Arok membaca dengan seksama lembaran sakti berlogo kampus kebesarannya dengan kop surat fakultas saintek.
Surat izin penelitian skripsinya sudah meluncur dan mendapat tinta ungu dari dekan I serta Kaprodi. Jikalau Maeda ingin menyegerakan pendidikan strata satunya, maka ia harus bergegas.
"Berbagai jenis pakan pada sapi perah terhadap peningkatan produktivitas susu, kenapa judul sederhana ini sangat membuatku tertarik." Arok menggosok dagunya dengan mata mengernyit.
Sedangkan pemilik kertas itu hanya diam seraya menutup wajah dengan jemarinya.
Maeda bersyukur, one step closer again, tetapi kejadian tadi masih terngiang di telinganya."Kenapa?" Arok merasa kalimatnya tidak ditanggapi, sejadinya dia memutuskan untuk memastikan kondisi wanita disebelahnya.
Maeda tak kunjung menurunkan jari jemarinya, tidak juga terdengar sahutan suara, Maeda hanya diam. Hingga tidak lama, ruas-ruas jarinya didapati telah basah dari rembesan air mata.
"Kamu nangis, Mae?" Arok baru sekarang melihat wanita disampingnya menangis.
Air matanya tidak mungkin kembali ke sumbernya, sesak di dada mustahil dibiarkan terperangkap dalam tubuh dan saluran pernapasan.
Maeda sesunggukan, tangis pilu akhirnya terdengar.
"Ada apa, Mae. Hei?" Arok menepuk pundak Maeda, menginstruksi agar wajahnya tidak lagi ditutupi seperti pemain petak umpet.
Maeda bukan gadis bebal. Tangisnya bukan karena perbuatan tak pantas yang telah ia lakukan. Matanya sudah merah saja. Kontras dengan kulit putihnya.
"Ada apa? BAK sudah memberimu izin, jadi apa lagi yang harus disesalkan? Takut Yanis membalapmu yudisium?" Suara tenang Arok berusaha menghiburnya.
Mereka tidak lagi di area kampus. Maeda dan Arok masih di dalam mobil. Mereka hendak membeli makan, setelah acara sarapannya tadi batal akibat suasana yang kurang menunjang.
"Mmas, Mmas Agg, Arok. Mas," Maeda menatap nanar Arok yang masih meletakkan kedua tangannya di bahu Maeda.
"Mmas, aku jahat bang, bang,banget. Aku gak te, tega. Aku kang ngen sama Nizar, Mas." Tangis pecah Maeda kembali terdengar. Tubuhnya terguncang.
"Mae, kenapa harus dia lagi sih? Kamu sendiri bukan, yang bilang, kalau enggan berteman dengan dia!" Arok tidak membentaknya, Arok hanya menyadarkan agar Maeda bisa konsisten dengan ucapannya.
"Mmemang benar. Ta,ta,tapi aku udah jahat banget, nga,ngatain dia seperti tadi. Aku nggak tega Mas Arok. Aku pasti diki,ki,kira jahat sama dia."
Maeda menatap dua bola mata Arok, mencari jawaban disana, berharap Arok bisa memberinya solusi yang tepat.
"Maeda, kamu pantas berkata seperti itu. Kamu wajar bila beberapa hari ini mendadak sesak, tiba-tiba menangis.
Karena kenangan diantara kalian tidak se dangkal kolam di depan rumah."Arok menegakkan badan, meraih tisu dan meminta Maeda agar mengusap wajahnya yang sungguh berantakan.
"Jangan diceritakan, jangan diungkit terus. Karena itu justru akan membuatmu mengingat Nizar." Arok yang murah senyum, selalu mengakhiri perkataan dengan menarik garis bibirnya 2 senti.
"Mas, aku nggak ditolak. Tapi sakitnya seperti habis diputus seseorang." Maeda berusaha membesarkan kelopak mata. Dia ingin bangkit.
"Apa bagusnya sih, Nizar? Dibanding aku, apa kamu masih belum membuka hati kamu buat orang baru? Aku udah di depan mata jelas-jelas. Menyayangi dan perhatian sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...