Penasaran

505 69 105
                                    

Pluk!
Nizar melempar biji kedelai ke jendela kaca kamar Maeda.

Pluk!
Belum ada sahutan dari jendela yang tertutup tirai, namun lampu kamarnya menyala.

Pluk!
Dia masih mencoba. Barangkali Maeda sedang sibuk atau tidak mendengar suara lemparan biji kedelai darinya.

Pluk!
Nizar telah melakukan kekerasan kecil, saat suara mengaduh terdengar, setelah biji kedelai mendarat di kening seorang perempuan.

"Astaghfirullah, kenapa kamu main lempar-lempar biji kedelai, Zar?"Wanita bersetelan baby doll dengan kerudung yang diikat sembarangan, membuat Nizar tidak berubah ekspresi. Datar setengah ditekuk. Mirip belokan, tapi masih parah mukanya Nizar.

"Eh, maaf. Maaf banget, Far." Nizar meringis, kemudian meraih ujung jendela, berniat menutupnya.

"Kamu mencari Maeda?" Fardah melipat lengan. Di seberang berhenti sebentar, kemudian mengembalikan jendela agar terbuka.

"Iya. Aku mencari Maeda." Beruntung tubuhnya tinggi, dengan dua kali edaran mata, Nizar dapat menyimpulkan bahwa pisang ijo nya tidak ada di kamar.

"Maeda belum pulang, Zar. Nggak tau kemana? Aku juga nyari. WA nya hanya centang satu." Fardah tidak pernah terlibat obrolan panjang dengan Nizar sebelumnya.

"Jadi, dia belum pulang, ya. Yasudah, kalau begitu, terimakasih, Far." Nizar menampakkan gurat-gurat lesu.

Dia kembali ingin menutup jendela, tetapi suara Fardah menahannya.

"Zar, kalau boleh aku tanya,"

"Iya, Far. Ada apa? Silahkan." Tidak teramat buruk menanggapi pertanyaan Fardah. Barangkali tak lama dari itu, Maeda sudah ditemuinya.

"Tapi, sebelumnya jangan tersinggung, ya. Aku hanya penasaran, sebenarnya, hubungan kamu dan Maeda itu gimana, sih?" Menopang dagu dengan memandang raut wajah Nizar yang menawan memang sangat menyenangkan. Pantas saja Maeda sampai tergila-gila olehnya.

Senyum manis disusul lesung pipi Nizar terbit." Hubungan? Wah, seperti aku dan dia memiliki keintiman yang lebih dari teman saja."

Fardah ikut tersenyum, tetapi di hatinya timbul berbagai hipotesa yang sudah ia yakini bernilai benar. Maeda yang memang teramat mengambil hati, Maeda yang memiliki cinta sepihak dengan Nizar dan Nizar yang tak sedikitpun gusar saat ditanyai mengenai hubungan dia dengan Maeda.

"Hanya sekedar teman, tetapi mengapa sikap kalian seperti sepasang kekasih? Terutama kamu, penduduk kos, kurasa Mbak Inayah dan Pak Ikhya' tau, kalau kamu sangat memperlakukan dia dengan tidak wajar."

***
Fardah menyajikan bahasan yang menurutnya Nizar bisa menanggapi dengan alasan yang masuk akal. Tentu saja, mendukung hipotesanya. Agar dia punya bukti dan alasan untuk menginstruksikan Maeda, bahwa pertemanan mereka memang sebatas teman dengan teman. Agar Maeda segera siuman, dari tidur panjangnya di hati Nizar.

"Tidak wajar bagaimana? Menurutku, ya wajar-wajar saja. Ngobrol bareng, makan bareng, naik motor dia aku bonceng. Pertemanan seperti itu nggak sih, Far?" No problem. Tidak masalah Nizar terbawa arus sampai kesini. Memang kenyataannya seperti itu.

"Aku tahu. Tapi masih ada yang nggak biasa loh, Zar. Deketnya aja yang terlalu bagaimana gitu." Jawab Fardah sedikit kesal. Nizar ini tampan, tinggi, tapi bagaimana dengan daya rangsang otaknya untuk memahami suatu perumpamaan.

"Bagi sebagian orang yang nggak dekat dengan aku memang ngiranya begitu." Kusenan jendela lumayan nyaman bila dijadikan duduk dengan kaki menjuntai.

"Tapi, demikianlah caraku membuat agar mereka tetap nyaman disisiku. Katakan chating dan berkirim pesan, ya memang agak berbeda saja gaya dan bahasanya. Agak manja, agak chieldies. Itu hanya berlaku untuk Maeda."

"Alasannya kenapa hanya untuk Maeda? Aku kan juga teman kamu, Zar. Perempuan pula." Fardah membenarkan kerudungnya.

"Kamu juga teman aku. Tetapi dalam kamus aku, teman yang bertahan dengan gaya pertemananku, hanyalah Maeda, Far." Jelas Nizar dan lawan bicaranya sontak diam.

Masuk akal, mendengar kalimat Nizar yang demikian. Hubungan pertemanan mereka tidak wajar, akibat dari gaya perlakuan Nizar terhadap teman dekat wanitanya yang memang berlebihan. Shahih, Maeda sedang BAPER. Maeda teramat berlebihan melibatkan perasaan ke dalam pertemanan mereka.

"Zar, boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?" Mereka hanya mengobrol lintas jendela, tetapi keasyikannya melebihi obrolan di Warkop.

"Silahkan, Fardah. Tidak ada larangan sama sekali." Nizar sesekali melarikan ke pandangan ke ruang kamar Fardah, mungkin yang dicarinya tiba-tiba muncul.

"Menurut kamu, Maeda itu orangnya gimana? Terus, selama ini kamu pernah nggak ngerasain perasaan lebih gitu sama dia?" Fardah tidak ingin terlalu banyak intro. Dia harus segera meminta kejelasan, biarpun hanya berupa permisalan.

" Maeda, wanita paling baik yang pernah kutemui versi seorang teman. Paling favorit dengan sikapnya yang supel, nggak pernah gengsi, murah senyum. Pokoknya baik lah." Nizar beargumen.

"Terus?"

"Sudah, itu saja. Apalagi?"

"Bagaimana dengan pertanyaanku terakhir. Apa kamu tidak merasakan perasaan yang lebih gitu kepada Maeda?" Ini adalah pertanyaan jackpot. Fardah hanya menantikan Nizar mengulas sedetail mungkin.

"Owh, soal itu," Bila saja, semua orang mampu dia ajak kompromi. Maka Nizar akan mengatakan secara terang-terangan, tentang gundah gulana yang mengguncang hatinya.

Fardah menantikan bibir Nizar yang mengatub, tetapi yang dinanti juga mengantisipasi.

"Mae," Nizar melambaikan tangan melihat Maeda yang sudah berada di ambang pintu kamarnya.

"Maeda." Fardah menoleh dan menyapa temannya, dengan menenteng beberapa kantong plastik.

Maeda, nyaris saja. Kenapa kamu datang disaat semuanya akan terungkap.

"Masya Allah, banyak sekali. Tumben loh, kamu hambur-hamburin uang buat beginian." Fardah lekas mengambil satu kantong plastik yang berisi martabak.

"Tumben kalian ngobrol. Ada apa? Jangan bilang kalian," Maeda terkesiap. Pikirannya sudah membentuk kata 'Jadian'.

"Bener kan? Kalian sedang PDKT."

"PDKT apa coba? Jangan ngigau kamu, Mae." Nizar melompat dari kusenan dan berdiri di kamarnya.

"Ya barangkali, kan?" Senyum itu lagi. Maeda menampakkannya persis seperti dengan pria yang tadi duduk di taman fakultas.

"Barangkali seperti pasir, batu koral, dan air. Sudah, jangan melantur kamu. Habis ini, aku tunggu kamu di balkon rumah. Aku mau ngomong." Nizar tanpa bertanya kemana-mana, seketika menutup jendela kamarnya.

"Dia mau ngomong apa?" Selidik Fardah dengan mulut yang sudah dipenuhi martabak.

"Nggak tau juga. Paling juga curhat." Maeda menanggalkan jaket beserta tas selempang. Kemudian beranjak menemui Nizar.

"Mau nemuin dia?"

"Iya. Barangkali mendesak dan harus ditemui solusinya. Aku kesana dulu, ya. Kamarnya jangan dikunci." Maeda sudah meninggalkan.

"Kamu kok gitu banget sama Nizar. Maeda," Fardah menyusul Maeda di ambang pintu dan berteriak disana.
"Apa lagi, Fardah?" Maeda berhenti dan menengok ke belakang.

"Kamu hanya sebatas dengan dia. Lebih baik kamu kembali ke kamar. Sebelum penyesalan menyakitkan yang akan kamu temui. Ku mohon tinggal lah." Pinta Fardah, namun temannya itu hanya tersenyum.

"Aku memahami mu, tetapi untuk sekarang, maaf, aku masih belum bisa." Maeda kembali mengayunkan langkahnya.

Di sana, dibalik dinding. Air mata di kedua kelopak mata sudah terbendung cukup dalam. Fardah tak tega, melihat Maeda yang sudah jelas hanya berjuang sepihak.
***

Assalamualaikum.
Sebening Cinta Maeda Update lagi nih.
Jangan lupa, vote dan komentar kalian
Author tunggu
Kunjungi juga instagramku kakmila95

Jang Mi,
Sabtu, 04 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang