang tak benar, sekalipun untuk hiburan semata.

  "Memang, ku akui perbuatanku di basecamp selalu membuat anak-anak geram. Mas Arok yang budiman, kabarku yang satu ini tidak melantur." Tegas Haikal sekaligus kepulan nikotin itu terbuang dan melayang.

  "Baiklah. Ku hargai pendapatmu. Silahkan dilanjut." Arok mengedikkan bahu. Kemudian, diambilnya satu batang rokok dan menyatu lah dua pria perokok addict itu.

  "Mas, ini yang ku lihat dan yang ku dengar. Nizar, bisa jadi pengiring musik di kafe itu karena rekomendasi Maira." Rokok tanpa Kopi, Haikal pernah merasakannya seperti menyesap air lautan di tengah kemarau panjang.

  Dia menyesap sebentar."Terus, setiap bulan, wanita itu selalu memberinya semacam uang jajan lebih dari 2 juta."

  "Kamu jangan ngarang!" Arok mewanti-wanti. Telunjuknya menuding tepat ke wajah Haikal.

  "Terserah kalau kamu masih nggak percaya. Fakta sudah bicara kok." Haikal mempertahankan argumen yang dirasa valid.

  "Yasudah, silahkan dilanjutkan." Pria di sampingnya menyerah. Minim info, tidak ada amunisi  yang bisa diandalkan.

  "Sayangnya Nizar tidak membalas perasaan Maira. Padahal, desas desus mengatakan dialah penyebab kehancuran hubungan Maira dan Lubab." Bibir Haikal tidak gatal, telunjuknya sibuk menggosok permukaannya.

***
  Aku belum bisa membalas perasaan kamu, Mas. Aku nggak kuat hidup dengan pura-pura mencintai kamu.

Sayangnya Nizar tidak membalas perasaan Maira. Padahal, desas desus mengatakan dialah penyebab kehancuran hubungan Maira dan Lubab.

Makan yang banyak ya, Ra. Kamu nggak boleh sakit.

Kalimat itu tidak diundang, sudah terangkai sendiri dengan runtut. Maira memutuskan Lubab, memang karena dia tidak cinta. Tetapi, bukan juga karena Nizar yang mencintainya.

Dan sekarang wanita itu berbalik mencintai Nizar, disaat si pria tak membalas perasaannya.

Mas, apa kamu tau? Alasan aku memutuskan Mas Lubab sebenarnya?

Mas, demi kamu, aku rela menerima cinta Mas Lubab. Demi kamu, aku rela bertahan dengan orang yang sama sekali tidak ku cintai. Sekarang, aku sudah tidak memiliki hubungan dengan pria itu. Jadi, ku mohon gantikan dia untuk melengkapi ku.

Rokok di jemari Arok, belum seperempat habis, namun dia memilih untuk memadamkannya.

"Perokok addict perlahan insaf, nih." Intermezzo. setelah perbincangan panjang mereka yang condong pada gunjingan.

"Haikal, terima kasih, ya. Sudah bersedia memenuhi panggilanku." Arok menatap sebentar juniornya, kemudian melarikan pandangan ke kolam ikan yang gelombangnya terpantul lampu taman.

"Sama-sama, Mas. Tetapi, tumben sekali kamu membahas soal Maira. Sebenarnya ada apa?" Belum terlambat. Haikal berhak tahu maksud Arok menanyakan perihal wanita itu.

Mustahil, bila seniornya sekedar ingin tau, tanpa ada maksud tersembunyi di belakangnya.

"Aku hanya berusaha melindungi temanku dari laki-laki bernama Nizar." Dia bukan macam orang yang berbelit-belit. Tidak ada salahnya, Arok mengatakan kebenarannya.

"Melindungi teman kamu? Ya Allah Ya Karim, mulia sekali Mas i'tikad kamu." Haikal ikut mematikan gulungan tembakau. Dia terperanjat dan kagum.

"Nizar laki-laki yang baik. Nizar yang tidak membalas cinta, Maira. Tetapi, Yanis bilang kalau wanita itu setengah waras karena Nizar. Kau begitu beruntung, Nizar." Premis hidup yang rumit. Arok menarik nafas lalu membuangnya.

Dia menengadah, mengamati atap rumah, wajah Haikal yang meringis dan gelombang kolam ikan yang terpantul cahaya. Seperti itu. Berulang kali.

Sejak dia kembali bertatapan mata dengan Maeda, segalanya terkuak dan dianggapnya merepotkan. Jika memang, dia masih memperjuangkan cintanya untuk wanita random jurusan biologi itu, maka dengan caranya, Arok akan membuat Maeda teralih dari Nizar dan berjalan kepadanya.

"Nizar memang tampan, Mas. Aku sebagai laki-laki mengakuinya. Tetapi, bila perbandingannya kamu, Maira tentu saja akan lekas meninggalkan pria itu." Mood booster, Haikal memang selalu yang terbaik di bidangnya.

"Kamu bisa pulang, kal. Terimakasih banyak."

***
"Permainan gitar kamu memang bagus, Mas. Subhanallah, bolehkan aku mendaftar sebagai siswa kamu."

Jalanan cukup lengang. Wanita yang duduk di samping kemudi, masih berceloteh, sejak bangunan kafe ia tinggalkan se jam yang lalu.

Lawan bicaranya, hanya tersenyum. Pandangannya terarah pada lalu lintas malam. Dia harus sampai di rumah sebelum pukul 1. Setelah ini, tuan putri disampingnya harus ia antarkan dengan selamat sampai tujuan.

"Mas Nizar ada apa? Kok diam saja dari tadi. Marah ya, sama aku?" Wanita tadi merasa diabaikan, satu pertanyaan, kembali ia lemparkan sebagai umpan.

"Enggak, Ra. Aku hanya fokus saja jadi sopir." Nizar merespon cekak. Selain ingin bekerja dengan hati dan sungguh-sungguh,    ada alasan lain yang membuatnya ingin cepat-cepat pulang.

60 km/jam, persepsi anak sekolah dasar sudah sangat fantastis dengan angka kecepatan itu. Berbeda dengan Nizar yang kemudian menaikkannya menjadi 70 km/jam. Dia ingin segera mengantar mobil bersama tuannya, lalu menemui seseorang yang sudah menunggu di sekitaran kompleks rumah Maira.

"Beneran kamu ngantar aku sampai rumah?" Pertanyaan selanjutnya dari Maira dengan jawaban anggukan kepala.

"Terus, kamu pulang ke rumah bagaimana? Rumah kamu jauh loh. Apa mending, kamu turun dekat kampus?" Hijabers itu selain cari perhatian juga tidak enak bila membiarkan mulutnya diam.

"Seseorang udah menjemputku, Ra. Kamu tenang saja." Nizar menoleh sebentar, mengulum senyum, berusaha membuat Maira agar tidak lagi banyak bicara.

"Pak ojek?"

"Bukan. Teman aku."

"Namanya siapa? Cewek atau cowok?"

"Siapa ya? Hmmmm, sudahlah lain kali saja aku kenalkan. "

"Iya. Cewek atau cowok? Apa susahnya jawab, Mas. Itu satu kata lima huruf doang, loh."

"Cewek."

Maira menepuk kedua pipinya serentak. Sakit ternyata. Timbul suara juga. Di mobil mewah miliknya itu, tidak mungkin, ada seekor nyamuk yang hinggap dan membuat dia ingin menumpasnya.

****
Assalamualaikum
Alhamdulillah, ane kembali readers.
Semoga kalian suka ya dengan kelanjutan cerita ini.

Jang Mi
Jum'at, 10 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang