Bintang di Sepertiga Malam

325 43 77
                                    

  Sudah dua hari, Hani tidak menemaninya tidur. Arok bilang adiknya itu sengaja bermalam di rumah Mbak Ambar, sampai akhir liburan.

   Hani seorang mahasiswi jurusan farmasi yang sedang menjalani libur mid semester. Mantan customer servis sebuah bank swasta dan model hijab, yang sangat merindukan kakaknya, tetapi sebaliknya. Arok justru tidak menunjukkan kerinduannya.

     Hani yang sampai sekarang tidak lagi mengabarinya, Maeda yang juga tidak begitu mengurusi wanita itu, sekalipun Arok memintanya untuk menjaga.

    Tugas akhir membuat Maeda malas menemui siapapun termasuk pemilik rumah. Dia harus mengosongkan segala pikiran, bila ingin tugas akhirnya cepat selesai.

    "Hidup tanpa kalian begitu menyenangkan." Dia menguap, menarik tangan dan mengencangkan persendian.

    6 jam nonstop, Maeda duduk dan berkutat pada PC, ditemani air mineral dan setumpuk buku. Matanya sedikit panas dan berair. Untung saja tidak sampai buta.

    "Alhamdulillah, nggak kerasa waktu sudah menunjuk qiyamul lail untuk mengajakku bermunajat." Kiri ke kanan, Kanan ke kiri, Hani memutar tubuhnya hingga timbul suara gemertak di sekitar punggung.

     Namun sebelum Maeda benar-benar mengambil air wudlu. Ditengoknya sebentar, ponselnya yang masih anteng sejak dua hari yang lalu. Cukup tap 2 kali, layar ponselnya sudah menampakkan screensaver pemandangan.

    7 pesan dari 148

   Maeda mendecih, mungkin saja grup-grup yang dulunya gencar bertukar informasi mendadak kehabisan topik.

   "Nizar, Mas Arok, Yanis, Fardah. Ah, kurasa mereka tengah sibuk dengan kegiatannya." Maeda meletakkan ponselnya kembali.

    Dia tak ingin menyempatkan sepertiga malamnya hanya dengan cekikikan karena menonton film atau membaca novel. Maeda ingin pembiasaan sewaktu SMA nya kembali berjalan.

   Dua langkah dia mengayunkan kaki, ponselnya kembali menyala, membunyikan dering yang khas dari sebuah panggilan.

   "Astaghfirullah, ada saja hambatan, kalau seseorang mau kembali ke jalan yang benar." Kakinya berbelok dan memastikan siapa gerangan yang sempat saja membuat panggilan di hari yang belum benar-benar pagi.

    "Kenapa jam segini dia tidak tidur?" Maeda bergumam, melihat nama bertulis huruf kapital yang tertera di layar.

    "Assalamualaikum, Mas." Maeda menyapa pemilik nama Balagita Chusni Mubarrok, sembari menjatuhkan pandangan pada lampu kamarnya yang mati.

    "Waalaikumsalam. Tumben belum tidur?" 2 hari tanpa kabar, suara Mas Arok terdengar lain.

    "Masih ngerjakan skripsi, Mas. Banyak sekali koreksi yang harus di revisi." Maeda hampir menanggalkan hijabnya, tetapi Arok segera mencegah.

    "Jangan dilepas dulu. Biar aku kembali ke kamar."

    Maeda memegangi hijabnya kuat-kuat. Terkejut mendengar kalimat Arok barusan." Mas Arok dimana? Kok tahu kalau aku mau melepas hijab?" Maeda berjalan ke arah balkon. Sesampainya, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

    Gorden dan jendela kamarnya sengaja dibuka. Mungkin ini akhir kemarau, suhu panasnya cukup ekstrim. Hanya sepoi-sepoinya angin malam, yang ingin ia temukan untuk menggali pikirannya.

    "Dari sejam lalu aku ngopi di balkon." Ruangan kamarnya sudah menyambut Arok.

    Sebenarnya dia sangat ingin memejamkan mata. Tetapi, demi mendengar kabar Maeda yang tak terdengar dua hari ini. Dia rela hanya sebatas duduk sambil menyeruput cairan hitam di balkon rumah.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang