Delusi

402 52 164
                                    

  "Maeda,"

   Senyum ceria seperti mentari pagi yang menghangatkan, lenyap dalam sekejap. Langit masih membiru, namun dalam dirinya terlebih dulu guntur menggelegar hingga membuat raut mukanya sendu.

  "Mae,"

   Bukan Mas Arok. Bagaimana mungkin Nizar sampai di rumah itu? Padahal belum lima menit, Fardah mengatakan kalau dia tengah menunggunya di teras rumah kos.

   Lalu, darimana Nizar mendapat alamat rumah kosnya yang sekarang? Wajah Nizar yang pucat seperti nasi, mengulas senyum, sambil memandang Maeda tanpa henti.

   "Kamu lagi-lagi tega ya, Mae. Ada apa dengan rumah kos Mbak Inayah?"

   Maeda belum menjawab sama sekali. Tangannya tidak sedang kebas. Jemarinya gemetar hebat, hingga totebag nya luruh begitu saja.

   "Maeda yang tega. Aku seorang tamu, kamu berdosa bila membiarkanku berdiri disini?" Nizar menerobos masuk rumah, tak peduli menabrak tubuh Maeda yang berada di tengah-tengah pintu.

  Rangkaian kalimat Bu Sofiyah di kantin, detail kata-kata Nizar selama di rumah sakit, Maeda masih mematung di tengah pintu sembari mengeratkan genggaman. Sulit dipercaya, wanita itu masih tidak bisa berpikir normal.

   Disisi lain, Maeda senang bisa melihat wajah itu lagi, Maeda tidak bisa bila diminta melupakan Nizar dalam sekejap. Karena Maeda dan Nizar pernah sedekat kamis malam ke awal jum'at.

   Sekalipun dia memaksakan diri untuk mengacuhkan laki-laki itu, tetapi tetap saja gelenyar senang di hati Maeda merambat perlahan. Ibarat anyelir yang kelopaknya merimbun tiba-tiba.

  "Aku haus Mae, kamu nggak ada inisiatif gitu buat buatkan aku minum?" Nizar bukan mengkode, seharusnya seorang tamu memang harus dimuliakan dengan baik.

  Maeda masih tercenung di tempat semula. Cairan bening tanpa disangka merembes membasahi pipinya.

  "Mae." Nizar menghampiri Maeda yang belum beranjak.

  "Kamu dengar tidak?" Tubuh mereka berjarak beberapa jengkal.

  "Hei. Aku minta minum. Haus. Jangan hanya diam. Masa dari tadi aku yang ngomong terus." Logat manja ini, Maeda senantiasa mendengarnya.

   Nizar meraih jemari Maeda dan menarik wanita itu dalam pelukannya.

   "Aku tahu ini dosa. Aku tidak sepantasnya berbuat gila dengan memeluk wanita yang bukan mahram. Aku hanya rindu, Mae. Perasaanku tidak bisa terkontrol." Serasa sekali, tubuh Nizar yang tinggi menyatu dengan postur Maeda yang mungil.

    Nizar tidak berlatih dari siapa, naluriah sebagai pria yang mencintai lah, yang membuat dia ingin menyalurkan rasa rindunya pada Maeda. Terlebih, mengetahui wanita itu hanya diam dan menangis.

    "Mae, aku nggak bisa bilang apa-apa untuk sekarang." Nizar meletakkan dagunya di puncak kepala wanita itu.

  "Apakah dosa, bila aku merindukan kamu? Aku juga manusia yang dikaruniai hawa nafsu dan perasaan."

    Dia seperti pemeran utama dalam film laga yang menemukan kembali cintanya. Seperti bad boy yang berhasil menyelamatkan wanitanya dari sandera para mafia.

   "Mae," Nizar melepas pelukannya. Mengusap airmata yang menjadikan riasan Maeda berantakan. Mengamati baik-baik kedua mata Maeda yang sembab.

  "Mae," Jemari Nizar masih memegangi wajah Maeda.

  "Mae, bisa kan? Jangan menangis lagi?" Nizar mengangguk, dia benar-benar romantis.

   Maeda menangkap tangan Nizar, menghentikan agar jangan lagi pria itu bertindak macam-macam, yang bisa membuat jantungnya lepas kapan saja. 

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang