Masih Di Masa Lalu Maira

333 49 137
                                    

  "Maeda, Apa kamu bisa menjaga rahasia?"

   Setelah keheningan menjadi pariwara diantara Bu Laili dan Maeda, ungkapan itu mengisyaratkan, bahwa suatu hal yang berkaitan dengan Maira memang sedang disembunyikan.

   "Apa aku pernah membocorkan perkataan Ibu? Dan kenapa harus rahasia-rahasia segala, Bu?"

  Maeda melepas kabel setrika dari colokan dan meminta ibunya untuk fokus mengulas rahasia yang dimaksudkannya.

   "Nak, Ibu nggak mau kamu dibelikan apa-apa sama dia. Ibu nggak ngelarang kamu buat membantu dia. Tapi, tolong jangan diterima setiap Maira memberikan kamu sesuatu." Bu Laili membasahi tenggorokannya sebentar. Batuknya tak lagi membandel.

   "Maksud Ibu?"

   "Kamu sudah besar, jangan mengabsen ibu segala."

    Mereka di kamar belakang, tempat Bu Laili menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Ruang itu terpisah dari Rumah Bu Santi yang megah dan super mewah di eranya.

    "Kamu tau, kan? Maira memiliki sikap manja dan segala keinginannya harus dituruti di saat itu juga?" Kalimat itu sudah menjurus rahasia, sehingga Maeda memilih menutup pintu dan tirai.

    "Iya, Bu. Maira tahu, dan kuakui anak itu akan mengeluarkan amukan singa nya kalau keinginannya tidak dituruti." Maeda memahami sifat Maira, tetapi ia malas mengaitkan dengan pemberian anak majikan itu kepadanya.

   "Syukurlah kalau kamu paham." Bu Laili tertunduk sebentar, antara berat mengatakan atau takut Maeda tidak akan memercayainya.

    "Nak, demi Allah. Ibu melihat dengan mata kepala sendiri. Uang yang selama satu bulan ini ia gunakan untuk membelikanmu, melakukan perawatan, mengajak teman-temannya keluar adalah uang Mas Mughni." Ibunya tidak terbata-bata mengutarakan. Sangat tenang, tanpa kagok, tanpa menjeda.

   "Ibu?" Maeda geleng-geleng kepala tak percaya.

   "Ibu jangan mengada-ada. Ibu,, bisa saja yang kamu katakan disebut orang sebagai fitnah." Maeda menyayangkan ibunya mengetahui tindakan Maira yang kelak bisa menjerumuskannya.

    "Nak, buat apa ibu menyebut nama Tuhan segala, kalau ibu bohong." Bu Laili sekuat tenaga menginginkan agar Maeda mempercayainya.

    "Bukan uang cash. Saat itu menjelang maghrib, rumah ini sedang kedatangan keluarga jauhnya dari Kulon Progo. Semua orang berkumpul di depan. Tepat di momen itulah, Maira masuk ke kamar Mas Mughni." Bu Laili menjeda sebentar, perasaannya gamang.

    "Terus...? Dan buat apa Maira melakukannya, Bu. Bukannya Bu Santi sudah memberikan dia uang jajan lebih, keinginannya juga dicukupi semua."

   "Ibu juga nggak tau, Nak. Saat itu Ibu selesai menyetrika pakaian Mas Mughni, hendak menata di kamarnya, tapi tangan Ibu sudah gemetar mengetahui Maira seperti itu." Suara Bu Laili bergetar.

   Dia menunduk sembari menyesali perbuatannya yang telah meyaksikan pencurian kecil anak majikannya.

   "Ibu, Istighfar yang banyak. Nggak ada yang tau kan, Bu?" Maeda memastikan, dan seketika Ibunya menggeleng cepat.

   "Kalau begitu, anggap Ibu tidak melihatnya. Dan Ibu tidak perlu khawatir dengan barang pemberian Maira. Kita Husnudzan saja, barangkali itu tabungan dia, Bu." Maeda mencairkan keresahan Ibunya.

    Sebenarnya Maeda sedikit percaya kalau  perbuatan Maira berujung pada tindak kriminal. Bu Santi pernah cerita kalau pengeluaran putrinya sangat fantastis, hingga Maira harus dibiasakan bersikap hemat.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang