Jalan Berkelok (End)

1.4K 52 75
                                    

  "Mas Arok norak banget sih. Pakai drama segala di panggung. Lagu melamarmu juga nggak cocok banget." Hani sibuk menggerutu, saat Arok mengantarnya ke bandara.

   "Tapi, lihat respon penonton. Bagus banget bukan? Ku lakukan itu juga nggak main-main loh, dik." Arok mengacak puncak kepala Hani, yang seketika membuat tatanan hijabnya berantakan.

   "Mas Arok melamar Mbak Maeda?" Hani beringsut mengangkat kaki ke kursi penumpang.

   "Iya. Aku melamar dia. Kamu nggak lihat ekspresi aku dan dia yang seserius semalam ya?" Bahkan sekarang hatinya penuh dengan berbagai jenis bunga. Arok akan satu langkah lagi menuju halal.

   "Masya Allah. Kalian mau menikah? Terus aku gimana? Kamu jahat banget sih."  Hani memukuli lengan Arok yang sedang mengemudi.

   "Kamu nggak gimana-gimana Hani. Kamu tetap adik aku, dan Maeda calon kakak ipar kamu."

    "Enggak, nggak boleh. Kalau aku nggak bisa dapatin kamu, begitu juga Mbak Maeda." Hani melipat tangan.

    "Itu urusan kamu. Lagipula kamu setuju atau tidak, aku tetap akan melamar Maeda." Balas Arok tidak peduli sebelum kakinya menginjak rem cukup dalam.

    "Kalau kamu masih ramai saja, Mas akan turunin kamu disini. Bandara masih 3 km lagi. Jadi, silahkan naik angkot atau jalan kaki." Arok hanya memperingatkan dengan mata, Hani sudah duduk dengan sikap semestinya.

    3 km menuju bandara juanda tidak secepat biasanya. Hari ini ada saja halangan yang membuat temperamen Arok makin menjadi. Dari kemacetan karena kendaraan mogok sampai tak sengaja mengenai sisi motor pengendara yang sudah tua.

    "Mohon maaf, Pak. Ini kesalahan saya. Untuk biaya reparasi motor, biar saya tanggung." Arok dengan takzimnya meminta maaf. Sebelumnya, Arok menggegamkan uang 400 ribu, itupun dengan drama penolakan yang lumayan panjang.

     Pak tua seumuran ayahnya itu, hanya tersenyum sembari menepuk lengan Arok.
"Ndak apa-apa, Nak. Terima kasih banyak, ini sudah cukup."

    "Masih belum, Pak. Itu hanya biaya pengobatan saja. Berhubung saya tidak membawa uang cash, nanti saya akan mengganti kerugian yang lain." Arok bersih keukeuh menjawab, saat bapak itu memegangi betisnya yang lecet dan berdarah.

    "Sudah nak, tidak perlu. Silahkan, kamu melanjutkan perjalanan, ya. Saya harap, besok jangan keluar kemana-mana. Tetap di lingkungan rumah." Jawab pak tua itu membuat Arok tertegun.

    "Tidak keluar kemana-mana. Maksud Bapak bagaimana?" Arok mendekati pak tua, tetapi beliau hanya tersenyum seraya bangkit dan menaiki motor.

    "Jangan kemana-mana, nak. Besok awal musim hujan. Hujannya juga gak sekedar gerimis." Tidak ada keterangan lagi, Arok dibuat penasaran semakin dalam.

    "Mas Arok. Ayo cepat. Aku udah pingin pulang." Teriak Hani dari dalam mobil.

    Besok akan hujan dan tidak sekedar gerimis. Arok belum juga berpindah dari tempatnya.

    "Mas Arok. Mas Arok dengar nggak sih." Hani kembali mengencangkan suaranya. Dan kali ini berhasil.
   
  ***

    "Besok kamu jadi ke rumah saya?" Setengah tujuh malam, suara di seberang milik Dosen muda yang merupakan dosen pembimbing Arok.

    "Jadi, Mas." Arok menjawab gamang.

    "Kalau semisal kamu ada halangan, jangan dipaksakan. Tunggu saya sembuh dulu, baru bisa bimbingan di kampus." Respon suara di seberang santai.

     Memang, besok Arok berencana konsulitasi tesisnya ke dosen pembimbing. Pak Haris yang merupakan senior di redaksi dulu, sedang sakit dan tidak menjalankan aktivitas kantornya.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang