Nado Saranghae

340 52 51
                                    

   Maeda mengedarkan mata ke sekeliling, takut ada orang yang melihat. Lalu, dia menampilkan senyum terhangatnya di bulan ini. Maeda membuang nafas, menghirupnya, lalu kembali tersenyum sembari menepuk wajah berulang kali.

    Ini bukan mimpi. Mas Arok, tidak main-main dengan perkataannya beberapa waktu lalu. Haruskah dia bilang aku juga cinta sama kamu Mas, untuk sekarang? Atau menunggu pria itu pulang dari Bali?

     Maeda mencomot satu cupcake, dan rasanya tidak sekedar manis saja. Ada masam, asin, pedas dan nano-nano terbungkus dalam satu cup nya.

      "Aku mau ngomong sama kamu." Suara  itu membuatnya menoleh ke tengah pintu.

       Sosok pria dengan nafas tersengal-sengal, sambil menopangkan tangan ke lutut. Nizar tidak sedang habis marathon, bukan?

      "Mae, kalau kamu ada waktu, aku mau ngomong sama kamu. Ini beneran." Keringatnya menderas, kemudian Nizar menegakkan tubuh dan berjalan mendekati Maeda.

      Maeda cepat-cepat mengemasi kardus tadi dan segera beranjak hendak meninggalkan Nizar.

      "Kamu nggak perlu takut. Tenang, aku nggak bakal buat kamu baper. Aku nggak akan jadi pria bimbang lagi. Tolong, Mae. Aku pengen ngomong." Nizar mencoba menahan langkah Maeda dengan sebuah perkataan.

     "Kamu mau ngomong apa lagi, Zar. Kamu itu pria nggak konsisten, penipu. Mana bisa aku mempercayai kamu!" Maeda sudah berjalan di ambang pintu.

      "Aku memang sudah jadian sama, Maira. Ter, paksa. Aku memang jual gitar, hasil pinjam uang dari kamu."

     "Karena terpaksa juga."Maeda memotong pembicaraan Nizar, dimana pria itu sudah tidak berkutik lagi.

    "Asal kamu tahu, sejak ibu kamu bilang ke aku, buat ngejauhin kamu. Sejak saat itu pula, aku sudah nggak mau dekat-dekat sama kamu."

   Petjah. Maeda kali ini benar-benar memaki habis Nizar. Dia bahkan lebih menyeramkan dibanding Pak Nawawi saat naik pitam.

      "Tolong dengerin aku. Setelah itu, baiklah. Aku nggak akan WA kamu lagi. Jika memungkinkan, kita nggak perlu kenal." Mungkin naluri pria, Nizar tidak seperti Maeda yang menggebu-nggebu.

       Akhirnya, sepasang kaki itu tidak lagi melangkah lebih jauh. Maeda mengambil duduk di samping Nizar.

     ***

     "Aku menjual gitar, karena sudah nggak punya pegangan lagi, Mae. Aku janji bakal secepatnya ngembalikan uang kamu. Uang penjualan buat bayar hutang ke teman." Paras itu, jangan sampai Maeda ikut terenyuh. Boleh bersimpati. Maeda jangan sampai perasaannya terbawa lagi.

    "Bukankah usaha konveksi kamu sedang ramai lancar? Uang itu kamu kemanakan?" Maeda berusaha biasa-biasa saja.

     "Habis buat kebutuhan hidup." Jawab Nizar singkat.

      "Habis? Kamu kan hidup numpang, Zar. Makan juga nggak perlu beli. Pakaian kamu juga super modis. Kebutuhan apa yang kamu maksud?" Maeda typikal wanita yang sekali diberi tahu, akan muncul keingintahuan yang lebih dalam.

     "Buat beli rokok, buat beli kopi, konsumsi kecil-kecil dan snack, serta aku pengen nunjukin ke ibu kalau aku berhasil, memiliki penghasilan di perantauan."

     Maeda tercengang luar biasa mendengar jawaban Nizar yang mantap.

     "Wah, Subhanallah. Enak banget ya kamu jawabnya."

     "Mae, tenang, uangnya bakal aku kembalikan secepatnya kok. Aku nunggu gajian dari kerjaku di kafe." Nizar yang memang tidak tahu sungkan.

     "Udalah, tenang saja kok. Kalau nggak ada, nggak perlu di ada-adakan. Daripada kamu hutang lagi." Maeda mengangkat tubuh. Dirasa cukup, percakapan yang sebenarnya tidak penting ini.

     "Semoga hubungan kamu dan Maira lancar, ya. Semoga dia adalah wanita yang selama ini benar-benar kamu cari." Tidak teramat buruk. Maeda melangkahkan kaki kembali keluar kelas.

      "Kurasa, Mas Arok adalah laki-laki yang tepat untuk mendampingimu. Maaf, bila selama ini, aku selalu merepotkan kamu." Nizar merespon, tetapi Maeda tetap melangkah dengan kardus berisi tiramisu cupcake tadi.

     ***

     "Telpon, enggak, telpon, enggak, telpon?" Maeda duduk di taman depan rumah sambil memetik kelopak mawar yang berjumlah lima.

     "Kok telpon sih. Aku kan malu." Hari ini, Maeda masih seperti itu, takut bila meminta saran kepada Fardah atau temannya yang lain.

     "Yaudah, aku telpon aja deh." Numberik di layar ponselnya di tekan pelan-pelan. Barangkali, dia berubah pikiran tiba-tiba.

     Akhirnya, layar menampilkan tulisan sedang memanggil Mas Arok. Bunyinya juga tut panjang. Agak lama, tetapi bagaimana bila diseberang seketika mengangkatnya. Maeda belum siap.

     "Assalamualaikum, Iya Mae." Nada bicara Arok yang biasa-biasa saja.

   Bagaimana bisa dia seperti itu? Setelah tadi siang, dia mengatakan Mas Arok mencintai Maeda. Mungkinkah Yanis sedang membajak ponselnya.

    "Emm, nggak ada apa-apa, Mas." Maeda bicaranya seperti wanita centil yang tidak makan lima hari.

     "Nggak ada apa-apa kok telpon aku?"
    Bahkan Maeda ingin sekali menggetok kepala Arok, biarpun dia menyukainya.

     "Mas Arok." Masih dengan logat manjanya.

     "Iya, Maeda. Ada apa? Mas Arok baru sampai nih. Aku video call ya."

     Maeda langsung lonjak-lonjak ketakutan." Jangan video call, Mas. Aku, aku, Maeda," Dia hanya takut tertangkap basah, sedang menampakkan wajah yang bersemu.

     "Nado Saranghae."

     "Apa? Gado-gado, daun serai dan jahe?" Arok menjawab cukup serius. Padahal, ekspresinya ingin tertawa.

     "Ihh, nggak seru banget, kamu." Maeda memanyunkan bibir. Dia sudah menyusun nyali, tetapi Arok begitu mudah menghancurkan.

     "Kamu nggak perlu niru-niru aku kalau jawab. Cukup bilang, Mas aku juga cinta sama kamu, gitu saja nggak apa-apa. Ngapain harus pakai bahasa asing segala?" Arok seketika menunjukkan tawa terkekehnya.

     "Mas aku udah nyusun nyali. Tapi kamu kok gitu. Kamu nggak seru." Maeda rupanya masih tidak terima.

    "Maeda, apapun akan Mas lakukan, buat buktikan, kalau aku memang suka sama kamu." Bicaranya mulai mengarah padqa hal yang serius.

     "Jadi sekarang kita resmi pacaran?" Raut muka Maeda sangat berseri-seri.

      "Aku langsung menikahi kamu saja. Minggu depan, aku mau izin ke Ayah kamu. Aku mau ke Solo, meminta secara langsung." Ini terdengar seperti gurauan, tetapi Arok mengatakan sungguhan.

     "Yasudah, mulai sekarang kita sepasang kekasih." Maeda membalas sekenanya.

      "Lebih dari itu. Minggu depan, aku akan segera mengikatmu. Tanpa pacaran, buat apa? Pacaran hanya membuat kita bergerak dengan batasan."

      Mas Aroknya pasti sedang berseloroh. Lagipula, ini sudah pukul 10 malam. Pantas, bila dia baru tiba di rumahnya. Kemungkinan Arok lelah, hingga Maeda memutuskan untuk mengakhiri obrolan itu.
***
Assalamualaikum
Alhamdulillah
Update lagi nih
Baca ya. Gercep

Jang Mi
Minggu, 17 Mei 2020
   
   
    
 

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang