New Life (Part II)

419 52 160
                                    

   "Nggak apa-apa kan?" Maeda memastikan apakah Yanis masih sanggup membantunya bersih-bersih rumah.

   Yanis mengangguk pelan. Maeda mengerti, dibalik anggukan persetujuan, sifat temannya bertolak belakang dengan keinginannya.

   Sekarang, sudah pukul setengah 6. Diskusi bersama Mas Arok berakhir 2 jam yang lalu. Seniornya tidak kuat menahan kantuk, sekalipun 3 gelas kopi telah mengaliri pencernaannya.

   Seusai shalat shubuh, Maeda bergegas mengajak Yanis membersihkan rumah minimalis di seberang. Kesepakatan mengatakan, rumah itu tidak untuk di tinggali berbayar, Maeda hanya diminta menempati dan merawatnya dengan baik.

  "Mae, berhenti yuk! Capek!" Tanpa menunggu persetujuan Maeda, Yanis sudah melempar tubuhnya ke sofa ruang tamu.

   Yanis baru menyapu dan mengepel lantai bawah, tetapi badannya ibarat digunakan lari maraton mengelilingi Gelora Bung Karno 20 kali.
  
  Calon sarjana science itu seketika memejamkan mata dengan mulut menganga.

  "Capek ya tidur, Yan. Tapi, pliss, ini mulut kalau tidur jangan dibiarkan mangap. Gimana, kalau nanti ada kuda nil, masuk." Maeda menutup mulut Yanis, kemudian melanjutkan bersih-bersih di lantai atas.

  Perabot di rumah itu masih utuh. Sofa, meja dan segala pelengkapnya di ruang tamu. Satu set alat masak, dan dipan beserta almarinya di setiap kamar. Tetapi mengapa, Maeda tidak menemukan foto keluarga, lukisan atau gambar ayah ibu Mas Arok.

  "Aku hanya penasaran, Mas Arok bisa setampan itu, wujud induknya bagaimana ya?" Maeda mengayunkan alat pel ke depan dan ke belakang di sepanjang ruang lantai atas.

  "Terus, kalau memang ini rumah dia dan orangtuanya, mengapa tidak ditempati. Mengapa dia malah menempati rumah di seberang?" Maeda tidak bisa diam saat hal yang baru ada di depan mata dan seseorang minta mengeksplornya.

  "Jumlah kamar ini, empat. Tiga sudah terbuka dan ku bersihkan, tinggal kamar pojok utara dekat kamar mandi. Mas Arok nggak ngebolehin aku kesitu,---" Sampai kapanpun Maeda diminta diam, juga susah.

 "Mae, aku bilang jangan penasaran." Arok tiba-tiba berdiri di belakangnya.

  "Ya Allah, Mas Arok. Astaghfirullah, kok nggak bilang-bilang sih, kalau datang." Alat Pel refleks jatuh, kaki Maeda tidak sengaja menyenggol ember, hingga airnya tumpah.
 
  "Mas Arok, kan. Tuh lihat, sama saja ngepelnya aku ulangi, Mas." Maeda mendengus kesal sambil memungut gagang pel, kemudian mengelap tumpahan air tadi.

  "Aku nggak sengaja, Mae. Aku nggak niat ngagetin kamu. Lagian, pintu rumah di biarkan terbuka. Jadinya, aku main masuk." Arok menyahut alat pel di tangan Maeda dan menggantikannya.

  "Mas." Maeda coba merebut, namun gagal.

  "Kamu duduk saja, Mae. Selonjoran, sana."

  "Mas sendiri kan, yang meminta untuk merawat rumah ini, sebagai biaya ganti sewa. Jadi, aku minta, taruh alat pel itu, Mas." Maeda seperti penyerang yang menghadang lawan untuk merebut bola.

  "Mae, gara-gara aku, kamu kaget dan menyenggol timba air itu, hingga tumpah. Sudahlah, biar bagaimanapun ini tetap rumah aku." Arok tidak mau kalah, bila alat pel itu direbut Maeda.
 
   Arok kasihan melihat Maeda yang belum menyempatkan istirahat. Setiba dari rumah kos nya, dia sudah 2 kali mengangkat barang-barang, kemudian bersedia gabung dengan Arok dan Yanis untuk sekedar ngobrol yang tidak penting.

  "Mae, silahkan istirahat. Nggak harus di kamar, kalau disana masih berantakan." Memegang gagang dengan erat. Disinilah ketangguhan laki-laki yang tidak bisa tersaingi oleh perempuan.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang