New Life (Part I)

451 52 143
                                    

  "Ya begini nih, kalau ngajak pindahan jam 1 malam." Yanis memutar kunci pick up di kontaknya, sambil bersungut-sungut melihat Maeda yang terlelap.

   "Mae, kamu pikir aku nggak ngantuk gitu. Bangun! Kita sudah sampai di rumah kos baru kamu." Tangannya memukuli perut Maeda, sementara penglihatannya mengedar ke sekitar rumah kos daerah Surabaya pusat.

   Kompleks perumahan elit minimalis yang begitu lengang. Terdapat satu dua mobil terparkir di luar. Lampu-lampu gantung di balkon atas, membuatnya semakin terkesan, kalau jajaran rumah itu adalah milik kaum menengah ke atas.

   "Mae, bangun! Kita sudah sampai di rumah kos baru loh. Rumahnya disini, modelnya sama semua. Kamu tinggal bilang nomor berapa?" Yanis masih menepuk perut Maeda, padahal kedua mata milik temannya sudah terbuka.

  "Yan, kamu bisa nggak melatih tangan kamu dengan hal-hal positif?" Suara Maeda menghentikan perbuatan Yanis, dan sontak laki-laki itu berpaling dari pandangan sebelumnya.

  "Maaf, Mae." Mayoritas orang indonesia saat kesalahannya tertangkap basah adalah meringis.

  "Jadi, nomor berapa rumah kos baru kamu?"

   Tubuh Maeda yang semula merosot, seketika bangkit. Mata yang masih buram, lekas dipaksa terbuka, diusapnya hingga dia menunjuk rumah bercat hijau, berjarak 2 rumah dari mobil mereka berada.
 
  "Kamu tinggal di kompleks ini, ongkos sebulannya berapa?" Yanis masih enggan beranjak.
 
   "Hmmmm. Rahasia. Nanti kamu bakal ketemu sendiri sama yang punya." Maeda terlebih dulu keluar dari mobil.

  "Tadi cepat-cepat bangunin aku. Sekarang kamu nggak turun. Lekas Yan! Sudah hampir setengah 2." Wanita itu masih melanjutkan kalimatnya sambil menopangkan dagu di kaca mobil.

  Lemari, peranti dapur dan barang-barang lainnya satu demi satu sudah sempurna turun dari bak pick up. Yanis sengaja memarkir mobil antiknya disitu, membiarkan dirinya dan Maeda membawa barang-barangnya dengan berjalan kaki.

  ***
  "Kalian lama sekali. Jalan menuju kesini padat merayap, ya?"

  "Untung saja, stok kopi di laci dapur masih 3 sachet. Setidaknya, rasa kantuk bisa ku tunda 2 jam lagi." Sedang duduk di tepi kolam, pria dengan setelan kaos oblong dan celana tiga perempat mengangkat cangkir.

  Menawarkan cairan hitam pekat, kepada tamu yang nafasnya ngos-ngosan dan wajahnya deras membentuk aliran keringat.

   "Bulan ini, aku lupa belanja. Jadi, jangan kaget. Ku buatkan kalian seadanya." Berturut-turut si pemilik rumah menyambut kedatangan Maeda dan Nizar dengan antusias.

  "Mas Arok?"
 
  "Taruh barangnya disitu saja, Yan. Cepat kemari."

  Arok meletakkan cangkir dan menjemput mereka di depan gerbang. Yanis mematung lama, membiarkan 2 kardus berisi pakaian luruh ke tanah.

  "Sudah, jangan bengong. Malam-malam gini nanti kesambet loh." Arok melambaikan tangan, membangunkan Yanis dari lamunan.

  "Maaf, Mas. Bukan jalannya yang macet. Sopir satu ini nggak pandai mengemudi. Udah gitu, dia terlambat sampai di rumah  kos." Maeda menginjak kaki Yanis.

    Apa kata dunia? Di satu lingkungan ada dua pria yang tidak becus sama sekali. Satunya terbuai dengan realita, satu yang lain mencoba menyadarkannya. Empat kali sudah, Maeda mengangkat peranti hidupnya seorang diri.

   "Maeda akan tinggal disini? Serumah sama kamu?" Dia bukan seorang guru. Namun, mengulang pertanyaan berdampak baik dalam meyakinkan kepercayaannya.

  "Mas Arok, Yanis. Apa kalian bisa membantuku, mengangkat sisa barang-barang itu?" Tunjuk Maeda ke sebuah lemari, perkakas dapur dan kardus berisi literatur kuliah.

  "Setelah itu kalian bebas mengobrol. Maaf, bukan bermaksud aku menyuruh, tetapi aku perempuan yang cukup tangguh." Tutur katanya tidak menyinggung dua laki-laki itu bukan?

  Maeda tersenyum, melihati hasil kerja kecilnya, bergantian dengan dua wajah pria yang mengekspresi sedikit terpaksa.

"Bolehkan Mas, aku duduk disitu. Melihati pantulan cahaya dari gelombang air kolam sambil menikmati biskuit dan minuman yang telah disediakan." Maeda menghambur ke kursi dekat kolam, tak menghiraukan dua pria tadi yang mengumpat.

  "Siapa yang pindahan? Siapa yang diminta mengangkat barang! Huft!"

  " Apa dia tidak mengajak jasa angkat barang? Sejujurnya, tengah malam menjelang pagi gini, aku malas buat angkat-angkat, Yan."

***
   "Mas Arok kok nggak bilang, kalau tinggal sendirian? Tetangga pasti menyebar fitnah yang nggak karu-karuan, Mas." Setelah panjang lebar menyambut dengan prolog singkat, Maeda terkejut dengan kepindahannya.

Maeda tidak menyadari, kalau rumah kos yang dimaksud Arok bukan rumah kos pada umumnya.

   "Siapa juga yang meminta kamu tinggal disini?"

  "Mas bilang ke aku kan, untuk datang ke rumah ini. Rumah di salah satu kompleks Laksmana nomor 18 blok D. Ada yang salah?" Mata Maeda mencari nomor rumah dan menunjuknya.

  "Nggak ada. Memang sengaja saja, aku meminta kamu singgah disini. Tetapi, rumah kos yang akan kamu tinggali bukan rumahku." Tanpa mengatakan detailnya, Arok mengangkat dagu dan meminta Maeda melihat rumah diseberang jalan.

  "Rumah kos mewah yang pernah aku ceritakan, dengan didapati hanya 4 kamar, berseberangan dengan rumahku." Arok memasukkan lengan kirinya, agar jaket bisa sempurna menghangatkan tubuh.

  "Mas, Maeda akan tinggal disitu sendiri?" Yanis berulang kali terperanjat di sepertiga malam ini.

"Iya. Dia penghuni tunggal. Tidak ada yang lain."

  "Tapi kenapa? Kenapa harus Maeda? Kenapa bukan aku? Kamu berani jamin, dia bisa aman tinggal di rumah itu sendiri?"

  "Kenapa nggak? Rumah di seberang adalah rumah mendiang orangtuaku, dan pernah kami tinggali saat aku masih  SMA." Cangkir kopi Arok menyisakan ampas yang tak bisa di teguk. Sejadinya, amunisi terakhir ialah air mineral saat tenggorokan kering, meminta penyegaran.

   "Mas, aku kira, rumah kos yang kamu ceritakan, seperti rumah kos pada umumnya. Ada penghuni homogen, bangunan rumah kos dengan pemilik terpisah, tetapi--"

  "Kamu ingin yang bagaimana? Atau kamu ingin kembali saja, ke rumah kos bibinya Nizar?"

   Arok tidak seharusnya menyuarakan kalimat ini. Semenjak perlakuan Ibu Nizar 2 hari yang lalu, Arok ikut geram dengan kondisi Maeda yang tak mengalami perubahan.

  "Bukan begitu, Mas. Sesuai yang aku katakan, aku ingin pindah dari tempat itu. Aku ingin mencari kos baru dengan suasana pada umumnya. Tapi yang terjadi, kamu mengabulkan permintaanku dengan sangat lebih." Maeda tertunduk sedih.

  Bila fisikawan pikirannya dipenuhi dengan teori -- eksperimen seputar energi dan gaya, Maeda justru memikirkan bagaimana kelak akan berbalas budi kepada Arok.

Bu Sofiyah dan Maeda sudah meneken kesepakatan untuk tidak lagi mengusik dan memasuki hidup Nizar yang serba prestisius dengan aturannya. Maeda juga senang, bila akhir dari hubungannya dengan pria itu, adalah kehadiran Maira, type wanita yang didambakan Bu Sofiyah.

  "Aku tidak ingin melihat kamu berjuang sendirian demi cinta yang salah, Mae. Aku tidak ingin, melihat kamu dari jauh, menangisi laki-laki yang tidak pantas."

  "Maka dari itu, aku ingin kamu menempati rumah itu. Agar aku bisa leluasa, memastikan siapa saja yang berani menyakiti kamu." Diluar dugaan, Kata demi kata mengalir nan romantis di hari menginjak pagi.

  Maeda, Yanis dan Arok sama-sama membulatkan mata. Mereka masih tak percaya dengan keadaan yang berubah dengan sekajap.
***

Assalamualaikum
Alhamdulillah
Malam-malam masih produktif
Gercep yaaa.
Jangan lupa
Vote, komentar dan baca
Terimakasih

Jang Mi
Minggu, 19 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang