Bertemu

333 48 142
                                    

   Nizar menjajarkan rupiah warna merah layaknya saudagar arabia. Memang tidak banyak keuntungan yang dia dapatkan dari usaha patungan konveksi ini.

   Baru saja dia menyerahkan pesanan cliennya yang tempo hari Maeda diajak untuk menemuinya di kafe.

   Dua juta sembilan ratus, bagi Nizar bukan nominal sedikit. Mengingat pendapatannya tak menentu, serta sebelumnya dia tak pernah menggenggam uang sebanyak itu.

   Cepat-cepat Nizar membuka jendela kamarnya dan berteriak menyebut nama Pisang Ijo.

   "Pisang ijo?"

    Semua orang tidak mengerti nama panggilan itu milik siapa. Beberapa pernah mendengar dari lisan Nizar, tetapi jika tidak berkesan mustahil terus terngiang di ingatan.

    Fardah mengenakan handuk ke kepalanya untuk memastikan tujuan Nizar menyebut kata itu ke kamarnya.

   "Kamu manggil aku kayak gitu tadi, nggak salah?"

    Nizar seketika sadar. Maeda sudah bukan penghuni kamar itu lagi. Tetapi, tak lama wajah gadis yang dia panggil muncul dari belakang.

    "Maeda,"

     Kepala yang lain ikut melihat pemilik nama yang barusan Nizar sebut.

     "Pisang ijo?" Ulang Maeda dengan wajah bingungnya. Layaknya orang amnesia, Maeda berkali-kali mengingat nama itu. "Pisang ijo?"

    "Mae. Kamu kenapa sih? Sejak aku opname di rumah sakit, kamu jadi kayak gitu ke aku."Respon Nizar dongkol. Karena sampai sekarang, dia masih tidak mengerti dengan sifat Maeda yang serba abstrak.

    "Aku berubah kamu bilang? Emang wujud apa yang sekarang kamu lihat?" Seringaian kecil tidak buruk bukan, untuk membalas pria yang kapasitas otaknya under megabyte?

    "Mae, aku pergi cari makan dulu, ya. Silahkan kalian menyelesaikan urusan yang kurasa,----- sepele sih." Fardah mengkedikkan bahu dan berlalu begitu saja menyisakan mereka yang masih bertatap muka di jendela masing-masing.

   "Kamu kenapa sih, Mae? Sejak kamu njenguk aku di rumah sakit, terus tadi pagi. Omongan kamu ketus banget ke aku." Nizar masih kurang puas dengan perkataan Maeda tadi pagi.

   "Aku pengennya sekarang kita ngomong baik-baik. Oke, kalau memang kamu nggak mau lagi kita dekat lagi. Tapi tolong, kasih tau aku alasannya."

   Bagaimana bila seseorang yang melintasi celah gedung itu di bawah, tiba-tiba berhenti dan ikut menyimak?

   "Tanyakan saja pada Bu Sofiyah alasan untuk melarang kita berteman, dan perlu kamu ingat, memang sebaiknya diantara kita berteman tidak teramat akrab."

   Maeda membuat perhitungan yang membuat Nizar membelalakkan mata.

   "Ibu ngomong apa saja, Mae?"

   "Bodoh amatlah. Jangan sok ingin tahu. Lagian, aku juga nggak mau, kalau perasaanku mendadak nggak bisa bedain mana cinta dan persahabatan." Maeda merasa tidak perlu ada yang dijelaskan lagi.

   Niatnya ingin sejenak mampir ke rumah kos Mbak Inayah sambil mengambil motor. Nizar malah membuatnya tak jadi rebahan walau sejenak.

   "Mae, apa kamu nggak dengar, kalau sekarang aku ada feel sama kamu?"

   "Memang itu penting? Feel jangan diungkapkan melalui lisan. Kalau memang kamu beneran suka ke aku, silahkan tinggalkan Maira."

   Dak!

   Jendela itu ditutup Maeda dengan keras. Dia tidak ingin berlama-lama terlarut dalam perasaan yang menyesakkan. Masih sakit memang, tapi siapa lagi kalau bukan dia sendiri yang bisa merubah keadaan.

  Maeda mengenakan jaket, sarung tangan dan masker. Di garasi motor kos, mesin motornya sudah dipanasi sejak 15 menit yang lalu.

  Dia ingin cepat singgah di rumah pinjaman milik Arok. Maeda berjanji akan mengantar pria itu nanti malam untuk menjemput adiknya dari Bandung.

   "Far, kunci kamar seperti biasa ya. Ingatkan?" Maeda meletakkan kunci kamar ke tempat sabun Fardah, yang sedari dulu ditempatkan di depan kamar.

   ***
   Maeda mempercepat langkah, saat suara knalpot motornya tidak terdengar. Dia yakin pintu gerbang kos tertutup dengan rapat, dan suara penghuni lain di teras yang sedang cekikikan masih terdengar sejak kedatangannya tadi.

  Maling?

  Ngeek, Grek!

  Maeda bersyukur setelah pintu menuju tempat parkir dilewatinya. Motor dia masih ada, hanya saja ada seseorang yang sengaja menarik kunci dari kontak hingga deru nya berhenti.

  "Kamu boleh saja marah, nggak nganggap aku teman kamu lagi. Tapi, kita harus ngobrol, Mae." Belum lima menit mereka bercuap-cuap di jendela kamar, Nizar kembali mengejutkannya.

   Tanpa diperintah dan bertanya, Nizar seketika menarik tangan Maeda dan membawanya pergi. Dia tidak peduli wanita itu meronta, Nizar teramat konsentrasi sampai tidak mengetahui penghuni kos yang duduk di teras terlongo-longo.

   "Lepasin aku, Nizar. Tanganku sakit!" Maeda berusaha melepas cengkeraman tangan itu, tetapi Nizar tak mengindahkannya.

   "Apa kamu bisa merasakan gimana saat orang lain membuatmu penasaran? Aku hanya ingin berbicara dengan kamu, Mae." Nizar sengaja menyeret Maeda ke kamarnya.

   Fitnah, olokan, cacian, melanggar batas norma, Nizar buta akan semua itu. Nizar hanya ingin dia dan Maeda bisa berbicara dalam keadaan hening.

   Tentu saja Maeda terkejut mengetahui tempat tujuan Nizar membawanya. Di ruangan yang tidak begitu luas, dia bisa melihat dinding-dinding bercat hijau muda, dengan almari dan tempat tidur di sudut ruangan yang berjajar.

   "Kamu wanita pertama yang kubawa ke kamarku, Mae."

   "Laki-laki egois. Lepasin tangan aku Nizar!" Bentak Maeda dan seketika cengekaraman tangan Nizar longgar.

   "Kamu nggak malu, ya. Sama status kamu yang alumni pesantren? Apa kamu nggak sadar, perbuatan kamu ini sudah termasuk dosa?" Maeda naik pitam. Dia bukan wanita pesantren yang alim, tetapi jemari wanita itu mendadak gemetar.

   "Aku dosa apa, Mae? Aku hanya ingin kamu bicara baik-baik. Apa itu dosa?" Telunjuk Nizar sampai menodong tepat di mata kanan Maeda. Nizar rupanya juga berang.

    "Aku akan ngomong baik-baik, asal jangan disini! Aku nggak ingin namaku rusuh, sekalipun aku bukan lagi penghuni kamar kos ini." Maeda membuat perhitungan dan melangkahkan kaki ke balkon depan kamar Nizar.

   ***

  "Tolong ceritakan, apa saja yang telah ibuku katakan?" Nizar bahkan menarik kursi yang semula terhalang oleh meja agar bisa menanyai Maeda dengan baik.
  
  Nizar hanya takut, wanita itu akan melarikan diri lagi.
  
  "Kalau kamu seperti ini, Maira akan mengatasnamakan hatinya untuk mengejar kamu. Bahkan wanita manapun, seketika pipinya merona merah." Maeda berusaha tenang, dia berusaha mengatur keringatnya yang mulai muncul ke permukaan.
 
  "Jadilah laki-laki yang tegas, bila kamu menginginkan cinta sejati." Maeda menuturkan layaknya dia sudah berpengalaman berulang kali.

  "Aku kurang tegas ya? Oke, aku harus bagaimana? Memilih satu orang gitu, sementara yang lain aku tinggal?" Jiwa Nizar masih belum mampu mengontrol emosinya. Dia teramat berapi-api.

  "Aku belum mampu meninggalkan Maira, karena dia telah membantuku banyak." Dia masih mengimbuh.

  "Kalau seperti itu, batasi saja pertemanan kamu dengan dia. Aku nggak suka saja, bila kelak kamu jadian sama dia."

  Kalau saja kepala manusia bisa di bongkar pasang, maka saat ini juga Maeda ingin melakukannya. Maeda sampai memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia harus sabar. Dia ingin semuanya benar-benar selesai.

***
Assalamualaikum
Alhamdulillah
Bisa update
Kuy, baca, kasih bintang dan tinggalkan komentar kalian ya readers.

Jang Mi
Senin, 27 April 2020
  
   

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang