Awal Datangnya Badai

515 80 69
                                    

Nizar sudah mengangkat tangan, saat dia melihat laki-laki dengan setelan hitam putih dipadu almamater, bersama wanita berbusana yang cukup lain dari biasanya. Nizar menurunkan tangannya perlahan, dia mengulum senyum.

Maeda hari ini cantik dimatanya, sekalipun dia tak setinggi Maira, tampilannya tak se-stylish wanita yang dijuluki muslimah famous di kampus.

"Kenapa kamu nggak berpenampilan seperti itu, saat bersamaku Maeda?" Nizar tak percaya, hatinya benar-benar jungkir balik melebihi atlet taekwondo.

"Mae," Di kerumunan sana tidak hanya Yanis dan Maeda saja, tetapi masih banyak lagi mahasiswa yang merasa lepas setelah menjalani tahapan pertama ujian akhir mereka.

"Pi..sang," Nizar urung memanggil nama sapaan Maeda. Tadinya Pisang Ijo.

Lengannya sudah ditepuk seorang wanita cantik yang selalu cantik dimata kaum adam manapun.

"Pisang apa, Mas. Kok tumben ke kampus? Pasti mau nyamperin aku, ya?" Maira yang selalu wangi, Maira yang selalu trendy. Sampai terkadang Nizar minder sendiri saat jalan dengan wanita secantik dia.

"Owh, ehm itu..." Sebelum Nizar ke kampus, dia menyempatkan keramas. Tetapi tak ada hujan menggaruk kepalanya lebih baik.

"Iya, Maira. Ke kampus buat nyamperin kamu." Kilahnya sungkan.

"Baru pertama kali ini loh, dalam pertemanan kita, kamu main kesini. 2 tahun kemarin, seringnya kita ketemu di kafe, kos aku atau rumah Mbak Inayah." Maira tanpa malu, segera menggamit lengan pria itu dan diajaknya berjalan ke gedung fakultasnya.

Tidak tahu malu, sampai sepasang mata juga menyaksikan kepergian mereka. Sepasang mata yang tak se gembira tadi, dan seulas senyum yang seketika lenyap bersama cemburu.

***
"Mas Nizar. Apa kabar?" Sapa teman Maira bernama Balqis. Tanpa Nizar sadari, Wanita tadi mengajaknya ke salah satu kelas di gedung fakultas Ekonomi Islam.

Nizar hanya tersenyum. Tangannya kemudian memerintah agar Maira segera melepas rangkulan tangannya disana.

"Kok dilepas, Mas. Bukankah kalian sepasang yang hampir menjadi pacar?" Semacam menyindir atau memberi kode, Balqis terbahak dan menghampiri dua orang yang tersipu malu itu.

"Apaan sih kamu, Qis. Kita ini hanya sepasang teman." Wajar bila wanita sifatnya jinak-jinak merpati, Maira tidak mungkin mengatakan hal itu di depan kelas yang masih ditemui beberapa mahasiswa lain.

"Udalah, ngaku aja deh, kamu. Mas Nizar juga begitu, kan?" Balqis masih tak ingin menyerah, menatar dua manusia yang sudah duduk berjajar.

"Begitu apa, Qis. Nggak ada apa-apa kok, aku dan dia."Jawab Nizar dengan wajah memerah.

"Kalau begitu," Entah apa yang akan dilakukan teman Maira itu.

Tetiba dia berdiri, dan meminta mahasiswa yang ada di kelas itu untuk keluar.

"Subhanallah, setelah mereka pergi. Rencana apa yang kamu miliki?" Maira bukannya marah, kalimat ini ia ucapkan dengan setengah canggung.

"Mas, buruan deh, ngomong. Utarakan kalau perasaan kamu, memang benar-benar tulus untuk dia." Taktik Balqis melebihi politic at impera selama VOC menguasai indonesia.

"Maira itu sebenarnya suka sama kamu. Sejak kalian berteman malah. Meskipun pada waktu itu, dia masih pacarnya Lubab. Tapi, perasaan dia ke Lubab nggak senyaman seperti perasaan dia ke kamu, Mas Nizar." Wah, Mulut Balqis kalau disejajarkan dengan Mak rumpi sholihah memang luar biasa.

"Balqis....," Biar bagaimanapun, Maira sudah telat mencegah dia.

" Apa sih, Maira. Sudahlah, kamu takut kan, Mas Nizar nolak kamu. Mas Nizar itu sebenarnya juga ada rasa sama kamu. Coba deh, kalau nggak percaya tanya dia sendiri." Balqis bukan mak comblang, dia hanya menolong temannya untuk bersikap gentle.

Maira memberanikan diri menatap kedua mata Nizar. Pria itu tak bersuara, merapatkan bibir dan juga membalas tatapannya.

Sejak mengenal wanita, Nizar tak pernah menatap mata mereka selama sekarang. Bukan satu jam, meski hanya beberapa detik, dia yakin setan akan menghujam matanya. Menuntunnya dan mengirimkan sinyal ke reseptor, hingga disana terbentuk hal-hal yang membuat dia bisa tak terkendalikan.

Seperti, keringat yang sudah mengalir deras dan jantung yang mendegup tak beraturan. Sadar, Nizar. Ini bujuk rayu setan. Sudahi, memandangi wanita yang amat molek di depanmu.

"Bahasa mata, mana bisa dibohongi? Gimana, Ra? Benar bukan, apa kataku? Mas Nizar juga ada perasaan yang sama dengan kamu." Balqis masih berkhutbah.

Nizar teralihkan, ketika ponselnya bergetar.

"Assalamualaikum, iya mas. Ada apa?" Nizar mengambil jarak lebih jauh dengan kedua wanita itu. Mas Ikhya' sedang memanggil.

"Nizar, kamu bisa jemput aku, di gedung Pus-In? Motor Mas, bocor. Setengah jam lagi, Mas ada kelas di kampus tetangga." Hati Mas Ikhya' tak setenang suaranya.

"Iya, Mas. Beres. Lima belas menit lagi bakalan sampai." Tanpa pamit, Nizar meninggalkan Maira dan Balqis begitu saja.

"Kamu di kampus, ya. Mas lihat tadi, kamu di depan fakultas saintek. Nggak ada lima belas menit lah seharusnya." Gurau Mas Ikhya', tanpa ada sahutan dari Nizar.

***
Yanis memang sahabat Maeda sejak lama. Sejak mereka duduk di bangku SMP. Kampus islam bonafide ini, merupakan takdir ketiga mereka dipertemukan, meski terhalang jurusan yang berbeda. Yanis mengambil jurusan Fisika, sementara Maeda mengambil jurusan Biologi.

Hari ini, perasaan Maeda berkecamuk menjadi satu, sejak pemandangan wanita modis menggandeng lengan Nizar. Nizar senang, ekspresinya bahagia. Maeda dapat memastikan, walau hanya sepintas.

" Sendirian kok terus sih. Kamu nggak ikut nimbrung sama mereka?"

Maeda sengaja menyendiri untuk menenangkan hatinya. Duduk di taman fakultas saintek adalah cara terbaik.

" Siapa juga yang sendirian. Aku hanya berusaha menenangkan diri." Balas suara milik pria yang berdiri di belakangnya.

"Dari apa, Maeda. Dari kerumunan sekelompok mahasiswa yang telah melakukan Sempro?"

"Bukan. Dari seseorang."Jawab Maeda asal. Dia belum sadar. Matanya tersita entah ke arah mana.

"Siapa? Boleh nggak, aku tahu?"
Bukan suara Nizar. Bukan pula milik Yanis. Suara ini pernah ia dengar berkali-kali saat semester awal.

"Em Mas A,, Rok?" Maeda terkejut begitu kepalanya memutar setengah putaran.

Balagita Chusni Mubarrok. Senior Maeda yang membuatnya getol mengambil jurusan biologi. Padahal, keahlian dia bukan di bidang itu.

Balagita Chusni Mubarok, Mantan Pemred majalah kampus yang membuat Maeda kehilangan jati dirinya sebagai wanita yang banyak tingkah.

***
Assalamualaikum
Yuk yuk yuk
Baca, Vote dan beri komentar ya
Alhamdulillah, doakan author konsisten update
No galau galau

Jang Mi
Rabu, 01 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang