"Maeda?" Arok mendapati Maeda sedang terlelap dengan kepala di atas meja nakas. Garis-garis lelah, dia temukan pada wajah yang berbeda dari biasanya.
"Mae, Maeda." Panggilnya sekali lagi.
"Mae,"Arok menepuk pelan lengan wanita itu, tetapi Maeda belum bereaksi.
"Maeda, bangun. Bagaimana bisa---" Arok tetap berusaha membangunkannya dengan menarik outer nya. Kalimatnya belum selesai dan wanita itu terbangun.
"Mas Arok, Mas Arok sakit apa? Dokter bilang Demam Berdarah. Beneran?" Dengan mata belum terbuka sempurna, Maeda bangkit bersama perasaan paniknya.
"Iya, demam berdarah. Tapi, besok aku udah pulang kok." Kalimat Arok membuat Maeda berhenti mendadak. Berhenti dengan kedua tangan memegang erat selimut rumah sakit yang menutupi tubuh Arok.
"Kondisiku udah mendingan, Mae. Trombosit udah normal, demam juga udah turun. Udah sehat kok. Wajahku juga nggak pucat, kan?" Arok tersenyum, sarat dengan perintah agar Maeda tidak panik dan mengkhawatirkannya.
"Alhamdulillah kalau begitu." Jam weker sudah menampakkan jarum pendek di 10 dan jarum panjang di 12.
Maeda membuang nafas, lalu mengerucutkan bibir.
"Ada apa? Ngomong-ngomong kamu kok bisa tau, aku di rawat disini? Padahal,---"
"Padahal nggak satu orang pun yang jenguk kamu, kan Mas?" Maeda sudah dua kali memangkas kalimat Nizar.
"Biarkan aku berbicara dulu. Meskipun kamu sudah memahami kenyataannya." Tadinya Arok masih berbaring, tetapi bicara se-type ini membuatnya kurang leluasa.
"Mas, sudah! Mending buat berbaring, daripada kepulangan kamu diundur." Maeda cepat-cepat mencegah Arok seraya memegangi kedua bahunya dengan erat.
"Mae, udah lepasin. Kamu ini wanita. Nggak sepantasnya bersikap seperti ini."
Baiklah, Maeda bukan wanita jebolan pesantren yang terkenal dengan akhlaq mahmudah nya. Sebatas wanita awam yang cukup mengerti tentang seluk beluk norma dalam islam dan khazanah keilmuannya.
Maeda menundukkan pandangan.
"Silahkan duduk kembali. Kaki kamu bisa pegal, kalau terlalu lama berdiri." Arok mencoba memutus kecanggungan suasana.
"Belum lima menit Mas, aku berdiri." Maeda menuruti perkataan Arok, dan menjatuhkan tubuhnya dengan pelan.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Mae. Bagaimana bisa, kamu tau kalau aku dirawat disini?" Arok mengembalikan topik yang sempat melebar.
"Aku nggak sengaja, Mas. Kebetulan kedatanganku kemari, buat jenguk temanku yang dirawat di kamar nomor enam."
"Kesini sendirian?"
"Sama Fardah. Dan dialah yang pertama mengetahui kalau Mas di rawat disini. Mendadak ada suster yang keluar kamar, langkah dia kebetulan lambat, jadi pandangannya dia sama-sama mengarah ke pasien di kamar ini." Terang Maeda riang.
Fardah sudah meninggalkannya satu setengah jam yang lalu. Hanya motor yang ikut bersama temannya, sementara Maeda dan se keranjang buah masih berada di kamar Arok.
"Kamar nomor enam, ya? Kalau nggak salah pasiennya sedang sakit types." Arok beropini, seketika di iyakan oleh Maeda.
"Tapi pasien itu juga membuatku sedikit iri." Pria itu berkecil hati, sembari menampakkan tatapan iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...