Pengakuan Part I

504 70 131
                                    

  "Maeda." Panggil laki-laki bersarung lengkap dengan setelan muslimnya.
  Dia cepat-cepat mengemasi ponsel dan menghampiri laki-laki itu.

  "Assalamualaikum, Pak Ikhya'." Maeda meraih telapak tangan pria itu, mencium punggung tangannya, bentuk tawadhu' dirinya sebagai mahasiswa.

  "Waalaikumsalam. Kok tumben berdiri di depan pagar? Mau bayar kos?" Jawaban Pak Ikhya' mengait kesana, mengingat sekarang tenggat pembayaran. Awal bulan sudah berjalan 5 hari dari sekarang.

   "Pak Ikhya' bisa saja. Enggak Pak. Maeda sudah melunasi sampai 4 bulan ke depan kalau urusan satu itu." Maeda memang dikenal mahasiswa yang mampu menciptakan suasana hangat.

  Dosen ilmu konseling itu terkekeh." Lalu, ada urusan apa, malam-malam kemari? Mau ketemu Mbak Inayah?"

  Maeda menggeleng dan langsung menunjuk pria tinggi yang berdiri, bersandar di kusenan pintu.

  "Owh, mau ketemu keponakan bapak?" Pak Ikhya' masih menginterogasi.

  "Iya Pak Ikhya'. Boleh kan, saya bertamu kemari malam-malam? Karena tuan rumahnya sudah menunggu disana." Maeda dengan takzim melewati tubuh si Pak Dosen yang tak kalah tinggi darinya.

  Kalau saja ada alat penilaian yang paling akurat. Paman bernama Ikhya'ul Maulid Al Furqon jauh lebih menawan dibanding Nizar. Profesinya dosen, masih single pula.

  "Kalian mau kemana? Kok tidak berhenti di ruang tamu?" Pak Ikhya' setengah berteriak, melihat Maeda dan Nizar mulai menapaki anak tangga yang pertama.

  "Balkon depan kamar, Mas. Sekedar ngobrol kok." Sahut Nizar, lalu berjalan mengkomando.

  " Berdua?"

  "Iya Mas. Nggak bakal ngapa-ngapain kok. Kan aku dan dia hanya ngobrol." Nizar kembali mengangkat kakinya dan membelok ke tangga berikutnya.

  Maeda masih di bawah. Dia sebagai mahasiswa yang memiliki pemikiran dan akhlaq yang bagus, seharusnya tidak menuruti sikap Nizar yang terkadang seenaknya.

  "Katanya kamu mau ngobrol sama dia?" Pak Ikhya' berjalan ke arah Maeda tetapi berbelok lima langkah dari tubuhnya.

  "Tidak seharusnya, Pak. Seorang wanita dan laki-laki melakukan hal semacam ini. Baik dalam islam, baik secara norma, sudah terdengar tidak pantas." Maeda menunduk takzim. Setelah itu tangannya berkali-kali memukul kepalanya sendiri.

  "Kamu tidak perlu memukuli kepalamu seperti itu, Mae. Beruntung kalau kamu sadar. Sekalipun di balkon sana hanya sebatas ngobrol. Tapi ingat, itu tidak pantas. Terutama kamu yang seorang wanita. Kamu harus menjaga harga diri kamu baik-baik." Pak Ikhya' mengkedip mata berharap agar mahasiswanya paham dengan ranah bicaranya.

***
   "Ngobrol seperti ini kan juga tidak terlalu buruk." Maeda menyuap kacang goreng di teras lantai bawah.

     Sambil menyaksikan muda-mudi yang berlalu lalang di sepanjang jalan depan rumah Mbak Inayah, juga sekawanan perempuan yang terbahak dari kos seberang.

    "Mae, satu diantara mereka, ada nggak yang kamu kenal?" Nizar juga menyuap kacang goreng sambil menunjuk dagu ke arah kos seberang.

   "Nggak ada Zar kalau sekarang. Kalau dulu ada, tapi udah pindah. Kos depan kan, penghuninya ekonomi keatas semua." Papar Maeda.

   Dalam hati berkali-kali ia merutuk, hal apa yang akan di sampaikan Nizar untuknya. Sudah seperempat jam, obrolan mereka belum menemui topik yang berkelas.

    "Ada apa sih, kok tumben pertanyaannya mengait ke mereka?" Maeda penasaran. Dilihatnya pria itu yang melarikan pandangannya ke wanita dengan outer mustard.

   "Kenalkan aku dengan teman kamu, Mae." Celetuk Nizar, sontak Maeda menyembur kacang kulit yang sudah berada di pangkal lidah.

   Maeda harus mengaliri kerongkongannya dengan air, jika tidak mau ia mendadak meninggal.

   "Kenalkan? Kamu?" Seraya memegangi kerongkongannya Maeda masih memekik tak percaya.

   "Iya, Mae. Aku mau, kamu ngenalkan aku cewek. Kriterianya tinggi, cantik, putih,pinter, suka masak, dan nggak banyak bicara." Nizar mengulas detail, sekaligus hati wanita itu perlahan dirajang menggunakan pedangnya samurai.

   Maeda tidak tinggi. Standar saja, kurang lebih 155 cm. Untuk urusan pintar, baiklah sejak pendidikan dasar sampai sekarang dia selalu berprestasi. Suka masak, Maeda bisa masak, tetapi tidak jago-jago amat.

    Cantik dan putih, bagi dia penilaian satu ini relatif. Mustahil Maeda buruk, bila mantan kekasihnya sudah 3, dan teman prianya segudang. Terakhir, nggak banyak bicara, Nizar secara tidak langsung sudah menolak Maeda.

   "Mae." Hening, sekitar lima menit mereka memandangi sekitar yang memikat mata, akhirnya Nizar bersuara.

   "Apa?"

   "Tadi yang duduk bersama kamu di taman fakultas siapa?" Nizar menoleh ke arah Maeda.

   "Taman Fakultas? Duduk bersama aku?" Maeda menepuk dadanya seraya mendongakkan mata ke genting rumah. Pura-pura mencari jawaban disana.

    "Nggak perlu pura-pura. Bukan Yanis dan dia seorang laki-laki. Tampan lagi. Pacar kamu?" Tidak hanya Fardah, Nizar sekali serangan tidak ingin melebar kemana-mana.

    "Pa-car? Pacar dari hongkong. Bukan, bukan." Tangkis Maeda.

    "Kalau iya juga nggak masalah kok, Mae. Santai saja. Berarti tinggal aku yang masih sendiri." Jawaban demikian, bila semua orang mendengarnya, tidak lama akan terbalas dengan lemparan sandal. Termasuk Maeda yang melempari kepala Nizar dengan kulit kacang.

   "Kamu kok suka banget sih, merendah. Memang bukan pacar, Nizar. Pria yang kamu maksud adalah senior aku. Namanya Mas Arok."

    "Owh, jadi namanya Mas Arok. Ganteng juga sih. Cocok loh, sama kamu." Respon Nizar sembari melihati wanita disampingnya yang tak lagi berkomentar.

   Mulutnya sudah membentuk huruf o, ingin mengatakan sesuatu. Namun, lebih dulu tercegah oleh kalimat Nizar.

    "Hanya hubungan senior dan junior, kok. Nggak lebih. Bukannya tadi siang kamu juga berjalan dengan seorang wanita." Maeda tidak mau kalah.

    "Iya. Terus kenapa?" Nizar tidak seperti Maeda yang berusaha menutupi.

    "Siapa? Aku udah jawab jujur loh." Respon wanita ini, tak mau bila hanya Nizar yang paling hoki.

   "Maira. Khumaira Az-Zahra Latief. Wanita yang pernah kita jumpai setelah bertemu dengan clien. Penyanyi di kafe tempat aku bekerja kelak." Menurut Nizar mengaku seperti ini, akan membuatnya jauh lebih baik.

    "Maira? Aira?" Maeda mengabsen lagi. Mungkin, barusan adalah tayangan intermezzo yang sering ia temui di sebuah film.

    "Iya. Adik kelas kamu pas SMA. Anak fakultas ekonomi islam."

    "Kenapa kamu terus terang sekali." Maeda membalas kesal. Jujur, anyelir kecemburuan sudah perlahan merambat ke segenap hatinya.

     " Memang yang terjadi seperti itu, Maeda. Apa aku salah? Aku hanya berusaha jujur." Nizar setengah bersungut, lantaran gemas melihat Maeda yang membingungkan.

    "Sudah lama kalian saling kenal?" Maeda tidak peduli bertanya sangat detail.

   "Lumayan. Lebih lama 1 tahun 8 bulan, daripada kenal sama kamu." Apakah pria yang mulai menggigit batangan rokok itu tidak memahami, perempuan di seberang sudah kebakaran jenggot. Gusar tidak karu-karuan, seperti cacing disiram air garam.

    "Kamu kok jahat banget sih, Zar. Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku." Kekesalan Maeda menjadi.

    Korek api yang sudah dinyalakan dan hendak disulutkan ke ujung batang rokok, sekejap saja sudah dalam genggaman Maeda.
***
Assalamualaikum
Hai readers, baca, vote dan komen ya
Maaf bila masih ditemui typo

Jang Mi
Minggu, 05 April 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang