"Oke, kamu mungkin sudah mendengar semua pembicaraanku tadi. Dan masalah gitar," Nizar sudah duduk di hadapan Maeda, mengulang kembali cerita yang telah terjadi.
"Sudah, nggak perlu dikatakan lagi. Aku sudah mendengar semuanya." Nada bicara Maeda tidak se ketus tadi. Namun, senyum yang terulas tidak benar-benar tulus.
"Mae, jangan gitu lah Mae." Nizar berusaha menjelaskan dengan mencegah sikap Maeda yang tentu saja tidak enak hati.
"Kalau nggak gitu. Terus, aku harus gimana, Nizar?" Dan Maeda bukan gadis bermental melempem.
"Kamu jangan bertingkah sensitif. Seolah-olah, semua ini adalah salahku." Nizar membela diri. Namun, sayangnya pembelaan ini, malah membuat Maeda muak.
"Itu kue Mas Arok?" Nizar mengalihkan topik.
"Kenapa beralih topik segala? Kalau iya, apa ada yang salah?" Dua hari stay di depan laptop, membuat otaknya bekerja seperti sedia kala.
"Aku kan hanya tanya, Mae. Jawaban kamu nggak gitu juga kali." Nizar mulai menampakkan rasa kesalnya.
"Rainbow cake atas nama Tania." Pelayan yang tadi sempat memuja-muja Arok, kini memanggil wanita yang duduk di samping Maeda.
Tania bukan wanita yang suka menyahut apalagi mencampuri urusan orang lain. Tania selalu menuntun dirinya untuk bersikap tidak mau tahu tentang segala hal yang menimpa seseorang. Termasuk, dengan membiarkan Maeda dan Nizar yang beradu mulut, sekalipun mata wanitanya tak lekang melihati mereka.
Tania segera mengambil kue pesanan Pak Nawawi.
"Aku duluan, ya. Maaf, nggak bisa bergabung sama kalian." Maeda berdiri dan menjemput langkah Tania yang sudah berjalan keluar.
"Satu lagi. Selamat atas hubungan kalian. Semoga, kedepannya langgeng dan harmonis." Maeda hari ini lebih banyak tersenyum, sekalipun bukan senyum menawan.
***
"Dia segitu sensinya, kalau melihat kita berdua, Mas." Maira baru kali ini, peduli dengan sikap Maeda. Sebelumnya, seorang Maira tidak pernah peduli, apapun itu dan sekecil apapun yang dilakukannya.
Rupanya, dia takut kalau semisal Maeda kembali menginginkan Nizar. Meski, sekarang pria disampingnya sudah resmi menjadi kekasihnya. Maira takut kehilangan Nizar, karena Maeda adalah kompetitor terhebat, yang selama pernah Maira temui.
"Dia sensi?"
"Iya. Hari ini, kemarin dan beberapa waktu lalu saat kita bersama, dia selalu sensi gitu sifatnya. Kamu nggak ngerasa?" Biarpun hidangan mereka sudah tandas, Maira dan Nizar masih enggan meninggalkan tempat itu.
Nizar sebenarnya sudah tahu. Hanya saja, dia lebih menyimpan sendiri dan tak memperlihatkannya. Maeda memang sudah tidak lagi berkomunikasi dengan Nizar.
Tetapi pria itu paham, Maeda sensitif karena sangat membenci Maira. Dari sikap membenci itulah, segala sifat yang lain ikut menyerang, termasuk syirik kecil yang bernama cemburu.
"Perasaan Maeda ya seperti itu, Ra. Omongannya aja selalu ketus." Nizar bukannya membela mantan gadis yang pernah disukainya itu. Dia hanya tak mau, bila Maira terus saja membahas yang tidak penting.
"Mas Arok dan Mbak Maeda mungkin sudah jadian, Mas."
"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?"
"Selama aku kenal sama Mas Arok, nggak pernah tuh, Mas Arok minta orang lain buat ngambil pesanannya. Mas Arok cowok yang mandiri." Maira sendiri heran, kenapa bahasannya selalu Maeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...