Irasional

619 91 67
                                    

"Uangnya aku bawa dulu, ya." Ucap Nizar, setelah tubuh mungil nan berisi Maeda keluar dari outlet mesin ATM.

"Kok segitu banyaknya, buat apa saja?" Sudah menjadi hak Maeda mempertanyakan kejelasan uang yang dipinjamkannya.

" 1 juta 500. Kamu nggak keberatan kan, bila uang ini ku pinjam untuk menuruti hoby ku?" Nizar memandu agar mereka melepas lelah di salah satu kedai yang tak jauh dari situ.

"Nggak. Asalkan kamu mengatakannya dengan jelas kegunaan dari uang itu." Maeda, kau sungguh baik sekali. Hatimu bahkan sebening sungai di tengah kemarau sahara.

"Aku mau beli gitar. Gini-gini pas nyantren dulu, aku selalu digilai santriwati ketika acara akhirussanah. Nggak jauh berbeda seperti budi doremi maupun afgan syahreza. Tampilan menyanyiku solo dengan bantuan gitar."

Kedai yang hanya didapati empat orang telah mereka jajaki. Dari paparannya, Nizar mungkin ingin mengisi aktivitasnya dengan menjadi selebgram.
Gestur wajah sebelas dua belas seperti Rangga Azof, suara baritonnya cukup khas. Syukur, bila Nizar memiliki pikiran seperti itu.

"22 tahun adalah usia produktif. Ber karyalah. Semoga Tepung kedelai bisa mewujudkan mimpi-mimpinya." Maeda menarik kursi, duduk berhadapan dengan Nizar yang menghitung-hitung uang.

"Dengan uang ini, nggak masalah bukan menjadi penyanyi freelance. Kalau bisa, aku ingin menjadi penyanyi tetap di kafe itu." Nizar menunjuk ke arah kafe seberang jalan.

Kafe kekinian dengan dinding kaca yang tampak di dalamnya beberapa barista yang bekerja dan penyanyi kafe yang sendirian.

"Sebentar," Maeda menyipitkan mata saat Nizar menunjuk ke arah penyanyi kafe. Kemudian berdiri, dan memperpendek pandangan.

"Ada apa, Pisang Ijo? Kamu kenal dengan dia?" Waiters hendak menyodorkan daftar menu, namun Nizar ikut beranjak dari tempatnya.

Penyanyi kafe yang sendirian. Penyanyi kafe berparas sayu yang sedang bertopang dagu pada pilar mikrofon. Penyanyi kafe yang mengenakan hijab navy dan seperti baru saja berakhir cintanya.

"Dia Aira. Khumaira. Adik kelasku SMA dulu." Bicara Maeda sedikit bergetar, antara terkejut dan tidak percaya menyaksikan wanita itu yang tak seperti dulu.

"Aira?" Nizar mengabsen.

"Iya. Adik kelas aku. Mungkin, kalau kamu melamar menjadi pengisi hiburan di kafe itu. Kamu juga akan mengenalnya." Maeda mencebikkan bibir sebentar, membuang nafas besar-besar, seperti kejadian pernah terukir bersama wanita yang masih tak berkutik disana.

"Ada apa? Pernah ada cerita tak mengenakkan dengan dia?" Nizar seolah kekasih yang sangat paham, dengan Maeda yang tiba-tiba diam tak berselera.

"Nggak ada, Tepung kedelai." Nada bicara Maeda yang sengaja dibuat-buat, ternyata tak membuat Nizar kehabisan akal.

"Kamu tau nggak, ini jam berapa?" Nizar menarik tas selempang Maeda dan memaksa temannya untuk duduk di tempat yang tadi.

"Lepasin, Zar. Aku bukan kambing. Rasulullah saja, memperlakukan kambingnya dengan baik. Aku ini manusia." Kalau saja Maeda adalah mahramnya, Nizar akan menyumpal mulut Maeda tanpa aba-aba.

"Suara kamu cempreng banget, Mae. Nggak usah protes. Cukup duduk dan katakan, cerita kamu dengan Aira,Aira tadi."

Begitu mereka duduk, waiters tadi langsung menyuguhkan buku menu.

"Nasi goreng teri sama moccalatte." Maeda belum membuka menu, namun sudah mengajukan pesan kepada waiters yang berdiri di samping Nizar.

"Baru pertama kali kesini kan, kok udah tau, kalau menu itu ada? Sejak kapan jadi peramal baru?"

"Menu yang aku pesan familiar banget lah, Zar. Dimana-mana pasti ada. Di angkringan dekat kampus juga ada." Jawabnya setengah senewen. Jadinya, nada bicara yang dihasilkan juga tak mengenakkan.

"Iya deh, iya. Mas, catet ya pesanan teman aku. Kalau aku, jus alpukat sama nasi goreng teri juga." Buku menu bersampul hitam, kembali Nizar berikan.

Waiters itu hanya mengangguk, namun siapa sangka balasan kalimatnya membuat Maeda terkesiap. " Mbak, Mas. Kalian serasi banget loh jadi pacar. Saya nggak yakin, kalau mbak ini hanya teman kamu saja, Mas."

Dia menyadari bicaranya agak lancang, seketika waiters tadi mengambil langkah dan berlari.

"Astaghfirullah. Pacar? Plis deh Mas. Jangan membuat aku jadi tak berselera untuk meneguk moccalatte nanti." Kilah Maeda tak sebanding dengan hatinya.

Kalau semisal Yanis ataupun Fardah yang di hadapnya. Rona kemerahan di wajahnya akan ia tampakkan lebih lama. Menyebut nama Nizar dan dia sebagai pasangannya, sensorik otak seketika mengirim sinyal kepada tuannya.

Maeda senang, Maeda bahagia. Karena itu adalah impiannya. Sayangnya, Nizar hanya menampakkan gurat-gurat yang sungguh biasa.

"Gimana kalau semisal kita pacaran sungguhan?"

Maeda sudah di dasar laut terdalam. Mendengar ucapan Nizar barusan, dengan kecepatan penuh dan dalam per sekian jam, jiwanya sudah melayang jauh di awan, berkilo-kilo meter dari siapapun berada.

"Jangan GR deh. Kamu kan bukan kriteria aku. Hahaha...."

Meluruh hati Maeda ke dasar samudera." kamu kok gitu sih,Zar. Padahal aku hampir saja ngarep banget."

"Pisang Ijo. Kok gitu sih. Apa kamu percaya kalau itu tadi hanya bercanda?" Nizar mencoba mendamaikan hati Maeda yang tak lagi terlihat bentuknya.

Bercanda atau tidak bagi Maeda sama saja. Kalimat tadi, secara tidak langsung merupakan radar rendah apabila kedua orang itu berpacaran. Maeda tidak mungkin berjajar dengan Nizar. Karena sinyal pria itu tak saling kuat seperti aliran cinta yang dimilikinya.

***
Wanita berhijab navy sudah hampir 2 jam duduk di halte sendirian. Padahal sejak tadi, angkutan umum dari yang beroda dua sampai empat sekalipun, sudah berlalu lalang dan menawarkan tumpangan.

Tetapi dia hanya menggeleng.
Sesungguhnya apa yang sedang ia nantikan? Sesudah memamerkan suara emasnya di salah satu kafe bintang tiga di kotanya.

"Maira, aku minta maaf." Sosok pria ini adalah yang sekian lama ia nantikan. Senyum wanita itu tentu saja seketika mengembang. Garis wajahnya tidak lagi se-datar mistar matematika.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak apa-apa kok nungguin kamu lama."

Maira. Khumaira Az-zahra Latief. Gadis keturunan Malaka yang hampir 2 tahun, dekat dengan pria tinggi itu.
Pria itu sejam lalu melihatnya termenung di sebuah kafe, menopang dagu dengan raut muka berantakan.

"Mari, aku antar pulang." Sang pria mengulurkan sebuah helm warna putih, yang selalu di kenakan teman wanitanya. Teman wanita yang dia bilang cerewet dan menyebalkan.

***
Assalamualaikum
Gaes, gaes, gaes
Mohon maaf agak telat up loadnya
Di baca, vote dan komen yaa

Jang Mi
Sabtu, 28 Maret 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang